Cerita Melani dan Rendy VI

Chika Meninggal
Chika masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya sejak ia divonis dokter terkena penyakit jantung seperti Papanya. Ia harus masuk ICU. Keadaanya sangat kritis. Rendy dan Mamanya sangat khawatir dengan keadaan Chika sekarang. Lama dokter di dalam ruang ICU. Segala macam alat bantu medis dipasangkan pada tubuh mungil Chika. Kini Chika tengah berada di antara hidup dan mati.
Lama menunggu, akhirnya dokter keluar juga dari ruang ICU. Rendy dan Bu Sinta segera menghampiri dokter tersebut.
“Bagaimana keadaan adik saya?”
“Alhamdulillah. Ia berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang ia bisa dipindahkan ke ruang rawat.” ucap dokter kepercayaan keluarga Rendy yang sudah biasa menangani Chika.
“Lakukan yang terbaik untuk anak saya! Kalau perlu impor saja alat medisnya.”
“Untuk saat ini peralatan yang ada disini sudah cukup membuat keadaan Chika lebih baik.”
“Boleh kami lihat Chika sekarang?” tanya Rendy.
“Tentu saja. Tapi harap tenang. Chika sudah kami beri obat penenang. Jadi untuk malam ini dia akan tidur dengan nyenyak.”
“Baik, Dok!”
“Saya permisi dahulu! Masih banyak pasien yang harus saya tangani.”
“Terima kasih banyak, Dok!”
“Sudah kewajiban seorang dokter.”
Semalaman Rendy tak tidur menunggui Chika. Mamanya sendiri tak mampu melepas rasa penat. Ia tertidur lelap di atas sofa yang tak jauh dari tempat tidur Chika. Paginya Bu Sinta bangun dengan keadaan lebih baik. Sementara ia melihat anak sulungnya, Rendy terlihat sangat kurang istirahat. Karna semalam begadang menunggui Chika. Matanya berkantung dan merah.
“Semalaman kamu enggak tidur?” tanya Bu Sinta.
“Kalo aku tidur, kasian Chika enggak ada yang nungguin.”
“Tapi kamu juga butuh istirahat. Hari ini biar Mama aja yang nungguin Chika. Kamu istirahat aja di rumah. Enggak usah sekolah,” saran Mamanya. “Tolong! Untuk kali ini aja kamu turuti Mama. Kalo kamu kurang istirahat, kamu akan sakit dan enggak bisa lagi jagain Chika. Nurut sama Mama, ya?”
Benar juga kata Mamanya.
“Ya udah. Aku pulang! Nanti sore, aku kesini lagi. Mama juga jaga kesehatan, ya? Kabarin aku kalo ada apa-apa sama Chika!”
Sejuk rasanya hati Bu Sinta ketika mendengar bahwa Rendy memperhatikan kesehatannya. Pertama kali seumur hidup ia mendengar Rendy mengucapkan kalimat tersebut. Rasanya kalimat itu akan selalu terngiang dalam telinga Bu Sinta. Ia tak akan melupakan hal itu. Dan ia berharap Rendy akan mengucapkan kata itu kepadanya setiap hari.
“Oh, iya, Sayang!”
Kabar ini pun sampai ke telinga Melani. Ia amat terkejut mendengar kabar ini. Aku harus jenguk Chika. Sepulang sekolah, Melani segera menuju rumah sakit tempat dimana Chika dirawat. Tak lupa, di jalan ia membeli makanan untuk Chika.
“Selamat siang, adik Kakak yang manis!” sapa Melani ketika memasuki ruang inap Chika.
“Kak Melani? Kakak kok baru kesini? Chika kangen banget sama Kakak.”
“Kakak juga kangen banget sama kamu. Ini ada buah buat kamu! Kakak tahu gimana enggak enaknya makanan di rumah sakit.”
“Makasih ya, Kak. Jadi ngerepotin.”
“Enggak apa-apa, kok. Hari ini kamu enggak ada yang jagain?”
“Ada, kok. Hari ini Mama yang seharian jagain Chika. Tapi sekarang lagi keluar.”
“Kakak kupasin buahnya, ya? Kamu mau apa?”
“Apel aja.”
Tak lama kemudian datanglah Bu Sinta.
“Selamat siang, Bu!”
“Siang! Makasih kamu udah mau jenguk Chika.”
“Sama-sama, Bu! Ibu keliatan kurang istirahat dan agak lemes. Biar Mel aja yang ganti jagain Chika, ya?”
“Enggak usah. Bentar lagi juga Rendy akan kesini. Saya baru akan pulang setelah Rendy dateng.”
Sekitar tiga puluh menit kemudian datanglah Rendy. Penampilannya terlihat lebih fresh dari tadi pagi.
“Mel, Ngapain loe disini?”
“Mau ujian. Ya, mau nengok Chika, lah.”
“Mama masih disini? Kenapa enggak pulang?”
“Mama nunguin kamu. Sekarang juga Mama mau pulang.”
“Pulang bareng Melani, ya?” usul Rendy.
“Kamu ngusir aku?
“Nengok enggak perlu lama-lama, kan?”
“Chikanya juga enggak mempermasalahkan. Kenapa kamu yang sewot?”
“Sekarang waktunya Chika istirahat.”
“Bener apa kata Rendy. Sebaiknya kamu ikut pulang dengan saya. Nanti saya antarkan sampai rumah. Biar kakak kamu enggak khawatir.”
“Baiklah. Kakak pulang dulu, ya! Sampai ketemu besok.”
Walau hati kesal dan masih rindu pada Chika, Melani memutuskan untuk pulang bersama Bu Sinta. Sesuai janjinya Bu Sinta mengantarkan Melani pulang sampai ke depan rumahnya. Namun tak mampir dahulu. Rasanya Bu Sinta harus cepat-cepat istirahat. Untuk mengembalikan kebugaran jasmaninya.
Melani tak lupa akan janjinya. Keesokan hari ia kembali menjenguk Chika. Ia menolak ketika ketiga temannya mengajaknya untuk shopping di mall. Menurutnya, menjenguk orang sakit lebih baik daripada harus menghambur-hamburkan uang dengan percuma di mall. Namun bukan dengan alasan itu ia menolak. Jika alasan menjenguk Chika, ia takut menyakiti perasaan Lyla. Ia takut Lyla salah paham lagi terhadap dirinya. Mungkin ia takut Lyla berpikir bahwa ia bukan bermaksud menjenguk Chika melainkan mencari perhatian Rendy.
“Maaf, ya! Kali ini aku enggak bisa ikut. Kakak aku lagi sakit. Dia mau aku temenin. Enggak apa-apa, kan?”
“Iya. Enggak apa-apa, kok.” jawab Lyla.
“Bilangin, kata Winda, cepet sembuh, ya!”
“Kata Vania, jangan lupa minum obat!”
“Iya. Sekali lagi maaf, ya!”
Melani pun pergi tergesa-gesa meninggalkan ketiga temannya. Maaf. Aku harus bohong sama kalian.
“Bukannya tadi pagi dia dianterin Kakaknya, ya? Kok jadi tiba-tiba sakit?” ucap Winda.
“Apa dia lagi ngumpetin sesuatu dari kita?” tambah Vania.
“Udah. Jangan berburuk sangka sama temen sendiri. Enggak baik.” relai Lyla. “Ayo kita cabut! Katanya mau shopping? Gue dengar lagi ada sale besar-besaran.”
“Masak, sih? Kalo gitu aku mau belanja banyak.” ucap Vania.
Ketiganya pun segera masuk ke dalam mobil Vania. Mobilnya pun segera melaju kencang meninggalkan sekolah. Sesampainya di mall yang biasa mereka datangi. Mereka segera menyerbu toko yang tengah promosi itu dengan mengadakan sale besar-besaran.
***
Sesampainya Melani di rumah sakit. Ia melihat Rendy dengan keadaan cemas mondar-mandir di depan ruang inap Chika. Sementara Mamanya terduduk lemas di kursi panjang di depan ruang inap Chika. Wajahnya pun tak kalah cemasnya dari Rendy. Melani segera menghampiri keduanya.
“Ada apa ini? Kenapa kalian berdua keliatan cemas gitu?”
“Chika kritis lagi.” jawab Bu Sinta.
“Kritis?” ucap Melani setengah tak percaya. “Ya udah. Sekarang kita sama-sama berdoa aja biar Chika bisa melewati masa kritisnya.”
 Tak lama kemudian dokter keluar dari ruang inap Chika. Diperhatikan dari wajahnya, sepertinya dokter akan memberi tahu kabar buruk.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Ia ingin bertemu dengan kalian.”
Bu Sinta, Rendy, dan Melani pun segera masuk ke dalam ruang inap Chika.
Perlahan Chika melepas tabung oksigen yang menyulitkannya berbicara.
“Kenapa dibuka, Sayang? Pake lagi!” ucap Bu Sinta.
“Chika cuma ingin bilang, Mama sama Kak Rendy baikan, ya? Buat Chika. Buat Papa. Chika sayang sama Mama. Chika sayang sama Kak Rendy.”
“Iya, Sayang. Kak Rendy dan Mama akan baikan. Kak Rendy akan turuti semua keinginan kamu. Asal kamu sembuh. Kamu sembuh buat Kakak. Buat kita semua.”
“Kak Rendy juga harus baikan sama Kak Melani. Jangan berantem lagi.”
“Iya. Kakak janji.”
Puas mendengar jawaban Rendy. Chika pun menutup matanya dan menghembuskan napas terakhirnya. Alat pendeteksi denyut nadinya pun menunjukkan Chika sudah meninggal. Ia sudah kembali ke Sang Pencipta menyusul kepergian Papanya.
“Chika? Chika bangun! Chika bangun! Jangan tinggalin Kakak. Kamu mau liat Kakak baikan sama Mama, kan? Ayo bangun!” ucap Rendy berkali-kali setengah berteriak. “Dokter, kenapa adik saya tidak mau membuka matanya?”
“Ikhlaskan kepergiannya, Mas.”
“Anda ini dokter. Kenapa anda tidak bisa mengembalikan adik saya?”
“Saya hanya seorang manusia biasa. Saya tidak bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal. Nyawa, hanya Tuhanlah yang mengetahuinya.”
“Enggak. Ini semua enggak boleh terjadi. Chika…” teriak Rendy bergema.
Bu Sinta hanya diam terpaku. Ia masih belum mempercayai, anaknya baru saja pergi untuk selama-lamanya. Rasanya kakinya sudah tidak mampu lagi menopangnya untuk berdiri. Ia amat lemas. Kejadian sepuluh tahun yang lalu terjadi kembali. Kini anak bungsunya yang harus pergi meninggalkannya. Hatinya amat terpukul. Ia tak mampu berkata lagi. Ia pun segera pergi keluar ruang inap Chika. Dan menangis tak habisnya di depan ruang inap Chika.
Sementara Melani hanya diam terpaku di belakang tubuh Rendy. Tak mampu lagi ia berkata. Sama seperti Bu Sinta, ia tak bisa mempercayai gadis yang baru ia kenal kurang dari satu bulan itu meninggal di hadapannya.
Rendy segera menyusul Ibunya. Diikuti oleh Melani yang ada di belakangnya.
“Puas anda sekarang? Karna anda ayah saya meninggal. Dan sekarang karna anda juga adik saya meninggal. Kenapa anda bunuh semua orang yang sangat saya sayangi? Kenapa anda tidak membunuh saya juga? Saya benci harus dilahirkan oleh ibu macam anda. Kenapa anda harus melahirkan saya? Lebih baik saya tidak terlahir ke dunia ini daripada harus mempunyai ibu seperti anda.”
Hati Bu Sinta semakin teriris. Baru saja ia kehilangan anak keduanya. Dan sekarang ia harus dibentak oleh anak sulungnya. Bibirnya kaku. Tak dapat berkata apa-apa lagi. Dan ia pergi setengah berlari meninggalkan Rendy.
Setelah Bu Sinta pergi, Melani menampar Rendy. Namun Rendy hanya diam saja.
“Kenapa kamu diem aja? Kenapa kamu enggak marahin aku? Kenapa kamu enggak bentak aku juga seperti yang kamu lakukan terhadap ibu kamu? Kamu gila, Ren. Dia enggak ngelakuin apa-apa kamu bentak sampe segitunya. Dimana hati kamu?”
“Tapi dia udah bunuh ayah dan adik gue.”
“Itu semua bukan karna ibu kamu. Ini semua kehendak Tuhan. Enggak ada yang bisa nyalahin apa yang sudah Tuhan kehendaki. Ibu kamu juga sangat terpukul. Dia enggak terima Chika meninggal. Dia masih shock dengan semua yang baru aja terjadi. Dan kamu tambah lagi sakit hatinya? Kamu anak macam apa, Ren? Baru kali ini aku liat ada anak yang berani bentak ibunya. Kamu enggak tahu gimana sakitnya dia waktu ngelahirin kamu?”
“Tapi gue enggak pernah menginginkan dilahirkan dari ibu macam dia.”
“Kamu enggak pernah tahu bagaimana sabarnya dia merawat kamu sampai sebesar ini?”
“Dan dia enggak pernah ngerawat gue.”
“Tapi apa kamu tahu, Ren? Meskipun dia enggak pernah selalu ada di samping kamu, dia selalu perhatiin kamu. Dia selalu tahu gerak-gerik kamu setiap detiknya. Dia tahu apa yang kamu lakuan setiap hari. Dia tahu, aku ajak kamu ke Pasar Malem. Dia tahu, kamu ngajarin aku basket. Dia tahu, semua yang kamu lakukan selama ini.
Dia sangat sayang sama kamu. Kalo dia enggak sayang sama kamu, mana mau dia kerja banting tulang buat kamu selama ini? Mana mau dia melahirkan kamu? Mungkin kalo dia enggak sayang sama kamu, kamu udah jadi gelandangan sekarang ini. Coba kamu pikir! Enggak ada ibu yang enggak sayang sama anaknya. Anak adalah sebuah anugerah terindah bagi semua ibu. Cobalah kamu berpikir sampai kesana! Maafin ibu kamu, ya? Kamu masih inget janji kamu sama Chika, kan? Minimal dalam benak kamu yang kamu lakukan itu buat Chika. Buat Papa kamu. Buat orang yang kamu sayang.”
Rendy menarik tubuh Melani dan memeluknya erat. “Gue butuh temen sekarang.”
Melani mengerti akan perasaan Rendy sekarang ini. Ia tahu bahwa untuk saat ini Rendy sangat membutuhkan teman. Ia pun membiarkan Rendy memeluknya. Untuk sedikit membantu meringankan beban berat yang kini tengah Rendy tanggung.
Berita tentang Chika meninggal dunia sudah sampai ke telinga sekolah. Satu sekolah berkabung. Entah karena mereka merasa iba terhadap Chika. Atau mereka hanya memikirkan Rendy. Mereka takut Rendy menjadi stress.
Beberapa karyawan SMA Peritiwi menjadi perwakilan menghadiri upacara pemakaman Chika di Tempat Pemakaman Umum di daerah Jakarta Selatan. Makam Chika sengaja berdampingan bersama makam Ayahnya. Beberapa rekan bisnis Bu Sinta pun ada yang menghadiri upacara pemakaman Chika.
Seusai pemakaman Bu Sinta masih belum mempercayai bahwa kini anaknya tengah digerogoti cacing tanah. Dari semalam ia tidak mampu menahan deras air matanya yang terus-menerus menetes. Ia sangat terpukul dengan meninggalnya anak bungsunya. Juga perkataan Rendy yang tak kalah menyayat hatinya. Sesampainya di kamar, ia segera meraih fotonya bersama Chika. Ditatapinya dengan penuh kesedihan. Semakin deras saja air matanya mengalir.
“Mama…” seru seseorang dengan tergagap.
Bu Sinta pun memutar badannya. Dan berdiri berhadapan dengan orang tersebut. Orang itu segera menghampiri Bu Sinta dan bersujud dikakinya.
Dengan air mata yang terus mengalir di wajahnya, ia berkata, “Mama. Maafin Rendy! Maafkan semua perlakuan yang pernah Rendy tujukan pada Mama. Maafkan semua perkataan Rendy yang pernah menyinggung hati Mama. Rendy sangat menyesal melakukan semua itu sama Mama.”
Bu Sinta semakin tak kuasa menahan deras air matanya. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis kebahagiaan. Untuk pertama kali, anak sulungnya menyebutnya Mama dengan tulus. Dan untuk pertama kalinya Rendy bersujud di kakinya.
Dengan penuh kasih, Bu Sinta membangunkan Rendy. Dan dengan air mata yang terus mengalir ia berkata, “Enggak ada yang perlu dimaafin. Enggak pernah kamu buat hati Mama sakit. Enggak pernah kamu buat salah sama Mama. Mama sayang sama kamu.”
“Mama…” Rendy memeluk ibunya erat. Seperti ingin selamanya memeluk ibunya. Tak ingin melepaskannya. Ingin selalu ada di sampingnya. “Rendy sayang Mama.”
Semula hatinya yang begitu sakit, kini sembuh kembali. Bahkan lebih dari itu. Ia sangat senang. Akhirnya Rendy bisa memaafkannya. Bisa menerimanya sebagai ibu. Bagai mimpi yang baru saja terjadi di kehidupan nyata.
***
Sekolah sudah sepi. Namun Melani masih ada di sekolah. Ia baru saja selesai remedial ulangan fisika. Dikarenakan pada saat ulangan sebelumnya nilainya kurang dari rata-rata. Dan hanya ia seorang yang tidak lulus dalam ulangan kali itu di kelasnya. Ia tidak putus asa dengan hasilnya yang tidak memuaskan itu. Ia mencari guru yang bersangkutan, dan meminta kepada beliau untuk melakukan ujian ulang. Awalnya Sang Guru menolak. Namun melihat kegigihan Melani untuk mendapatkan nilai, beliau pun mau memberi kesempatan kedua pada Melani. Dan Melani pun dapat mengubah nilai limanya menjadi tujuh. Walau tidak sebesar ketiga temannya yang hampir semua mendapat nilai sepuluh, ia tetap bangga pada dirinya sendiri.
Ketika ia tengah menunggu metromini yang akan mengangkutnya di halte bis dekat sekolah. Seseorang mengagetkannya.
“Gue tunggu dari tadi baru dateng.” ucapnya.
Melani melirik kiri kanan. Pemilik suara itu tak ditemukan. Dan ternyata orang itu ada di belakangnya. Kagetnya bukan main. “Rendy? Ngagetin aja,” ucap Melani. “Emangnya ada apa kamu nungguin aku?”
“Ikut gue!” ucapnya seraya beranjak dari tempat duduknya.
“Kemana? Enggak, ah!”
“Nyokap ngundang loe makan siang di rumah. Katanya dia udah masak makanan spesial buat kamu.”
“Yang bener?”
“Terserah loe mau percaya atau enggak. Yang jelas gue udah nyampein pesan dari nyokap gue.” Rendy pun pergi.
“Awas ya, kalo bohong!” Melani pun mengikuti langkah Rendy.
Sampailah di rumah Rendy.
Ternyata Rendy tidak membohongi Melani. Sebuah pesta kecil-kecilan akan diadakan di rumah mewah Rendy. Tamu undangannya pun hanya Melani seorang. Sang tuan rumah masih sibuk di dapur mempersiapkan hidangan yang akan disajikan di atas meja makan. Walalupun jelas terlihat meja makan sudah sesak dengan berbagai jenis hidangan.
Melani hanya bisa ternganga melihat meja makan yang penuh dengan hidangan. Sementara Rendy pergi ke kamarnya untuk menyimpan tas dan berganti pakaian. Di saat yang bersamaan Rendy bergerak menuruni anak tangga dan Mamanya ke luar dari arah dapur dengan semangkuk opor ayam di tangannya.
“Sini, Ma! Biar Rendy yang bawain.” ucap Rendy sembari mempercepat langkahnya menuruni anak tangga.
“Kamu ini gimana sih, Ren? Melani udah dateng bukannya kamu suruh duduk. Ayo duduk, Mel!”
Sontak Melani sangat terkejut. Ia tak bisa mempercayai apa yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana bisa Rendy bisa seramah itu terhadap Ibunya? Sungguh sangat sulit dipercaya, pikir Melani.
“Loe kenapa sih, Mel? Mama udah nyuruh loe duduk. Kenapa loe masih terpaku disitu?” ucap Rendy sembari meletakkan semangkuk opor ayam di atas meja makan. Sebelum ia meletakkannya, ia harus menggeser hidangan di sebelahnya.
Melani tetap diam terpaku. Ia masih tak beranjak dari tempatnya berpijak.
“Ya, gue ngerti. Loe pasti kaget gue bisa baik sama nyokap gue. Ya. Gue udah baikan sama nyokap gue. Mungkin ini semua tak lepas dari bantuan loe. Makasih ya, Mel.”
Bu Sinta berjalan menghampirinya dan memeluknya erat. “Mel. Tante begitu mengucapkan banyak-banyak terima kasih sama kamu. Kamu banyak membantu Tante untuk dekat dengan Rendy. Dengan semua yang kamu lakukan, akhirnya kamu bisa membuat Rendy kembali menyayangi Tante. Harus dengan apa Tante membayar itu semua?”
“Aku cuma mau kalian tetep akur sampai kapanpun.”
Mereka pun memulai pesta dengan makan siang. Seperti biasa, melihat hidangan yang begitu banyak dan memikat hati, Melani makan begitu lahap sampai tak ada lagi makanan yang sanggup ia makan lagi. Seusai makan siang, pesta berpindah di pinggir kolam berenang. Ia duduk di tepi kolam ditemani segelas jus jeruk di sampingnya dan memasukkan sebagian kakinya ke dalam air.
Dilihatnya ibu dan anak yang tengah menikmati kebersamaan. Ia ingat kejadian tujuh tahun yang lalu, sebelum kedua orang tuanya meninggal. Ketika ibunya membelai rambutnya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Dan kini tak ada lagi tangan lembut yang membelai rambutnya lagi. Dan tanpa ia sadari, air matanya mulai membasahi sebagian wajahnya.
Ia pun memejamkan matanya. Dirasakannya seseorang tengah membelai rambutnya dengan penuh kelembutan. Perlahan ia kembali membuka matanya. Dilihatnya sesosok wanita berparas cantik dengan senyumnya yang khas tengah membelai rambutnya, tak lain tak bukan wanita itu adalah ibunya. Kini ia bisa bertatapan lagi dengan wanita yang sudah lama meninggalkannya.
“Mel, kenapa kamu nangis?” suara itu membuat ibunya tak lagi di hadapannya. Dan ia baru sadar bahwa ia tengah bermimpi. Mengapa tidak selamanya saja ia bermimpi? Kalau perlu ia tak usah bangun kembali agar ia bisa selalu bersama ibunya.
“Bu Sinta?” Dan ternyata yang ia rasakan ibunyalah yang membelai rambutnya, tapi pada kenyataan itu bukanlah ibunya. Melaikan Mamanya Rendy.
“Kenapa kamu nangis?”
“Aku cuma lagi kangen aja sama Mama. Aku iri sama semua orang yang masih punya ibu. Mereka masih bisa memeluk ibu mereka, menatapnya. Tapi aku enggak bisa.”
“Kalau kamu mau Tante bisa jadi Mama kamu. Kamu boleh panggil Tante ‘Mama’. Siapa tahu nanti kamu benar-benar memanggil Tante ‘Mama’.”
“Aku enggak ngerti maksud Tante.”
“Tante setuju-setuju saja jika kalian pacaran. Atau kalau bisa sampai menikah.”
“Kalian?” Melani semakin tak mengerti.
“Ya, kalian. Kamu dan Rendy.”
“Ah, Tante ada-ada saja.”
“Iya nih, Mama. Ngomongnya ngarang aja.” Rendy pun ikut dalam percakapan tersebut. “Rendy enggak ada hubungan apa-apa sama Melani. Lagian mana mau aku punya cewek galak kayak dia.”
“Siapa lagi yang mau punya pacar jutek kayak kamu.” Melani tak mau kalah.
“Ya, sekarang sih bilangnya enggak. Siapa tahu besok-besok jadi iya.”
“Enggak.” ucap Melani dan Rendy serentak.
Kemudian acara dilanjut dengan nonton DVD. Bu Sinta tidak ikut karna ada meeting mendadak di kantornya. Film yan Rendy putar adalah film laga Hollywood. Kalo nonton film horor pasti Melani enggak mau. Padalah kalo nonton film horor Rendy yang untung, karna bisa dipeluk-peluk. Hehe… otak mesum.
Entah mengapa—mungkin karna Melani kelelahan—saat film masih berlangsung Melani pun tertidur di samping Rendy. Kepalanya bersandar pada bahu Rendy.
Rendy baru sadar kalo Melani sudah tidur setelah film selesai. Diamatinya wajah Melani dengan seksama. Ternyata Melani cantik juga. Tangannya mulai membelai wajah Melani, walau begitu Melani tidak terbangun.
Sampai Bu Sinta pulang, Rendy pun berhenti membelai wajah Melani.
“Eh, Melani malah tidur?” sapa Mamanya. “Ayo bangunin! Udah sore.”
Tanpa dibangunkan Rendy pun Melani sudah bangun sendiri. Lalu Melani pun diantar pulang oleh Rendy.
Sesampainya di rumah Melani. Keadaan rumahnya masih gelap gulita. Kalaupun biasanya jam segini Kak Andre sudah gelisah menunggui Melani yang belum kujung pulang, tapi sekarang orang yang biasa melakukan aktivitas tersebut sedang tidak ada di rumah. Sudah sejak empat hari yang lalu Andre mengikuti wisata ke Bali bersama teman-teman sekantornya dan juga beberapa atasan. Dan biasanya kalau Andre tidak ada di rumah untuk waktu yang lama pasti Melani ditemani oleh Arini. Namun sekarang Melani sudah mulai dewasa, ia harus dilatih mandiri. Walau pada awal keberangkatannya Andre agak berat hati meninggalkan Melani sendiri di rumah. Selalu saja hatinya diselimuti rasa khawatir. Dan untuk mengatasi rasa khawatirnya yang overdosis, selalu saja setiap harinya ia menghubungi Melani hampir lebih dari 20 kali.
“Kakak kamu belum pulang?” tanya Rendy setelah Melani turun dari motor ninjanya.
“Katanya sih, lusa baru mau pulang.”
“Oh. Kamu hati-hati di rumah, ya! Selamat tidur!”
“Ya. Kamu juga hati-hati di jalan. Jangan ngebut!”
Rendy pun menyalakan motornya dan pergi dari pekarangan rumah Melani. Melani pun mulai bergerak memasuki rumahnya. Namun Rendy memutar arah laju motornya ke pekarangan rumah Melani kembali.
“Mel…” serunya.
“Apa?” Melani memutar badannya.
“Besok gue tunggu di Café Lucky jam 13:00.” Setelah mengucapkan kata tersebut, ia kembali melanjutkan laju motornya.
Melani kurang jelas mendengar apa yang baru saja Rendy katakan. Setelah otaknya sudah mampu mencerna apa yang baru saja Rendy ucapkan. Ia pun berjalan memasuki rumah sambil tersenyum-senyum sendiri. Rendy mengajaknya jalan—atau dalam bahasa kerennya ‘kencan’.
“Aku pasti dateng.”
Melani sudah selesai mandi dan mengganti pakaian dengan baju tidur, ia pun segera beranjak menuju tempat tidurnya. Kata-kata Rendy yang mengajaknya kencan masih terngiang di telinganya. Tanpa ia sadari ia pun tersenyum-senyum sendiri lagi.
Ada apa dengan dirinya ini? Ia nampak senang jika selalu berada di samping Rendy. Pertama kali dalam seumur hidupnya ia merasakan hal ini pada seorang laki-laki, dan orang itu hanya Rendy. Apa ini yang dinamakan cinta? Cinta? Apa benar ia jatuh cinta pada Rendy? Tidak. Ia tidak boleh jatuh cinta pada Rendy. Ia begini karna mungkin baru pertama kali ia sedekat ini dengan seorang laki-laki. Atau hanya perasaannya saja. Jika ia benar-benar jatuh cinta pada Rendy, pasti Lyla akan marah sekali padanya. Lyla akan menganggapnya sebagai pengkhianat. Ia harus buang jauh-jauh perasaan ini. Besok adalah kali terakhirnya ia dekat dengan Rendy. Ia harus segera menjauh dari Rendy, sebelum nanti akhirnya perasaan ini berubah jadi cinta yang sesungguhnya.
Sampai di rumah Rendy langsung menuju kamarnya. Sama halnya dengan Melani, ketika Rendy menaiki anak tangga. Ia bersenandung germbira. Sesekali berputar-putar layaknya orang yang tengah menari salsa. Dari wajahnya tersirat sinar kebahagiaan.
“Yang mau kencan, girang amat keliatannya.” ujar Bu Sinta tiba-tiba.
“Mama?” balas Rendy setengah terkejut. “Siapa yang mau kencan? Ada-ada aja.”
“Mama tahu, kok. Besok siang jam 13:00 di Café Lucky, kamu mau ketemuan sama Melani.”
“Darimana Mama tahu semua itu?” Rendy menghampiri Mamanya yang tengah duduk santai di depan televisi dengan secangkir coklat panas.
“Kenapa enggak sekalian kamu ‘tembak’ aja?”
“Rendy enggak ngerti maksud Mama.”
“Dari tatapan kamu sama Melani, Mama bisa liat kalo kalian saling suka. Juga ketika tadi siang Mama bilang ‘setuju jika kalian pacaran’ sama Melani, mukanya langsung merah. Apa itu bukan namanya tanda-tanda jatuh cinta?”
“Mama ngawur aja kalo ngomong. Siapa yang cinta sama gadis galak itu?”
“Oh, gitu. Menurut Mama Melani cantik, kok. Jadi kalo kamu enggak ‘nembak’ dia, masih banyak laki-laki yang mengantri untuk jadi pacarnya.”
“Masak sih, Ma?” ujar Rendy agak terkejut.
“Denger Melani banyak yang naksir aja langsung kaget. Buruan tembak. Keduluan sama orang lain aja, nanti nyesel, lho.”
“Ah, Mama.” Rendy segera bergegas menuju kamarnya setengah berlari. Walau pikirannya masih dihantui oleh ucapan Mamanya. Melani banyak yang naksir? Bagaimana dengannya?
***

Posting Komentar untuk "Cerita Melani dan Rendy VI"