Cerita Melani dan Rendy V

Holiday at Jogja
Setelah pertandingan usai, semua pemain SMA Pertiwi masuk ke ruang ganti. Sambil beberapa pemain melepas penat dan dahaga Pak Ardi memberi selamat kepada seluruh pemain atas kemenangan hari ini. Pak Ardi juga memberi sedikit komentar akan pertandingan tadi. “Bapak sangat puas akan permainan kalian. Permainan kalian semakin bagus di setiap pertandingan. Dan ini adalah permaninan kalian yang paling baik yang pernah Bapak lihat. Terus pertahankan, tingkatkan lagi kekompakannya. Terima kasih atas perjuangan kalian hari ini.”
“Iya, Pak.” jawab seluruh pemain serentak. Kemudian Pak Ardi keluar dari ruang ganti. Sebelum keluar Pak Ardi memanggil Rendy untuk sedikit berbincang tentang pertandingan hari ini.
“Loe liat Rendy pas pertandingan tadi, enggak?” tanya Bayu pada Evan saat mereka sampai di basecamp mereka.
Evan sedikit meneliti wajah Bayu dengan heran. “Loe sakit?”
“Eh, ini anak. Gue tanya apa, jawabnya apa,”
“Loe beneran sakit. Tadi kan Rendy maen bareng sama kita. Rendy yang segede pohon kelapa, loe enggak liat?”
“Bukan itu maksud gue,” Bayu meninggikan satu oktaf nada suaranya. “Loe enggak liat gerak-gerik Rendy yang aneh?”
“Aneh apanya?” Evan semakin heran. “Perasaan Rendy biasa-biasa, kok. Dimana-mana maen basket kan gitu. Malah dia banyak cetak poin dari biasanya. Loe beneran sakit, Bay.”
“Maksud gue,” Bayu mulai menjelaskan sejelas-jelasnya pada Evan dengan berusaha menahan marah. “Sebelum pertandingan, Rendy selalu curi-curi pandang liatin Melani.”
“Oh, itu maksud loe,” Evan mengingat-ngingat sejenak. “Gue enggak perhatiin, tuh.”
“Ok. Enggak penting loe liat atau enggak. Tapi menurut gue, Rendy mulai suka sama Melani.”
Evan luar biasanya kagetnya. Sampai-sampai air yang diminumnya muncrat, karna di saat yang bersamaan ketika Bayu mengucapkan hal itu, Evan sedang minum. “Uhuk… huk,” Evan masih memasang wajah terkejut. “Loe enggak salah ngomong?”
“Itu kan menurut gue. Selain bukti yang tadi, akhir-akhir ini juga mereka kan lagi deket.”
“Tapi kan loe enggak bisa ambil kesimpulan kayak gitu.” Evan mulai meredam kagetnya dan serius menanggapi Bayu. “Banyak cewek yang suka Rendy, kenapa harus Melani? Cewek yang gue denger sih enggak pinter, galak, enggak cantik, dan jauh banget kalo dibandingin sama cewek yang ngantri pengen dapetin Rendy.”
“Melani enggak jelak-jelek amat, kok. Tinggal didandanin dikit, pasti lebih cantik dari cewek-cewek itu. Loe liat kan waktu Melani dateng ke pesta ulang tahunnya Rendy? Gue akui dia memang cantik, dengan dandanan sederhananya.”
“Gue akui juga, saat itu dia cantik. Tapi hal itu hanya sementara. Cewek tomboy gitu, mana mau sering-sering dandan?”
“Kalo gitu kita buktiin,” tantang Bayu.
“Buktiin apa?”
“Loe ikuti aja semua yang gue suruh.” Evan pun mengangguk, namun ia masih belum mengerti apa yang akan dibuktikan oleh Bayu. Tak lama kemudian Rendy datang. Bayu pun memulai aksinya.
“Van, loe tahu cewek yang namanya Melani, enggak?” kata Bayu sambil mengedipkan matanya. Mendengar nama Melani disebut, Rendy sedikit menguping pembicaraan Bayu dan Evan.
“Gue tahu.”
“Menurut loe dia gimana?” kata Bayu lagi.
“Lumayan cantik. Kalo dipoles dikit, enggak jauh dari mantan-mantan gue, deh.”
“Menurut loe. Gue cocok enggak sama Melani?,”
“Loe sama Melani?”
“Jangan samakan Melani dengan mantan-mantan loe,” Rendy ambil bicara. “Dia cewek baik-baik.”
“Biasanya loe anteng-anteng aja kalo gue nyari cewek baru.”
“Melani terlalu polos jika loe jadikan cewek loe yang ke sekian.”
“Loe suka sama Melani?” tanya Evan tiba-tiba.
“Gue enggak ngerti maksud loe.”
“Loe enggak pernah seperhatian ini sama cewek manapun,” Bayu membenarkan ucapan Evan. “Tapi sama Melani loe beda. Gue bisa liat dari tatapan loe sama dia.”
“Gue yang tahu perasaan gue sendiri,” Rendy sedikit meninggikan suaranya. “Dan gue enggak ada perasaan apa-apa sama Melani.” Rendy pun segera mengemasi barangnya dan pergi.
“Kalo gitu, gue enggak perlu merasa bersalah sama loe kalo gue bisa dapetin Melani.” ucap Bayu. Langkah Rendy terhenti dia ambang pintu.
Bayu enggak penah main-main dengan ucapannya. Kalo ia sampai benar-benar menjadikan Melani pacarnya? Hah, mikir apa gue? Rendy pun segera bergegas pergi.
“Benar kan yang gue bilang?” kata Bayu setelah Rendy pergi cukup jauh.
“Benar apanya? Orangnya aja bilang kagak.”
“Evan,” Bayu mulai geram menghadapi temannya yang satu ini. “Udah berapa lama sih kita temenan?”
“Hhmm…” Evan mengingat-ngingat. “Bentar, bentar. Gue tahu. Eu… berapa lama, ya?”
“Kita udah 13 tahun temenan.”
“Lama juga, ya. Terus apa hubungannya?”
“So, loe tahu kan gimana sifat-sifat sahabat loe?”
“Tahu,” jawab Evan singkat.
“Dan loe juga tahu kan gimana sifatnya Rendy?”
“Dan gue makin enggak ngerti apa yang loe bicarain.”
“Ngomong sama loe selalu bikin gue darah tinggi,” Bayu memalingkan wajahnya dan mengemasi semua barangnya.
“Dan intinya?”
“Ikuti aturan main gue!” Bayu pun pergi. Sementara Evan masih belum mengerti apa yang Bayu maksudkan.
***
Pagi-pagi sekali Melani dibangunkan oleh handphone-nya yang berdering. Padahal ia baru saja bermimpi menjadi sorang pemain basket profesional. Wajahnya sering muncul di media cetak maupun elektronik. Dan kini ia sedang diwawancarai karna timnya telah memenangkan kompetisi basket se-dunia. Dan mimpi yang sangat sulit dijumpai itupun sirna karna bunyi handphone yang tepat di telinganya.
“Aduh…” Melani merengut. “Siapa sih yang telepon pagi-pagi? Ganggu aja!”
Dengan malas Melani bangun dan mengangkat handphone-nya. Kebetulan mulai hari ini sampai empat hari kedepan SMA Pertiwi diliburkan karna ada hari nasional yang kejepit. Niatnya hari ini ia mau bangun siang. Gara-gara ada telepon enggak ada kerjaan itu, ia terpaksa harus membatalkan niatnya.
“Hallo… Ini siapa?” sapanya dengan mata yang masih terpejam. “Ha…”
“Mel, ada kabar buruk,”
“Kabar buruk?” tanyanya heran, walau masih tidak peduli.
“Rendy kecelakaan.”
“Hah?” Melani terperanjat dari tidurnya. Bagai baru saja disambar petir. Melani terkejut luar biasa. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi. Mendadak bibirnya diam seribu bahasa.
“Gue di depan rumah loe sekarang. Kalo loe masih mau ketemu Rendy untuk terakhir kalinya, cepetan keluar! Kita pergi sekarang!”
“Ta… tapi,” Orang misterius itupun menutup teleponnya.
Kini tinggal Melani yang kebingungan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Semua rasa campur aduk. Kemudian ia pergi mengambil jaketnya, lalu ia bergegas keluar kamar dengan handphone yang masih di tangannya. Tanpa ia sadari, ia masih memakai baju tidur.
Kakaknya yang sedang membuat sarapan, heran melihat sikap adiknya. Biasanya pagi di hari libur Melani belum bangun. Dan tidak pernah pergi keluar tanpa sarapan dan masih memakai baju tidur, perginya pun dengan lari-lari. Sungguh aneh!
“Mel, kamu kenapa?” tanya Kakaknya. Melani tidak menjawab. Andre pun semakin heran. Kemudian ia kejar Melani. Sampai di pintu gerbang, ternyata Melani sudah pergi dengan mobil sedan merah menyala.
“Dia kenapa?” Andre semakin bingung. Kemudian ia menghubungi ponsel Melani. Tak ada jawaban. Tak lama kemudian Melani membalasnya dengan pesan singkat yang cukup mengurangi kekhawatiran Andre.
Aku pergi ke rumah temen. Ada temen aku yang kecelakaan. Kakak enggak usah khawatirin aku.
Sampailah mobil yang dikemudikan Evan di halaman rumah Rendy. Turun dari mobil Evan, Melani langsung berlari ke depan pintu rumah Rendy. Dengan tidak sabar ia ketuk pintu rumah Rendy dengan keras. Dengan hati yang masih diliputi rasa khawatir, Melani mondar-mandir tak keruan di depan pintu.
Sampai pintu besar itu dibuka oleh seorang pembantu, ia segera berlari masuk ke dalam tanpa dipersilahkan sebelumnya. Pembantu itu sendiri heran, meskipun Melani sering datang ke rumah majikannya itu, tapi belum pernah Melani datang dengan tergesa-gesa seperti. Kemudian ia menatap pada Evan, Evan hanya mengangguk dan tersenyum.
“Silahkan masuk, Mas!”
Melani masih terburu-buru berlari menaiki tangga. Evan hanya tersenyum geli sambil menyakukan kedua tangannya melihat kelakuan Melani.
Tanpa pikir panjang, Melani segera membuka pintu kamar Rendy. Dan apa yang didapatinya… Rendy sedang berganti pakaian. Melani segera membalikkan tubuhnya sambil menutup mata. “Aku enggak liat apa-apa,” Kemudian ia keluar dari kamar Rendy dengan wajah memerah.
“Kenapa keluar lagi?” tanya Evan.
“Aku enggak liat apa-apa.” jawab Melani setengah tak sadar.
“Maksud kamu?” tanya Evan jadi heran.
Ting…
Melani mencium sesuatu yang aneh. Kemudian ia memandang sinis pada Evan dan memukul Evan secara tiba-tiba.
“Kak Evan bohong, ya?”
“Bohong apa?”—pura-pura enggak tahu.
“Jujur sama aku!” Melani mulai marah pada Evan. “Punya rencana apa Kakak bohongin aku?”
Belum sempat Evan menjawab, Rendy sudah keluar kamar—tentunya sudah memakai pakaian. Nampaknya Melani akan kena marah.
“Loe enggak pernah diajarin tata krama?”
Melani hanya tertunduk. “Maaf.”
“Loe punya tangan kan buat ketuk pintu kamar orang?”
“Aku kan udah minta maaf,” Melani jadi nyolot. “Tapi kalo mau salahin orang, salahin Kak Evan. Dia yang buat aku kayak gini.”
Rendy menatap tajam pada Evan. “Ngomong apa loe sama ini anak?”
“Gue enggak ngomong apa-apa,”
“Bohong,” sanggah Melani. “Kak Evan bilang kamu kecelakaan. Aku kira benaran, aku udah khawatir. Bangun tidur langsung kesini. Ternyata aku cuma dikerjain.”
“Loe khawatir sama gue sampe segitunya?”
Nah, lho! Apa yang harus ia jawab? Ia sendiri jadi bingung. Kalau dipikir-pikir, kenapa juga ia bisa sekhawatir ini pada Rendy?
“A… a… aku…” Melani mencoba mencari alasan. “Aku cuma khawatir sama Chika dan Bu Sinta aja. Takutnya mereka kenapa-kenapa kamu kecelakaan.”
“Bener?” Rendy mendekatkan wajahnya ke wajah Melani. “ Kok gugup, sih?”
“A… aku enggak bohong.”
“Loe sendiri ngapain ke rumah gue?” tanya Rendy pada Evan.
“Gue sama Bayu mau ngajak loe liburan. Bentar lagi dia juga dateng.”
“Dan buat apa loe bawa ini anak?” Matanya menunjukkan pada Melani.
“Liburan juga,”
“Liburan?” Seperti ada bom yang meledak dalam kepalanya mendengar ucapan Evan. “Liburan apa? Sejak kapan aku setuju diajak liburan bareng kalian? Tapi kalo gini caranya, kalian bukan ngajak aku liburan tapi niat culik aku.”
“Culik loe?” Rendy menyerngitkan dahi. “Apa yang bisa diharapkan dari loe? Cantik kagak. Dijual juga… paling cuma buat nombokin uang makan. Minta tebusan? Apa yang mau diminta? Penjahat manapun akan rugi kalo culik loe.”
“Ya udah. Aku pulang aja.” Melani hendak pulang, namun dihalangi oleh Evan.
“Kamu enggak bisa pergi gitu aja, dong.”
“Kenapa enggak?”
“Loe apa-apaan sih, Van? Biarin aja dia pulang. Enggak penting juga, kan?”
“Kata Pak Bos juga aku enggak penting. Jadi buat apa masih disini?”
“Jangan gitu lah, Ren.” Evan menghampiri Rendy. “Tiap liburan kan loe selalu enggak ada temen? Sementara gue dan Bayu asyik pacaran. Apa loe enggak bosen? Kalo Melani ikut loe jadi punya temen. Kalian kan akur banget.”
“Akur dari Hongkong?” sanggah Melani lagi. “Aku tetep enggak mau ikut.”
“Loe ada di rumah gue. Ikuti semua aturan gue. Kita pergi liburan.” Evan pun tersenyum. Rencananya dan Bayu berjalan sempurna.
Sebelum pergi, Rendy menyuruh Melani untuk mandi. Karna tidak mungkin pergi liburan tanpa mandi dan dandanan kucel seperti itu. Awalnya Melani menolak. Mana pernah sih ia mandi di rumah orang? Namun semakin Melani menolak, Rendy semakin memaksanya. Akhirnya Melani pun mau tidak mau menyetujuinya.
Tak lama kemudian Bayu pun datang.
Di dalam mobil yang dikemudikan Rendy, Melani masih murung.
“Apa sesuatu yang kamu mau harus dipaksakan seperti ini?” tanya Melani tiba-tiba.
“Dari kecil gue selalu mendapatkan apapun yang gue mau. Bagaimanapun caranya.”
“Tapi itukan namanya egois,”
“Hanya dengan egois, kita bisa mendapatkan yang kita mau.”
Melani hanya mengangguk-nggaguk saja. Walau hati masih kesal kepada Rendy. Tapi ia sadar, sejak kecil Rendy sudah dibesarkan di lingkungan keluarga yang berada, jadi wajar kalau ia selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan. Tidak seperti dirinya, kalau ingin sesuatu yang diinginkan ia harus rela mengorkankan celengannya.
Kadang hidup ini enggak adil, pikir Melani. Kenapa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan segalanya? Sedangkan orang miskin harus berusaha sekuat tenaga hanya untuk sesuap nasi. Tidak hanya itu, orang kaya juga sering menjadikan orang-orang miskin sebagai korban untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Misalnya saja, beberapa wakil rakyat ada yang korupsi uang rakyat, sangat jelas itu berpengaruh sekali pada rakyat. Kesejahteraan rakyat jadi tak terpenuhi.
Duh, kok aku jadi mikir ini, sih? Melani mengeleng-geleng kepalanya. “Astaga!” ucap Melani tiba-tiba.
“Kenapa?” tanya Rendy ketus tapi peduli.
“Aku belum kasih tahu Kakak aku,”
“Telepon aja. Susah amat.”
“Emangnya kita mau liburan kemana?”
“Jogja,”
“Kenapa enggak sekalian aku culik aku ke Mars?”
“Tadinya sih mau, cuma tiket roketnya belum ada.”
Tak perlu tanggapi orang sombong ini. “Terus aku harus bilang apa sama Kak Andre?”
“Pergi liburan ke Jogja bareng gue,”
“Enggak bisa gitu, dong. Kak Andre pasti enggak akan kasih izin kalo aku pergi jauh bareng cowok.”
“Disana udah ada pacar-pacarnya Evan dan Bayu.”
“Aku kan enggak kenal mereka,”
“Bilang aja, pergi liburan ke Jogja bareng temen-temen SMP.”
Ide Rendy bagus juga. Cukup untuk membuat hati Kak Andre tenang. Tapi itu kan bohong? Jujur saja, Melani tidak terbiasa bohong pada Kakaknya itu. Tapi mau gimana lagi? Ia sudah setengah jalan. Dengan terpaksa ia pun memakai alasan bohong itu.
Hatinya agak tenang setelah menghubungi Kakaknya, walau sedikit merasa bersalah.
Tiba-tiba mobil Rendy, Evan, dan Bayu menepi di depan sebuah mall yang masih tutup. Namun di depannya sudah berdiri seorang berjas rapi menanti kedatangan Rendy dan teman-temannya.
“Selamat pagi, Tuan Muda!” sapanya, kemudian ia mengangguk hormat pada Rendy. Kemudian Rendy dan Melani dipersilahkan masuk. Sampai disana hanya ada belasan pelayan, Si Pria berjas itu, Rendy dan juga Melani. Tak ada satu pun pengunjung yang datang.
Mall gede gini kok enggak ada pengunjungnya, sih? Atau mungkin bukanya kepagian? pikir Melani.
Rendy langsung menarik Melani ke toko pakaian wanita. Ia pun memilihkan pakian-pakaian yang cocok untuk Melani. Cukup untuk pakaian yang akan dibawa Melani ke Jogja. Rendy membiarkan Melani memilih sendiri pakaian dalam dan untuk polesan akhir, Rendy memakainkan Melani topi dan kacamata.
Selesai mendandani Melani, semua pergi makan di tempat yang sudah dipesan Evan sebelumnya. Makanan yang disajikan adalah makanan breakfast. Semua memang belum sempat sarapan.
Banyak hidangan yang disediakan di atas meja. Melani yang terkenal rakus, makannya paling banyak. Sampai-sampai membuat ngeri yang melihatnya. Meskipun tak semua makanan ia jejalkan pada lambungnya, tapi itu sudah cukup membuatnya kekenyangan.
Rencana Evan dan Bayu memang dibuat begitu matang. Jauh-jauh hari mereka sudah memesan tiket pesawat menuju Jogja. Lama perjalanan pun dapat dipersingkat.
Jogja, I’m coming!
Karna bangun kepagian di hari libur, Melani pun tertidur dalam pesawat. Juga malam kemarinnya ia tak bisa tidur. Mungkin tanda-tanda akan terjadi suatu yang buruk hari ini. Ditambah makan yang banyak, membuatnya mengantuk berat.
Sampailah di bandara Adi Sutjipto. Selesai pengecekan seluruh dokumen kedatangan dan seluruh barang bawaan, semua bergegas menuju parkiran. Ternyata disana sudah ada dua orang wanita cantik berdiri di depan tiga buah mobil menyambut kedatangan Rendy dan teman-temannya.
***
Tiga buah mobil itu segera melaju menuju Monumen Jogja Kembali. Puas berfoto-foto disana, perjalanan dilajutkan ke Museum Keraton Yogyakarta. Banyak sekali benda-benda kuno dan bersejarah khas kota Jogja. Ada juga beberapa foto keluarga kerajaan dan susunan keluarga.
Ketika Melani tengah asyik melihat-lihat susunan keluarga kesultanan, Rendy menghampirinya dan sedikit mengagetkannya.
“Asyik bener liat foto-fotonya,” ucap Rendy sambil mencolek kuping Melani.
“Ngagetin aja!”
 “Bangunannya keren, ya?” ucap Rendy lagi. “Kalo dibandingan hotel-hotel bintang lima di Jakarta, masih lebih keren keraton ini. Ya, meskipun corak dan bentuknya jadul.”
“Ya, jelas keren, lah. Namanya juga bangunan bekas kerajaan. Bangunan jaman dulu kan lebih bagus dari sekarang.”
“Dulu…” Rendy mulai bercerita. “Waktu gue dan keluarga pertama kali datang ke Jogja dan mengunjungi museum ini, gue pernah minta bokap gue buat beliin keraton ini untuk gue.”
“Kamu gila? Masak mau beli keraton? Ini kan milik pemerintah.”
“Namanya juga pikiran anak kecil.” Rendy mulai beraca-kaca. “Bangunan ini keren banget, pikir gue saat itu. Gue mau jadiin ini rumah gue bersama istri dan anak-anak gue.”
“Kenapa nangis?” Melani memberikan saputangannya pada Rendy.
“Enggak usah.” Rendy menolaknya dan mengucek matanya dengan punggung tangan. “Tiap inget kejadian itu, selalu bikin gue sedih. Itu adalah kali terakhir gue liburan sama keluarga gue.”
“Kenapa gitu?”
“Waktu di hotel, Papa tiba-tiba kena serangan jantung,” Rendy curhat. “Dan nyawanya tak dapat ditolong. Dan sejak saat itu gue bener-bener kehilangan bokap gue. Dia adalah orang pertama yang gue sayang. Meskipun dia selalu sibuk dengan kejaannya, tapi dia selalu luangkan waktu buat gue. Di saat yang bersamaan nyokap gue juga ninggalin gue dan Chika.”
“Dan sejak saat itu juga kamu marah sama Mama kamu?”
“Siapa yang enggak akan marah ketika baru aja kehilangan, lalu ditinggalkan gitu aja?”
“Mungkin saat itu, aku akan melakukan hal yang sama. Aku butuh waktu untuk menerima itu semua. Bahkan aku kehilangan kedua orang tuaku untuk selama-lamanya di saat yang sama. Butuh waktu satu tahun lebih aku dapat menerima itu semua. Tapi Kak Andre selalu ada buat support aku, dan aku pun dapat menerima kenyataan.”
“Di saat terpuruk kamu masih mempunyai Kakak loe. Gue?”
“Kamu punya Chika yang selalu sayang sama kamu,”
“Gue butuh yang lebih dari itu,”
“Dari Mama kamu?”
Rendy terdiam. Dalam hatinya, ia membenarkan perkataan Melani. Saat Papanya meninggal, ia sangat butuh dukungan dan kasih sayang ibunya. Namun hal itu sangat bertolak belakang dengan kenyataanya. Dari detik itu sampai sekarang, ia merasa belum pernah mendapatkan kasih sayang ibunya. Dan tanpa sentuhan kasih sayang itu, kini hatinya telah membatu.
“Andai kamu mau sedikit meluangkan waktu untuk bicara dengan Mama kamu, dan sedikit membuka hati, kamu pasti akan mendapatkan kasih sayang itu.”
“Terlambat,”
“Enggak pernah ada kata terlambat untuk mendapatkan yang kita inginkan.”
“Gue udah enggak butuh nyokap gue lagi.”
“Tapi…” kata-kata Melani terpotong ketika Evan datang.
“Pulang, yuk!” ajak Evan.
Melani pun mengangguk. Ia mengikuti langkah Rendy dan Evan yang sudah jalan duluan. Padahal ia masih ingin berlama-lama dengan Rendy. Ia masih ingin bicara panjang lebar dengan Rendy. Kalau begini kan, pembicaraan mereka jadi buntu.
Sebelum ke penginapan, semua mampir di Malioboro untuk makan. Disana ada sebuah restahurant yang cukup terkenal dan mewah yang menyajikan makanan khas Jogja. Makanan yang disajikan kali ini pun lebih banyak dari yang tadi pagi. Dan meskipun sarapan tadi pagi belum dikeluarkan, Melani masih mampu menjejalkan banyak makanan di lambungnya.
Baiknya gadis ABG seperti dia memikirkan tentang berat badan. ABG zaman sekarang kan, gemuk sedikit sudah diet ketat. Namun berbeda dengan Melani, dia sama sekali tidak pernah memperhatikan penampilannya. Dan tidak pernah mau peduli apa kata orang. Tapi sebanyak apapun dia makan, dia tidak pernah menunjukkan perbahan besar pada berat badannya.
Selesai makan di restahurant yang ternyata milik Pamannya Bayu. Semua pergi ke sebuah villa megah, jauh dari keramaian kota Jogja dan sangat nyaman milik keluarga Bayu.
“Disini ada enam kamar dan pas untuk kita,” urai Bayu. “Tiga kamar diatas, sisanya dibawah. Cewek-cewek tidur diatas aja.”
Ketika Melani sedang bersusah payah menuntun kopernya menaiki tangga. Sejak kapan sih Melani pergi-pergian pakai koper? Biasanya sih cuma pakai tas jinjing. Nah ini, sekalinya pake koper, jadi repot sendiri. Mana yang bikin ia repot, malah sibuk sendiri. Rendy nyebelin! gerutunya. Tiba-tiba pacar-pacar Evan dan Bayu mengagetkannya dari belakang.
“Loe ceweknya Rendy?” tanya salah seorang dari mereka, Sonia.
“Kakak nanya sama aku?” tanya Melani balik.
“Gue nanya langit-langit,” jawabya ketus. “Ya, nanya sama loe, lah.”
“Aku… bukan ceweknya Rendy,” Melani mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Baguslah,” ucap yang satunya lagi, Cathy. “Lagipula mana mau Rendy sama cewek model dia. Kita aja ditolak mentah-mentah.” Mereka pun pergi dan masih memperbincangkan Rendy.
“Pacar Rendy?” Melani mulai membayangkan ketika ia dan Rendy ‘sayang-sayangan’. “Ih… Jangan sampe, deh!” Ia pun melanjutkan susah payahnya menaikkan kopernya tersebut.
Melani kedapatan kamar paling pojokdan kecil. Karna kopernya itu, ia jadi tidak sempat memilih-milih kamar. Ia pun mendapatkan sisa dari pilihan pacar-pacar Evan dan Bayu. Tak apalah, yang penting dia dapat kamar.
Hari mulai malam. Matahari sudah terbenam di ufuk barat. Melani sudah merapikan seluruh barang bawaanya. Baru saja ia merebahkan diri di kasur—melepas penat seharian—tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Mel, kamu udah tidur?” sapanya ramah. Ini pasti bukan Rendy, pikir Melani. Mana pernah Rendy seramah ini?
“Belum,” Melani perlahan membuka pintu. Dihadapannya sudah ada Bayu. “Ada apa, Kak?”
“Kita jalan, yuk!” ajak Bayu.
“Ini kan udah malem?” Melani melihat jam tangannya. “Udah jam 21:00.”
“Kalo di Jogja, jam segini masih sore,”
“Enggak, ah. Aku enggak akan ikut. Aku cape jalan seharian.”
“Kalo kamu enggak ikut, kamu akan sendiri di rumah ini.”
“Kalo aku sendiri emangnya kenapa gitu?”
“Villa ini agak angker,” ucap Bayu sedikit berbisik.
Mendengar ucapan Bayu, Melani sedikit takut. Bulu kunuknya pun mendadak berdiri. Ia jadi inget waktu dikerjai oleh Tiara cs. “Masak sih, Kak?”
“Kalo kamu enggak percaya, nanti malem jam 24:00, akan keluar makhluk gaib dari dalem kolam. Balkon kamu kan pas banget langsung ke kolam.” ucapan Bayu semakin membuat Melani takut.
“Kakak jangan buat aku takut, deh.”
“Aku serius.”
“Emangnya kalian mau pulang jam berapa?”
“Malem banget, deh! Kalo kamu enggak ikut, kamu bakalan terus diganggu sama makhluk gaib itu sampai kita pulang nanti.”
“Ya udah, deh,” Melani pun menyerah. Takut juga kalau harus tinggal berdua bareng makhluk gaib. “Aku ganti baju dulu, ya!”
“Ok. Kita tunggu di bawah. Cepetan, ya!”
Sedetik kemudian Melani muncul di ambang pintu. “Kak,” Bayu membalikkan tubuhnya. “Emang dia keluarnya tiap hari?”
Melani memang mudah sekali dibohongi. Tapi ini adalah sebuah keuntungan bagi Bayu, namun lama-kelamaan keberuntungan ini berubah menjadi rasa kesal. “Iya,”
“Kakak pernah liat?” tanya Melani lagi.
“Udah tiga kali.”
“Gimana rupanya?” Melani semakin semangat menanyai Bayu.
“Jelek banget,” ucap Bayu semakin ketus. “Udah. Sekarang kamu pergi ganti baju! Yang lain udah nunggu di bawah.” ucap Bayu sambil mendorong Melani masuk kamarnya.
Tibalah Melani di sebuah tempat yang sangat asing baginya. Tempatnya penuh kelap-kelip lampu remang-remang. Musiknya yang begitu keras membuat seisi pengunjung berbicara sambil berteriak satu sama lain. Tempat apa sih ini, pikir Melani.
Sesampainya di ambang pintu, Melani agak menolak untuk masuk. Tempat ini terlalu aneh untuknya. Namun Bayu menariknya ke kursi panjang yang di depannya sudah tersedia beberapa botol minuman keras.
Evan menuangkan wine itu pada enam gelas. Semua mengangkat gelas yang terisi wine itu dan mengatakan ‘Cheers’. Dan hanya Melani yang tidak melakukan hal itu.
“Mel, kok enggak diminum?” tanya Evan.
“I… itu minuman keras, ya?” jawab Melani sedkit risih.
“Kadar alkoholnya rendah, kok.”
“Enggak ah. Makasih.”
“Udahlah. Kalo enggak mau, enggak usah dipaksa,” ucap Rendy.
“Turun, yuk!” ajak Chaty. Semua pun beranjak dari tempat duduknya, kecuali Melani.
“Aku juga enggak ikutan, deh.”
“Kalo gitu, kamu enggak boleh kemana-mana. Kalo ada apa-apa, panggil aja kita disana,” sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang sedang menari tak keruan diiringi musik yang memekakan telinga. Melani hanya menggangguk.
Lama menunggu, Melani mulai merasa bosan dan haus. Kemudian ia pergi ke tempat pemesanan minum. Dan memesan air putih.
“Disini tidak disediakan air putih.”
“Kalo maksud Mbak, mau minuman tanpa alkohol. Kami menyediakan soft drink.”
“Soft… drink?”—boleh juga sih, “tapi enggak jadi deh, Mas. Makasih.”
Bartender itu pun mengangguk dan melayani orang di sebelah Melani. Tiba-tiba datang seorang laki-laki berpenampilan rapi dan nampak ramah. Tinggi, cukup tampan, dan terlihat beberapa tahun lebih tua dari Melani. Ia duduk di sebelah Melani.
“Hai!” sapanya ramah. “Aku Raka. Boleh tahu nama kamu?”
Awalnya Melani agak takut. Ia memperhatikan laki-laki itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setiap kali bertemu orang asing, ia sekalu ingat ucapan Kakaknya, “Jangan mudah bergaul sama orang asing.”
“Apa muka aku tampang orang jahat?” Wajah dan penampilannya sih tidak menampakkan tampang orang jahat. “Jadi, boleh tahu nama kamu?”
Melani mengulurkan tangan dan menjabat tangan Raka. “Aku Melani.”
“Nama kamu bagus,”
“Makasih.”
“Kamu kesini sendiri?”
“Ah, enggak. Temen-temen aku lagi disana,” sambil menunjuk kerumunan yang ditunjukkan Bayu. Melani yang masih kehausan, nampak gelisah dan memandangi setiap sudut diskotik itu. Semoga saja ada segelas air putih.
“Kamu kenapa?”
“Aku agak haus. Tapi disini enggak ada air putih.”
“Kamu enggak suka minum?”
Melani mengangguk malu-malu.
“Baru pertama kesini, ya?”
“Iya,” jawabnya agak malu-malu,
“Ini aku bawa air putih,” Raka menyodorkannya ke arah Melani.
Melani tidak segera mengambilnya, ia malah memandangi wajah Raka. Dapatkah ia menaruh kepercayaan pada Raka? Wajahnya sih sama sekali tidak mencurigakan. Lagipula rasa haus yang Melani rasakan tak dapat ditahan lagi. Perlahan ia pun mengambil botol dari tangan Raka. Walau masih ragu, Melani meminum air tersebut.
“Makasih,” ucap Melani sambil mengembalikan botol itu pada Raka.
“Buat kamu aja,”
Beberapa menit kemudian Melani mulai merasakan pusing hebat. Seakan-akan semua benda yang ada di hadapannya mengeliinginya. Wajah Raka pun mendadak ada lima.
“Mas, kok jadi pusing gini, ya?”
Nampaknya minuman yang Raka berikan bukanlah air putih biasa, melainkan sejenis minuman keras. Walaupun minuman keras itu berkadar alkohol rendah, namun itu sudah membuat Melani mabuk.
Ketika Raka hendak menggendong Melani, Rendy datang dan langsung meninju Raka. Seketika itu juga Raka tersungkur. Melani pun terlepas dari pegangan Raka dan terjatuh ke sudut ruangan. Kemudian ia segera menghampiri Melani yang tergeletak setengah tak sadar di atas lantai.
“Mel, sadar! Loe kenapa?”
“Hhmm…” Melani masih setengah sadar. “Ren, kok kamu gantengan, ya?”
Ada yang tidak beres. Mulut Melani bau alkohol. Raka telah memberi Melani minuman berakohol. Rendy membenahi posisi Melani. Kemudian ia kembali mengurusi Raka. Ditariknya kerah baju Raka. Lalu ia meninjunya lagi. Mendengar keributan, semua yang ada di diskotik itu mengerumuni Rendy dan Raka.
“Loe apain cewek gue?” teriak Rendy.
“So… sorry, Ren,” jawab Raka tergagap. “Gue enggak tahu kalo dia cewek loe.”
“Loe apain cewek gue?” teriak Rendy semakin keras. Raka pun kena tinjunya lagi.
“Gue cuma kasih minuman doang,”
Rendy meninjunya lagi. “Loe enggak tahu siapa gue? Loe berani macem-macem sama gue?”
“Gue bener-benar minta maaf,” Rendy tak menggubris kata maaf yang diucapkan Raka. Ia pun tak berhenti melayangkan tinjunya pada wajah Raka. Raka pun tak dapat berkata-kata lagi, ia hampir tak sadarkan diri. Wajahnya sudah babak belur.
Kemudian datanglah Evan dan Bayu yang menghentikan Rendy. “Ren, cukup! Sekarang loe urusin Melani! Biar anak ini kita yang beresin.”
Rendy lupa kalau masih ada Melani. Karna emosinya yang meledak itu, ia jadi melupakan Melani yang lebih membutukannya. Ia pun segera menghampiri Melani dan menggendongnya.
Ketika Rendy hendak membukakan pintu mobil untuk Melani, tiba-tiba Melani memegang bahunya dengan keras. Keduanya saling berhadap-hadapan. Awalnya Rendy terkejut, namun kemudian ia meladeni Melani yang nampaknya akan bicara ngawur padanya.
“Rendy…” Melani bicara setengah sadar. “Sumpah, kamu adalah orang ternyebelin yang pernah aku temui di dunia ini. Tapi aku enggak menyesal pernah kenal kamu. Anehnya lagi, tiap aku sama kamu, aku selalu merasa nyaman banget.” Senyum lebar pun menghiasi wajah Rendy. Ia baru tahu, meskipun selama ini mereka selalu adu mulut, tapi Melani selalu merasa senang di sisinya.
Dan tiba-tiba… Melani memuntahi baju Rendy. Sontak saja Rendy mendorong Melani. Kening Melani pun terbentur kaca mobil dan sedikit lecet.
“Aaaa…” rengek Melani. Ia pun langsung pingsan.
Rendy yang super bersih dimuntahi Melani, marahnya bukan main. “Melani…” teriaknya. Untung saja Melani dalam keadaan mabuk, Rendy pun sedikit memakluminya.
Rendy menggendong Melani sampai ke kamarnya. Kemudian ia menidurkannya dengan penuh perhatian. Ketika ia hendak mencium kening Melani, ia baru sadar ternyata kening Melani terluka bekas terbentur kaca mobil tadi. Ia pun segera mengambil kotak P3K dan mengobati luka Melani.
Besok paginya, Melani bangun dalam keadaan yang masih setengah sadar dan kepala yang cenat-cenut. Ia melihat sekeliling, ini kan kamar aku? Kok aku bisa ada disini? Lalu ia mengingat-ngingat kejadian semalam. Ia diajak ke tempat aneh, duduk-duduk, ketemu Raka, Rendy… dan enggak inget lagi. Apa yang terjadi semalam? Ia masih bingung.
Di tengah kebingungannya itu, Melani masih mampu mencium aroma bubur yang nampaknya lezat. Di samping bubur itu, ada juga segelas susu hangat, dan sepucuk surat untuknya.
Buburnya buat sarapan kamu. Susunya buat menetralkan minuman keras yang kamu minum semalam. Meskipun enggak enak, harus kamu abisin!
“Rendy?”
 “Tapi apa katanya, semalam aku minum?” Melani masih bingung. “Apa minuman yang dikasih Mas Raka? Ah, mana mungkin? Mas Raka kan keliatannya baik.” Walau masih bingung, Melani pun menyantap bubur tersebut. “Enak,”
Selesai makan, Melani turun ke lantai satu dan bergegas menuju dapur. Dan mencuci bekas makannya sendiri. Meskipun ada beberapa orang pelayan, Melani tidak mau dilayani layaknya ratu di rumah itu. Selagi ia masih bisa melakukannya sendiri, ia tidak akan menyusahkan orang lain. Badannya pun sudah agak enakan dan tidak pusing lagi.
Ketika Melani sedang mencuci piring, datanglah Rendy. Melani menghentikan sejenak mencuci piringnya dan memperhatikan gerak-gerik Rendy. Rendy mengambil sebuah cangkir dan sendok kecil, kemudian ia membuka lemari yang berisi botol-botol berbagai minuman, kopi, gula, dan beberapa sachet minuman seduh. Ia mengambil satu sachet cappucino, dan menyeduhnya dengan air panas dari termos.
Ketika hendak keluar dari dapur, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Melani. “Ngapain loe liatin gue?”
“Aku cuma mau bilang makasih atas perhatian kamu. Makasih kamu udah buatin aku bubur sama susu.”
“Sama-sama,” jawabnya ketus. “Lain kali jangan repotin gue lagi! Dan satu hal lagi, jangan gampang percaya sama orang yang baru loe kenal!”
Muncul lagi deh juteknya. Melani hanya mengangguk-ngangguk. Ini semua kan berawal dari Rendy juga. Kalau dia tidak mengajak Melanui berlibur, ia tidak perlu repot mengurusi Melani bila terjadi apa-apa.
Melani melanjutkan cuci piringnya, namun Rendy masih dia di tempat. Ia malah senyum-senyum sendiri. Melani jadi ngeri melihatnya. Selesai mencuci piring, Melani iseng menanyakannya pada Rendy. “Kamu kenapa?”
“Gue cuma lagi inget perkataan loe semalem pas mabok,”
Melani mengingat-ngingat kejadian semalam. Ia sama sekali tidak ingat apa yang dikatakannya pada Rendy. Sekilas dalam ingatannya, ia memang sempat bicara panjang lebar dengan Rendy. Tapi apa yang dibicarakannya?
“Emang semalem aku ngomong apa?”
“Enggak penting juga, sih.” Rendy pun berjalan menuju meja, dan duduk di salah satu kursinya.
Melani berusaha mengejarnya. Ia harus tahu apa yang ia ucapkan pada Rendy semalam. Bagaimana kalau ia bicara yang aneh-aneh? “Rendy jangan buat aku penasaran. Please, kasih tahu apa?”
“Kan udah gue bilang enggak penting,”
“Tapi penting buat aku,”
“Emang gue peduli?”
“Ren, jangan gitu, dong! Aku mohon, bilang sama aku.”
Rendy menatap tajam pada Melani dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Melani. Membuat Melani jadi salah tingkah. Sambil menahan grogi, Melani mencoba tidak melihat mata Rendy.
“Liat mata gue!” Dengan terpaksa Melani melihat mata Rendy. Jantungnya semakin kencang berdetak, dag dig dug tak keruan. “Loe suka sama gue?”
Jantung Melani seakan sudah berhenti bekerja, tak ada detak jantungnya lagi. Sekujur badannya pun bergetar. Ucapan Rendy bagai petir yang menyambar ubun-ubunnya. Ia tak mengerti mengapa Rendy bisa berpikiran seperti itu. Dan ia sendiri juga bingung, apa yang harus ia jawab.
“Ng… enggak,” jawabnya ragu, dan mendadak gagap.
“Jujur?” Semakin membuat Melani tak keruan. Kini sekujur tubuhnya sudah dibanjiri keringat dingin.
“A… aku enggak suka sama kamu,” Melani mencoba mengurangi groginya. “Jangan GR kamu! Walaupun di dunia ini cowok cuma kamu, lebih baik aku enggak nikah-nikah selamanya.”
“Bener?”
“Udahlah,” Melani mendorong tubuh Rendy. “Omongan kamu makin ngaco.” Ia pun pergi dengan tergesa-gesa menuju kamarnya. Sekujur tubuhnya masih gemetar dan berkeringat dingin.
“Loe enggak mau tahu tentang kejadian semalem?” tanya Rendy saat Melani masih di tangga.
Melani menghentikan langkahnya. “Enggak.”
“Yakin?” tanya Rendy lagi.
“Yakin,” Melani pun setengah berlari menuju kamarnya. Meskipun ia masih penasaran, apa yang ia katakan pada Rendy semalam. Tapi yang penting sekarang, ia harus menstabilkan seluruh kerja anggota badannya.
Tak lama kemudian Evan menghampiri Rendy dan menyeruput cappucino milik Rendy yang sudah mulai mendingin.
“Loe apain Melani?” tanyanya kemudian.
“Enggak. Dia enggak gue apa-apain.”
“Terus kenapa dia lari ketakutan gitu?”
“Abis liat setan kali,” tebak Rendy. Tapi ia tahu sendiri mengapa Melani begitu. Melani jadi salah tingkah karna pertanyaannya tadi.
“Setannya loe,”
Kalau seperti biasa, setiap kali diejek atau disindir Evan mapun Bayu, Rendy selalu marah atau jadi ketus, kali ini ia berbeda. Ia malah jadi senyum-senyum sendiri lagi. Jadi buat Evan merinding.
“Wah, kalian berdua kesambet! Ihh…” Evan pun pergi.
***
Pikiran Melani masih tak keruan. Badannya pun masih gemetar. Walau ia sudah cuci kepalanya dengan sampo dan mencuci sekujur tubuhnya dengan sabun. Kini badannya terasa lemas. Selesai mengganti baju dan mengeringkan rambutnya, ia merebahkan diri dai atas tempat tidurnya.
Belum lima menit ia terlelap, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terjadi lagi. Kenapa sih orang hobby banget ganggu yang mau tidur? Dengan malas Melani beranjak dan membukakan pintu.
“Kak Evan?” Dilihatnya Evan sedang bersandar pada dinding sambil melipat tangannya. “Ada apa, Kak?”
“Gimana keadaan kamu? Udah baikan?”
“Lumayan,”
“Kalo gitu… kamu mau ikut jalan, enggak?”
“Ke tempat yang kemaren? Enggak, deh. Aku di rumah aja.”
“Bukan,” sanggah Evan. “Kita mau ke pantai. Ikut, ya?” Melani masih menimbang-nimbang. “Ikut aja, biar badan kamu jadi lebih fresh.”
“Ya udah, aku siap-siap dulu, ya!”
“Ok. Kita tunggu di bawah, ya!”
Tujuan hari ini adalah khusus pantai yang ada di Jogja. Tujuan pertama adalah Pantai Baron dan Kukup. Perjalanan dari villa Rendy menuju Pantai Baron dan Kukup cukup memakan waktu. Meskipun akhir pekan, namun jalan tidak begitu macet.
Sampailah di pantai yang menjadi salah satu daya tarik kota Jogja. Banyak wisatawan yang datang untuk menikmati indahnya pantai pada siang hari ini, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Matahari yang cukup menyengat pada hari ini. Banyak diantara wisatawan asing yang berjemur di pinggir pantai. Berjalan di atas pasir putih yang lembut tanpa alas kaki sungguh mengasikkan. Perjalanan dipimpin oleh Rendy. Melani yang ada di belakangnya hanya diam saja sambil lirik kanan lirik kiri memperhatikan aktivitas semua orang di pantai pada hari itu. Selain yang berjemur, ada juga yang berjualan, berenang, berselancar, dan banyak anak yang membuat istana pasir. Evan dan Bayu malah asyik pacaran dengan Chaty dan Sonia.
Lama Melani dan Rendy berjalan, tanpa mereka sadari, keduanya telah ditinggal Evan dan Bayu.
“Ren,” Melani menepuk-nepuk bahu Rendy. Ia yang pertama kali menyadari telah ditinggal berdua.
“Apa?” Rendy menghentikan langkahnya, namun pandangannya masih lurus ke depan.
“Kak Bayu sama kak Evan enggak ada,”
Rendy membalikkan tubuhnya 180°. Dan ia tidak mendapati kedua sahabatnya berada di belakangnya. Ia pun melanjutkan langkahnya.
“Kok kamu diem aja?”
“Terus?”
“Ya, kita nyari, dong! Gimana kalo mereka diculik?”
“Mereka udah gede, Mel. Mereka juga bisa jaga diri sendiri. Paling juga lagi pacaran,” Mereka pun melanjutkan langkahnya.
Tak ada yang mau membuka pembicaraan. Melani juga tidak mengoceh. Lama-lama bosan juga. Rendy pun memulai perbincangan. “Cape enggak, jalan terus?”
“Sedikit,”
“Mau enggak sewa sepeda?” tawar Rendy.
Melani pun mengangguk. Ia juga cudah cukup lelah berjalan. Sewa sepeda boleh juga. Sekalian irit tenaga plus irit waktu.
Mereka menggunakan sepeda sewaan menyusuri jalan beraspal di sepanjang garis pantai. Sungguh romantis bersepeda di jalan yang cukup sepi kendaraan dengan pemandangan ke laut lepas.
Lelah bersepeda cukup jauh dari pantai semula, mereka menepi. Jalan beraspal itu beberapa meter lebih tinggi dari laut dan berpondasi pada batu karang yang setiap hari di terjang ombak. Pantai dan jalan dibatasi dengan pagar beton setinggi satu meter yang kuat.
Melani merentangkan tangannya, memejamkan matanya, dan membiarkan rambutnya yang terurai tertiup angin pantai. Perlahan ia membuka matanya, sungguh indah memandang indahnya lautan lepas.
Ia jadi ingat terakhir kali ia pergi liburan bersama keluarganya. Ketika itu sedang liburan hari raya, keluarganya memilih berlibur ke pantai Pangandaran. Kebahagian menyelimuti keluarga Melani yang saat itu masih utuh.
Sampai pada saat kebahagian itu harus sirna, saat kedua orang tua Melani kecelakaan pesawat menuju Medan. Kedua orang tua Melani pada saat itu harus pergi untuk mengurusi pekerjaan mereka yang selalu pergi-pergi ke luar kota. Andre dan Melani dititipkan pada Mang Yayan—adik ibunya Melani—yang berada di Ciamis. Pesawat yang ditumpangi kedua orang tua Melani jatuh di Selat Sunda. Dan sampai sekarang, bangkai pesawatnya tidak dapat ditemukan. Seluruh penumpang beserta pilot dan pramugarinya pun jasadnya tak dapat ditemukan. Melani hanya bisa berharap ada keajaiban, bahwa pada suatu saat nanti orang tuanya datang ke rumahnya dalam keadaan sehat wal’afiat, atau setidaknya jasad mereka bisa ditemukan.
Sejak saat itu Andre dan Melani tinggal dengan Mang Yayan. Beliau tidak mempunyai anak-istri. Ia memilih hidup melajang selamanya sejak cintanya ditolak Sang Ayah Mertua. Mang Yayan pun mencari kesibukan sendiri dengan menjadi nelayan. Dengan keuleutannya itu, ia telah menjadi salah satu saudagar besar ikan di Ciamis.
Dua tahun yang lalu Tuhan mengambil nyawanya karna diabetesnya yang sudah akut. Bandar ikannya pun diwariskan pada Andre. Namun belum juga sebulan bandar ikan itu sudah hampir bangkrut karna Andre tidak mampu mengelolanya dengan baik. Bandar ikan itupun ia jual lalu pindah ke Jakarta. Kedua orang tua mereka masih mempunyai rumah yang cukup luas—yang ditinggali Melani sekarang. Andre melanjutkan kuliahnya juga Melani melanjutkan sekolahnya dari warisan peninggalan orang tua mereka. Sebulan tinggal di Jakarta lagi, Andre diterima sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta.
Setiap kali mengingat masa kecilnya, Melani selalu menitikkan air mata. Ia pun kembali memejamkan matanya. Muncul satu persatu orang yang sangat ia sayangi yang telah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta.
Rendy yang dari tadi memperhatikan Melani, jadi merinding sendiri.
“Mel,” Rendy memegang lembut bahu Melani. “Loe baik-baik aja, kan?”
“Hah?” Melani segera menghapus air matanya.
“Kenapa nangis?”
“Aku enggak nangis, kok.”
“Jangan bohong! Mata kamu berair,”
“Aku cuma lagi kangen sama Mama Papa aku,”
Lalu Rendy memeluk Melani. Awalnya Melani sedikit menolak, namun Rendy memeluknya erat. Melani pun membalas pelukan Rendy.
“Kalo mau nangis, enggak perlu ditahan.” ucap Rendy lembut—tumben. “Enggak perlu merasa bersalah atau malu. Loe boleh pake bahu gue buat nangis.”
Rendy mengerti apa yang sekarang sedang Melani alami. Karna ia pernah mengalami hal itu pada saat Papanya meninggal dulu. Saat itu tak ada seorang pun yang mau membantunya meringankan kesedihannya. Ia tahu bangaimana perasaan Melani sekarang ini. Dan kini ia teringat lagi pada Papanya. Hampir saja ia menitikkan air mata mengingat hal itu.
Tangis Melani pun tak terbendung lagi. Semua tangis kesedihan yang selama ini ia pendam, terluapkan saat itu juga. Ia menangis sesegukkan di bahu Rendy. Beberapa menit kemudian, Melani sudah selesai meluapkan semua kesedihannya. Rendy melepaskan pelukannya.
“Lebih enakan, kan?”
Melani mengangguk dan menghapus air matanya.
“Kalo gitu kamu siap dong, buat balapan sepeda sampai sana?” Rendy menunjuk ke arah jajaran pedagang yang menjajakan dagangan mereka dekat pantai selepas pagar beton. Sekitar 500 m dari tempat mereka berada sekarang.
Melani menarik napas panjang dan menghembuskannya. Lalu ia mengangguk. Kedua segera menaiki sepeda masing-masing.
“Yang kalah dihukum,”
“Biar aku yang itung,” tawar Melani.
Giliran Rendy yang mengangguk.
“Satu…” Melani memberi aba-aba. “Dua…” Keduanya mulai bersiap-siap. “Tiga,” kata Melani sambil menendang ban depan sepeda Rendy. Ia pun melesat lebih dahulu meninggalkan Rendy yang terjatuh tertimpa sepedanya.
“Aghh…” teriak Rendy. Ia pun segera bangun dan mengejar Melani yang sudah cukup jauh darinya.
Melani yang lebih dulu sampai finish. Walau sudah sekuat tenaga Rendy mengejar Melani, namun tetap Melani yang memenangkan balapan. Beberapa saat kemudian Rendy pun sampai.
“Yee…” teriak Melani kegirangan. “Aku menang.”
“Enggak sah,” sanggah Rendy.
“Kenapa gitu?”
“Loe kan udah curang,”
“Kamu kan enggak bilang, enggak boleh curang. Kamu tetep harus dihukum.”
“Enggak bisa gitu, dong. Pokoknya loe yang dihukum karna loe udah curang.”
“Ya bisa, dong. Kamu kan cuma kasih peraturan, yang kalah harus dihukum. Kamu kan kalah, jadi harus dihukum. Salah kamu sendiri kasih peraturan cuma itu doang?”
“Sekali enggak, tetep enggak,”
“’Gue selalu konsisten sama ucapan yang pernah keluar dari mulut gue’, itu kan yang pernah kamu bilang sama aku?”
“Oke,” Rendy mengalah. Salahnya sendiri bilang seperti itu. “Loe mau kasih gue hukuman apa?”
“Sambil aku mikir, kita minum dulu, ya?” ajak Melani. “Aku haus, nih. Kamu juga, kan?” Kemudian ia mengoes sepedanya menuju warung minuman beberapa meter di depan mereka. Rendy mengikutinya dari belakang. Sambil berpikir hukuman apa yang akan ia terima, mudah-mudahan enggak yang aneh-aneh.
Melani mencari tempat duduk untuknya dan Rendy. Ada beberapa kursi yang kosong dan sebagian sudah ditempati beberapa pengunjung. Melani memilih tempat duduk yang paling ujung, yang bisa langsung memandang ke pantai. Tak lama kemudian Rendy datang dengan dua gelas minuman dingin.
“Makasih,”
Rendy tak menjawab, kemudian ia duduk dan meneguk minumannya.
“Aku udah tahu hukuman yang pantes buat kamu,”
“Apa?” Rendy masih kesal atas kekalahannya.
Melani menunjuk ke arah atas menyerong ke kanan sedikit. Tepat menunjuk ke arah buah kelapa yang menggantung pada pohonnya. Melani menatap Rendy dengan tatapan memohon tapi manja.
Rendy memandangnya heran. “Maksud loe?”
“Aku mau minum air kelapa,”
“Loe mau gue manjat, buat metik kelapa itu?”
Melani mengangguk kuat.
“Disini banyak gitu, orang yang jualan air kelapa muda. Kenapa harus susah-susah manjat? Gue bisa beliin 100 buah kelapa buat loe. Gue enggak mau. Loe panjat aja sendiri.”
“Kalo beli bukan hukuman namanya. Kalo beli aku juga bisa.”
Rendy tak menjawab. Ia ingat kata-katanya sendiri, selalu konsisten dengan semua ucapannya. Ia pun bergegas menuju penjaga warung tempatnya membeli minum sekaligus pemilik pohon kelapa yang ditunjuk Melani. Setelah bernegosiasi beberapa menit, Rendy memberikan beberapa lembar rupiah kepada orang tersebut. Penjaga warung itupun sementara digantikan oleh anaknya.
Sampailah di pohon kelapa yang dimaksud. Rendy mulai bersiap-siap untu naik. Ada beberapa percakapan sebelumnya. Kemudian si pemilik pohon itu menunjuk ke salah satu buah kelapa, yang nampaknya buah kelapa tersebut yang harus dipetik Rendy.
Dari jauh Melani berteriak, “Rendy… kamu yang harus manjat, ya!”
“Pacarnya ya, Mas?” tanya si pemilik pohon kelapa.
Rendy hanya diam. Kemudian ia mulai memanjat. Sampai diatas Rendy langsung memutar-mutar buah kelapa yang dimaksud, dalam hitungan detik buah kelapa itu sudah jatuh—mahir juga, ya! Perlahan Rendy pun mulai turun.
Setelah Rendy turun, ia berjalan mengikuti si pemilik pohon yang sudah berjalan beberapa meter darinya. Si pemilik pohon itu langsung memapas buah kelapa yang dipetik Rendy, lalu memberikan sebuah sedotan dan payung kecil sebagai penghias pada luang kecil yang ia congkel pada buah kelapa tersebut sebelumnya. Kemudian dibeikan kepada Rendy.
Rendy berjalan ke arah Melani. Melani yang dari tadi menyaksikan serta beberapa orang disekitarnya tersenyum geli melihat kelakuan Rendy.
“Ini, Tuan Putri!” Rendy menyimpan buah kelapa tersebut di hadapan Melani.
“Makasih,” ucapnya sambil tersenyum manja. Kemudian ia meminumnya. “Dimana-mana kalo langsung dipetik dari pohonnya, segernya beda. Enak banget!”
Rendy yang masih kesal hanya diam menanggapi ocehan Melani.
“Mau coba?” tawar Melani sambil menyodorkannya kepada Rendy. Rendy kekeh untuk diam.
“Jangan jaim gitu, dong! Enak, kok,” tawar Melani lagi.
Penasaran juga sama rasanya. Meskipun sudah puluhan kali ia minum air kelapa muda, tapi gimana rasanya kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon, ya? Apalagi ini ia sendiri yang petik. Perlahan ia pun mengambilnya, dan menyeruputnya. Enak!
Kemudian ia mengambil alih kelapa muda itu dari tangan Melani dan menuruputnya sekali lagi. Wah, kejadian lagi! Melani tidak bisa tinggal diam melihat kelapa muda miliknya diambil. Meskipun itu dipetik Rendy, namun tetap saja kepemilikannya tetap sah punya Melani. Sudah dua kali ia mengalah haknya diambil begitu saja. Dan ia tidak mau hal itu terulang untuk ketiga kalinya.
Melani berusaha sekuat tenaga untuk meraih kelapa mudanya. Rendy yang sudah beranjak dari tempat duduknya Melani kejar sampai dapat. Ketika Rendy sudah tidak berlari lagi, Melani sekuat tenaga meraih kelapa mudanya. Rendy pun semakin meninggikan kedudukan kelapa mudanya. Semakin sulit untuk Melani raih.
“Balikin kelapa muda aku!” teriak Melani. Ia mendadak jadi ganas.
“Buat gue aja, ya!”
“Enggak mau itu punya aku,”
“Ini enak, Mel. Sayang kalo gue lewatin. Ini kan yang metik gue?”
“Enggak mau. Itu punya aku. Balikin!” teriaknya semakin kencang.
“Mel, malu diliat orang.” Ternyata dari tadi banyak mata yang memperhatikan tingkah konyol mereka. Ada yang berpendapat enggak ada kerjaan. Ada yang menganggapanya sebagi hiburan karna kapan dan dimana lagi bisa liat hiburan gratis dan jarang ini. Ada juga yang tidak peduli, dan sibuk dengan kerjaannya sendiri.
“Enggak peduli. Aku cuma mau kelapa muda aku.”
Akhirnya Rendy memberikan juga kelapa muda Melani. Tapi ketika dilihat isinya, sudah tidak ada setetes air pun. Untuk ketiga kalinya ia kalah berebut dari Rendy. Mengapa selalu ia yang mengalah?
“Rendy…” geram Melani. Ia menjatuhkan buah kelapanya. Untung tidak kena kaki Rendy, karna jatuhnya hanya beberapa sentimeter dari kaki Rendy. Lalu ia pergi dengan muka cemberut.
Rendy yang merasa bersalah mengejar Melani dan menahan langkah. Berusaha meminta maaf pada Melani. Namun Melani tidak mengubrisnya. Ia tetap melipat wajahnya dan terus berjalan.
“Mel, maafin gue, ya!”
Melani tetap diam seribu bahasa.
“Jangan marah terus, dong! Please, maafin gue!”
“Aku udah bosen maafin kamu,”
“Jangan gitu, dong! Tuhan aja Maha Pemaaf, masak kamu enggak mau maafin aku?”
“Jangan bawa-bawa Tuhan! Kamu udah sering bikin aku kesel. Baru aja kamu bikin aku seneng, sedetik kemudian kamu jadi ngeselin lagi. Apa bikin aku kesel udah jadi hobby kamu?”
“Bukan gitu…” kata-kata Rendy terpotong.
“Mau bilang ‘Abisnya enak, gue suka’, hah?”
“Ya, kan aku udah minta maaf. Kalo gitu… aku petikin lagi, mau?”
“Udah enggak mood,”
“Kalo gitu kamu mau apa?”
Jawaban atas pertanyaan Rendy, Melani hanya mendorong Rendy sampai terjatuh. Lalu ia pun pergi. Namun langkahnya terhenti ketika ia tidak mendengar Rendy berteiak-teriak minta maaf. Ketika ia melihat ke belakang, Rendy sudah tidak ada disana. Hah, Rendy mana?
Melani memandang sekelilingnya. Namun tetap saja Rendy tak ada pada pandangannya. Jangan-jangan Rendy meninggalkannya, terka Melani. Bagaimana ia bisa pulang? Di Jogja ia tidak punya kenalan siapapun. Ia tak tahu jalan pulang.
Tengok kanan, tengok kiri ia tetap mencari Rendy. Namun Rendy tak kunjung ditemukan. Dan tiba-tiba… Rendy sudah ada di hadapannya secara mengejutkan.
“Nyariin gue, ya?”
“Enggak,” jawab Melani marah, menutupi keterkejutannya.
“Maafin gue, ya!” Rendy menunjukkan sebuah es krim di hadapan Melani.
Melani ingin tersenyum melihat tingkah Rendy untuk dimaafkannya. Namun ia berusaha menahannya dan tetap memasang wajah cemberut.
“Ambil, ya!” Rendy memasang wajah memelas. “Kalo loe ambil, berarti loe maafin gue,”
Melani masih diam. Rayuan Rendy ternyata belum mempan.
“Aku janji deh, enggak akan ngerebut es krim kamu. Soalnya aku juga punya,” Rendy menunjukkan es krimnya. Ekspresi wajahnya bikin Melani ketawa. “Nah, gitu dong! Marahnya udahan. Kan kalo ketawa keliatan cantiknya.”
 Melani kembali sinis.
“Masih mau tawaran es krimnya?”
Melani pun mengambilnya juga. Itu artinya Melani sudah memaafkan Rendy. Melani pun tidak melipat wajahnya lagi.
Keduanya pun kembali ke tempat parkir sepeda mereka sambil makan es krim masing-masing. Tiba-tiba Rendy jadi jahil, ia mencolek eskrimnya sendiri dan mengoleskannya pada wajah Melani. Lalu bergegas segera pergi, sebelum Melani ngamuk lagi.
“Rendy…” teriak Melani. Hampir saja es krim di tangannya jagi peluru untuk nimpuk Rendy.
Rendy mengajak Melani untuk mendaki batu karang yang ada di Pantai Kukup. Dulu ketika ia berlibur dengan keluarganya ke Jogja, ia sempat diajak Papanya ke tempat tersebut. Ketika itu ia dan Papanya yang sangat menikmati keindahan laut dari atas batu karang tersebut. Hal yang sampai ini masih tersimpan dalam memorinya dan akan selalu tersimpan sampai kapanpun. Dan sekarang ia mau menunjukkan keindahan tempat itu pada Melani.
Letak batu karang dengan lokasi wisata pantai tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai di tempat itu dengan sepeda. Untuk sampai ke atas, harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak pelru menghabiskan banyak waktu, hanya sekitar 10 menit. Belum banyak orang yang mengunjungi tempat itu.
Sampailah di puncak batu karang tersebut. Apa yang dikatakan Rendy memang benar adanya. Pemandangan Pantai Kukup dari ketinggian belasan meter sungguh menakjubkan. Meskipun sejak tadi Melani memandang ke arah laut dari berbagai titik, ia selalu bergumam, “Sungguh menakjubkan!” dan di tempat inilah pemandangan laut yang paling indah. Ia juga dapat melihat ke segala penjuru pantai. Dan melihat semua aktivitas turis-turis di pantai. Benar-benar tak ada tandingannya.
“Keren banget!”
“Tempat ini masih seindah dulu.”
“Kenapa kamu baru kasih tahu aku tempat sekeren ini?”
“Kenapa aku baru kasih tahu kamu? Karna biar sekalian kita liat sunset,”
Melani meneliti wajah Rendy. Lalu ia tersenyum sendiri.
“Ayo duduk!”
“Oh, iya,” Melani kembali memandang ke arah pantai. Keduanya pun duduk dan menikmati indahnya salah satu cipataan Tuhan itu.
“Kamu sering kesini?” tanya Melani menyelidik.
“Setiap kali ke Jogja, gue pasti nyepetin buat kesini.”
“Bareng Kak Evan sama Kak Bayu?”
“Enggak. Gue kesini selalu sendiri,” Rendy melirik ke arah Melani. Ia sadar telah membuat melani keGRan. “Gue ajak loe ke sini cuma buat minta maaf aja soal kejadian tadi,”
Melani agak cemberut. “Aku udah maafin, kok.”
“Bentar lagi mataharinya terbenam,” ucap Rendy.
“Kita hitung mundur!” ucap Melani.
“Lima…” ucap mereka berbarengan. “Empat… tiga... dua… satu,” Namun matahari belum terbenam.
“Kamu ngitungnya kecepetan,”
“Enak aja,” Rendy tak mau kalah. “Loe yang ngitung duluan.”
“Ya udah, kita itung lagi,”
“Lima…” ucap mereka serempak lagi. “Empat… tiga…” Sang Surya pun terbenam. Dan malam mulai menampakkan gelapnya. Aktivitas di bibir pantai pun sudah mulai berkurang. Tidak banyak wisatawan yang masih berada di pantai.
“Indah banget,” kata Melani terkagum-kagum.
“Ayo kita pulang!” ajak Rendy. Keduanya pun beranjak dan pulang.
Sampai di rumah, ternyata Evan, Bayu, Chaty, dan Sonia sudah hendak pergi. Mereka bepapasan dengan Melani dan Rendy di ruang tengah.
“Yang abis pacaran baru pulang,” sindir Evan.
“Maksud Kak Evan apa? Kita enggak pacaran, kok. Kakak sendiri kemana? Ilang tiba-tiba.”
“Kita enggak kemana-mana, dari tadi kita ngikutin kalian. Kaliannya aja yang ilang tiba-tiba.”
“Sekarang loe pada mau kemana?” tanya Rendy.
“Mau ke diskotiknya Mas Tommy,” jawab Bayu. “Kalian mau ikut?”
“Enggak, ah. Aku di rumah aja,” jawab Melani.
“Gue cape. Kalian pergi aja.”
“Gatel-gatel ya, abis manjat pohon kelapa,” ucap Bayu.
Hah? Mengapa mereka bisa tahu? Melani dan Rendy kaget mendengar ucapan Bayu. Apakah mereka tahu semua yang Melani dan Rendy seharian?
“Loe sekongkol ngerjain gue, Mel?” Rendy jadi marah pada Melani.
“Enggak, kok. Aku juga heran, kenapa mereka bisa tahu.”
“Ah… loe ngerjain gue, Mel,” geram Rendy kesal.
“Sumpah… aku juga enggak tahu,”
“Gue enggak percaya,” Melani langsung berlari menuju kamarnya. Rendy segera mengerjarnya. Sementara yang lain hanya saling pandang dengan tatapan heran melihat kelakukan Melani dan Rendy. Lalu mereka pun memutuskan untuk pergi.
“Awas aja kalo loe beneran sampe ngerjain gue!” ancam Rendy. “Gue enggak akan kasih ampun,”
Ketika di tangga, Rendy berhasil menarik tangan Melani. “Kena juga loe,”
“Rendy. Sumpah aku enggak tahu apa-apa.” Melani mengangkat kedua jemarinya membentuk huruf V.
“Bohong loe!
“Beneran. Aku enggak tahu,” Melani meringis kesakitan. “Lepasin tangan aku! Sakit.”
“Enggak,”
“Berdua di rumah, jangan ngelakuin yang macem-macem, ya!” pesan Evan di ambang pintu.
“Sialan loe!” Rendy melemparkan sepatunya ke arah pintu. Namun Evan segera menutup pintu, sebelum sepatu Rendy membuat kepalanya pecah.
Saat Rendy lengah, Melani langsung melepaskan diri dan segera berlari ke kamarnya. Sampai di kamar Melani langsung mengunci diri di kamar. Sekarang ia sudah dapat bernapas lega.
“Mel, buka!” teriak Rendy dari luar.
“Enggak mau,”
“Cepet buka pintunya!”
“Enggak mau,” Melani makin kekeh.
Lelah Rendy berteiak-teriak di depan kamar Melani. Ia pun bergegas menuju kamarnya dengan hati yang masih diliputi kekesalan. Tidak ada gunanya menghabisakan energi teriak-teriak di depan kamar Melani, toh tidak akan membukaknya. Ia akan menunggu ketika Melani lengah.
***
Melani masih belum mengantuk. Walau seharian sudah berlelah-lelah dan bersenang-senang dengan Rendy, sampai jam segini ia belum ingin tidur.
Kemudian ia membuka pintu kaca yang menghubungkan kamarnya pada balkon kamarnya. Malam ini angin begitu menusuk. Rasa dingin masih sangat terasa, walau ia sudah memakai sweeternya. Tapi ia tidak mempedulikan angin yang tak berhenti mengibaskan rambutnya yang terurai.
Tangannya sengaja ia pangkukan pada pagar balkon. Wajahnya berseri-seri. Membayangkan indahnya hari yang baru saja ia lewati. Kenangan yang Rendy berikan tadi siang sungguh membekas pada dirinya.
Hari ini berlalu begitu cepat. Padahal hari seperti ini jarang sekali ia temui. Jarang sekali ia seceria hari ini. Ia berharap tidak pernah ada hari esok. Ia ingin selamanya seperti hari ini. Bersenang-senang hanya berdua dengan Rendy. Dan tidak pernah mengenal kata letih.
Tiba-tiba ponsel berdering. Ia segera menghampiri ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Ternyata itu telepon masuk dari Lyla.
“Hallo, La!” sapanya agak gagap. “Ada apa?”
“Aku… cuma lagi kangen aja sama kamu. Gimana keadaan kamu?”
“Baik, kok.”
“Kata Kakak kamu, kamu lagi ke Jogja, ya?”
“Oh, iya.” Melani agak heran kenapa Lyla tiba-tiba menelepon. Bagaimana kalo Lyla sampai tahu ia pergi bersama Rendy? Pasti Lyla akan sangat marah padanya. “Bareng temen-temen SMP,”—tidak mungkin ia bilang pergi bersama Rendy.
“Oh… Padahal tadi siang aku ke rumah kamu. Aku, Vania sama Winda mau ajak kamu ke Puncak.”
“Ada acara apa ke Puncak?”
“Kan hari ini ulang tahun aku. Kamu lupa?”
“Ah…” Melani sangat malu dan merasa bersalah karena lupa pada hari ulang tahun sahabatnya sendiri. “Maaf. Aku bener-bener lupa.”
“Iya. Enggak apa-apa, kok.” Lyla menjadi sedikit diam.
“Lyla? Kamu marah? Aku bener-bener minta maaf.” Melani semakin merasa bersalah. “Selamat ulang tahun, ya!”
“Iya. Makasih, ya!”
“Tenang, deh. Nanti aku beliin hadiah buat kamu dari Jogja.”
“Aku pegang janji kamu, ya!”
“Iya, aku janji.”
“Udah dulu, ya!” Lyla mengakhiri pembicaraan. “Pestanya udah dimulai, nih!”
“Salam aja buat Vania sama Winda.”
“Ok. Kamu have fun ya, sama liburannya!”
“Ok. Bye.” Setelah menutup telepon, rasa bersalah pada Lyla masih menyelimuti dirinya. Bodohnya ia karna lupa pada ulang tahun sahabatnya sendiri.
Ia menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Lalu ia memukulkan ponselnya pada kepalanya sendiri. Dan uring-uringan tidak keruan. Namun tiba-tiba ia mulai merasa lapar. Dari tadi siang perutnya memang belum terisi makanan berat apapun. Ia pun segera bergegas menuju dapur.
Ketika di tangga, ia mendengar suara berisik tapi pelan dari arah dapur. Jangan-jangan… itu hantu yang diceritakan Bayu. Bulu kuduknya mulai merinding. Walau rasa takut merayap ke sekujur tubuhnya, namun ia memaksakan diri untuk melihat apa yang dilakukan ‘hantu’ itu di dapur.
Dan yang ia dapati di dapur bukanlan sesosok hantu maupun sejenisnya, melainkan Rendy yang sedang kebingungan di depan kompor. Nampaknya Rendy ingin memasak, namun ia tak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Kamu lagi ngapain, Ren?” Melani menghampiri Rendy.
Rendy sedikit terkejut melihat Melani yang muncul tiba-tiba. “Gue lagi masak,”
“Tapi yang aku liat, kamu malah berantakin dapur.”
“Gue kan baru mau mulai,” Rendy mencoba mencari alasan untuk menutupi kebohongannya yang sok bisa masak. “Loe sendiri ngapain disini?”
“Aku juga mau masak,”
“Ya udah, loe aja yang masak.”
“Enggak apa-apa, kok. Kamu aja duluan.”
“Gue bilang loe aja yang masak. Sekalian masakin buat gue.” Rendy pun berjalan menuju meja makan dan duduk di salah satu kursinya.
“Bilang aja enggak bisa masak,” gerutu Melani pelan.
“Ngomong apa loe?”
“Kamu mau dimasakin apa?” jawab Melani tergagap.
“Terserah. Pokoknya yang paling cepet, gue udah laper.”
“Nasi goreng mau?”
“Gue bilang terserah,”
Melani mulai unjuk kebolehannya. Memanaskan minyak goreng di atas wajan dengan api sedang. Memotong-motong bahan pelengkap lainnya, seperti wortel, daun bawang, sosis dan cabai. Setelah minyak goreng panas, Melani memasukan telur, diaduk-aduk sebentar, lalu ia memasukkan bahan pelengkap yang ia potong tadi. Setelah bahan-bahan itu masak, Melani memasukkan nasi putih sebanyak dua porsi. Lalu ia mencampur semua bahan. Dan untuk tahap akhir ia memasukkan sedikit garam dan kecap manis. Ia kembali mencampur sampai semua nasi putih itu menjadi coklat. Dan nasi gorengnya ia sajikan dalam dua piring.
Melani memang tidak terlalu pandai memasak. Hanya beberapa masakan kecil dan mudah yang bisa ia masak. Semua pelajaran memasaknya ia dapat dari Andre maupun Arini. Dan mudah-mudahan Rendy tidak mencela hasil masakannya.
Melani menyodorkan satu piring kepada Rendy dan satunya lagi ia simpan di depan kursinya. Lalu ia kembali ke dapur untuk mengambil dua gelas air putih untuknya dan Rendy.
“Loe enggak masukin racun, kan?” tanya Rendy sambil menatap aneh ke arah nasi goreng buatan Melani.
“Kalo mau, silahkan kamu makan! Kalo enggak, tahan aja lapernya.” Melani pun mulai menyantap hidangan di hadapannya. Begitu lahap. Membuat Rendy tidak was-was lagi untuk ikut menyantapnya. Sampai tak tersisa sebutir nasi pun di piringnya.
“Kamu enggak mati kan abis makan nasi goreng aku?” sindir Melani sambil mencuci piring bekas makannya dan Rendy.
“Terpaksa aja gue makan, meskipun enggak enak. Orang enggak ada sesuatu yang bisa dimakan selain nasi goreng loe.”
“Ada enggak sih, kata-kata kamu yang nyenengin hati aku?” ucap Melani dengan nada meninggi. “Bilang makasih, kek!”
“Makasih,” jawab Rendy ketus.
“Sama-sama,” balas Melani lebih ketus.
Ketika Rendy hendak beranjak ke kamarnya, ia menghentikan langkahnya dan menghampiri Melani yang masih di dapur. Ia menarik tangan Melani dan membalikkan tubuh mungil Melani sehingga bertatapan dengannya.
“Aw… sakit!” rintih Melani. “Lepasin!” Rendy semakin menguatkan pengangannya.
“Jujur sama gue!” Rendy mendekatkan wajahnya pada wajah Melani. Ia menatap tajam kedua mata Melani. Melani sendiri agak risih dan takut dengan apa yang Rendy lakukan sekarang. Bangaimana kalau Rendy sampai macam-macam padanya? Hanya tinggal ia dan Rendy yang ada di rumah ini. Siapa yang akan menolongnya kalau Rendy tiba-tiba… ? Tidak. Itu tidak boleh terjadi.
“Apa loe sekongkol sama Evan dan Bayu buat ngerjain gue tadi siang?”
Ternyata itu yang Rendy mau. Melani sedikit lega. “Sumpah, Ren! Aku juga enggak tahu kenapa mereka bisa tahu kamu manjat pohon kelapa tadi siang.”
“Loe enggak bohong, kan?”
“Beneran, Ren.”
Rendy melepaskan genggamannnya. Pergelangan tangan Melani merah. Ia pun melemaskan tangannya sampai tak terasa sakit lagi. Tangan besi, gerutu Melani.
“Terus mereka tahu darimana?” Rendy menatap wajah Melani.
“Aku juga enggak tahu,”
Rendy masih mondar-mandir kebingungan. Alisnya naik-turun.
“Udahlah, Ren. Lupain aja! Mungkin mereka enggak sengaja liat. Lagipula kalo terus diungkit-ungkit, enggak ada gunanya juga.”
“Gue udah enggak mikirin itu, kok.”
“Terus kamu lagi ngapain mondar-mandir gitu?”
“Enggak.” Rendy pun bergegas menuju kamarnya. Melani bengong heran menatap Rendy, kemudian ia melanjutkan cuci piringnya. Ketika ia berada di tangga menuju kamarnya, ia mendengar pintu kamar Rendy terbuka. Karna penasaran, ia menoleh ke belakang. Rendy sedang berdiri santai pada anak tangga pertama.
“Kenapa lagi?” tanya Melani.
“Selamat tidur!”—Wah, Rendy kesurupan jin apa, nih?—“Mimpi indah, ya!” Rendy pun kembali ke kamarnya.
“Selamat malam juga!” balas Melani sedikit heran pada tingkah Rendy.
***
Jadwal hari ini adalah pergi berenang ke Water Park di daerah Kaliurang. Di tempat tersebut ada salah satu tempat wisata milik keluarga Evan. Khusus untuk hari ini tempat wisata Water Park tersebut tidak dibuka untuk umum. Evan sudah menjadwalkan tempat tersebut hanya untuk liburan teman-temannya.
Setibanya disana, telah tersedia meja panjang berisi macam-macam jenis makanan dan minuman yang berwarna-warni di pinggir kolam. Ada juga DJ yang memutar sebuah musik disco. Membuat pendengar ingin mengoyang pinggul ke kanan dan ke kiri.
Semua telah bersiap-siap untuk berenang. Setelah berganti pakaian dan melakukan sedikit pemanasan, satu per satu dari mereka mulai masuk ke dalam kolam berenang. Menikmati beberapa wahana water boom. Sungguh mengasyikkan. Semua tertawa lepas.
Setelah berlelah-lelah berada di air, Melani beranjak dan menutupi sebagian tubuhnya yang mulai kedinginan dengan handuk. Cukup untuk menghangatkan tubuhnya, perutnya mulai keroncongan. Ia berjalan menuju meja penuh makanan di pinggir kolam.
Sesaat ia hanya terkesima melihat begitu banyak makanan yang ada. Sampai ia pusing untuk menyantap yang mana dulu. Lalu matanya tertuju pada kue brownies. Ia langsung menjejalkan tiga potong kue tersebut. Sepertinya itu adalah satu-satunya kue brownies yang tersisa di dunia ini.
“Uhuk… uhuk…” Kue yang dimakannya berhamburan keluar dari mulutnya. Ia jadi tersiksa sendiri. Matanya berkaca-kaca. Pipinya memerah.
Kemudian datang Evan menepuk-nepuk punggungnya. Melani pun dapat memuntahkan kue yang dimakannya ke balik semak-semak. Evan pun memberikan segelas minuman pada Melani.
“Makanya kalo makan pelan-pelan aja,” ejek Evan. “Enggak perlu takut kehabisan. Tinggal minta dikirim lagi dari cateringnya, loe bisa makan 100 kue brownies.”
Melani menunduk. Dalam hati ia mengumpat diri sendiri. Betapa malunya ia. Pipinya semakin memerah.
Kemudian Evan memberi Melani segelas jus jeruk dan mengajaknya duduk di tepi kolam. Membenamkan sebagian kakinya ke dalam air.
“Makasih ya, Kak.” kata Melani.
“Sama-sama,” jawab Evan. “Lain kali jangan rakus lagi, ya!”
“Aku enggak rakus,” sanggah Melani. “Aku cuma lagi laper aja.”
Hening sesaat. “Mel,” kata Evan. Melani menatap wajah Evan penuh tanya. “Menurut loe, Rendy itu orangnnya gimana?”
“Nyebelin.” Satu kata, namun bermakna.
“Selain itu?” tanya Evan lagi.
Melani melihat ke arah Rendy yang masih asyik bermain. “Kadang baik, kadang… ya itu nyebelin. Mungkin ganteng, jutek, sombong… tapi sangat membutuhkan kasih sayang.”
“Loe suka sama Rendy?”
Melani terkejut mendengar ucapan Evan. “Ah, Kakak ada-ada aja,” jawab Melani terdengar ragu dan jadi salah tingkah. “Mana mungkin aku suka sama cowok kayak gitu.”
“Apa karna ada temen kamu yang suka sama Rendy?”
Darimana Evan tahu kalau Lyla suka sama Rendy? “Enggak,” sanggah Melani lagi. “Lagipula aku mau fokus aja dulu sama sekolah.”
“Rendy tenggelam.” teriak Evan pelan.
Melani langsung mencari-cari Rendy. Ia sudah gelisah tak keruan. Namun orang yang dikawatirkan ternyata tidak apa-apa. Dan Evan pun sudah tidak duduk di sampingnnya. Lagi-lagi Melani berhasil dibohongi. Apa maksudnya dia bohong kali ini?
            Sudah cukup lama mereka bermain-main di dalam air. Bermain volly air, berenang, dan bermain wahana permainan yang ada. Mereka semua pun beranjak, memakain piyama berenang masing-masing dan bergegas mandi.
Usai mandi mereka semua menyantap makanan yang tersedia di meja panjang pinggir kolam. Menari-nari ringan diiringi musik Sang DJ dan membiarkan panas matahari menghangatkan tubuh mereka.
Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan-jalan menyusuri hutan rekreasi. Udaranya sungguh sejuk, udaranya sangat dingin menusuk, di kanan dan kiri jalan berjajar pohon-pohon yang menjulang tinggi dan rindang.
Melani melihat sisi kanan dan kirinya begitu indah. Jarang sekali matanya memandang tumbuh-tumbuhan yang rindang seperti ini. Tapi lama-lama bosan juga kalau objek pengelihatannya itu-itu saja.
Dilihatnya ke depan, Rendy sedang asyik mengabadikan perjalanan dengan kameranya. Saat Rendy membalas tatapan Melani. Melani jadi salting sendiri. Ia pun pura-pura melihat ke arah lain—sok asyik memperhatikan pohon-pohon di sekitarnya.
Melihat ke belakang, Evan dan Chaty sedang asyik pacaran begitu juga dengan Bayu dan Sonia. Bikin iri. Hati kecil Melani sih ingin seperti cewek-cewek lain, ingin punya pacar. Namun karena sikapnya yang terlalu cuek, jarang sekali ada cowok yang mau dekat dengannya. Huh! Nasib, nasib.
Melani ditinggal berdua lagi dengan Rendy. Rendy pun mengajak Melani berkeliling Malioboro. Rendy sengaja menyewa delman seharian sebagai kendaraan mengelilingi Malioboro.
Rendy mengajak Melani ke sebuah tempat pembuatan batik tulis. Disana Melani dan Rendy diperlihatkan cara membuat batik. Dari mulai membuat pola, melukisnya dengan lilin cair, mewarnai kain batik dengan pewarna tekstil, sampai penjemuran.
Melani dan Rendy mencoba untuk melukiskan lilin cair dengan canting pada kain yang sudah dibuat pola. Sungguh sangat susah sekali. Ketika melihat yang sudah ahli melakukannya memang terlihat sangat mudah. Namun dalam praktiknya, sangat menguras kesabaran. Melani dan Rendy harus sabar dan teliti saat mengoreskan ujung canting pada permukaan kain. Salah sedikit saja akibatnya bisa fatal.
Kesabaran Melani dan Rendy sudah terkuras habis. Mereka pun meninggalkan pekerjaan mereka yang belum beres seperempatnya pun. Pekerjaan mereka pun dilanjutkan oleh pembatik ahli disana.
Puas melihat-lihat proses membatik, kini mereka sedang melihat-lihat kain batik yang sudah jadi. Semuanya begitu bagus. Warnanya cerah-cerah, penuangan lilin cairnya rapi, dan pola-polanya indah.
Rendy tertarik pada sebuah kain batik yang dipasang di pojok toko. Kain batik bemotif bunga-bunga berwarna merah terang. Sangat cocok bila ia jadikan sebagai oleh-oleh untuk Mamanya. Tak jauh dari batik itu ada juga satu kain batik yang tak kalah indah berwarna biru langit. Dari warna dan motifnya, ini cocok Rendy berikan pada Chika. Rendy memutukan untuk membeli dua kain batik itu.
Ketika hendak membayarnya di kasir, Rendy melihat Melani sedang berdiri terkagum-kagum di depan sebuah kain batik.
“Loe lagi ngapain?” Tiba-tiba Rendy datang dan membuyarkan lamunannya.
“Lagi liat-liat aja.” jawab Melani agak cemberut.
“Kenapa enggak beli?”
“Aku kan pergi kesini karna dipaksa dan tanpa persiapan. Mana sempet bawa uang lebih,”
“Loe bisa minta beliin sama gue, kan?”
“Aku udah utang banyak sama kamu. Aku enggak mau nambah lagi. Ntar bunganya nambah lagi.”
“Emang tampang gue kayak rentenir? Loe kesini kan karna gue. Jadi semua yang loe mau tinggal bilang aja sama gue.”
Melani terdiam.
“Jadi enggak belinya? Loe juga harus beliin oleh-oleh buat Kakak dan temen-temen loe, kan?”
“Beneran enggak apa-apa?”
“Limit gue enggak akan abis cuma buat beliin oleh-oleh buat temen-temen loe.”
“Kamu lagi kerasukan jin apa sih, jadi baik gini sama aku?”
“Udah bagus gue bayarin semua belanjaan loe, masih sempet nyela gue. Kalo loe enggak bisa baik-baikin gue, seeenggaknya loe enggak perlu nyela gue.”
“Ya, maaf.” Melani jadi malu sendiri. “Tapi makasih, ya!”
Keluar dari toko batik, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sepanjang Jl. Malioboro. Pergi nonton wayang orang. Berbelanja baju khas Kota Jogja. Tak lupa juga membeli pernak-perniknya, seperti gelang, kalung, cincin, kacamata, tas, topi, dan lainnya. Dan terakhir makan gudeg di alun-alun kota.
Hari yang cukup memelahkan, namun semua itu terbalaskan dengan semua hiburan, belanjaan, dan makanan yang telah mereka dapatkan.
“Makasih ya, buat semuanya!” ucap Melani saat perjalanan pulang kembali ke villa.
“Udahlah bilang makasihnya,” balas Rendy. “Gue bosen dengernya.”
“Aku kan orangnya bukan yang enggak tahu terimakasih.”
“Ya gue tahu.”
“Kamu kenapa, sih?” Melani agak nyolot. “Kadang baik, kadang nyebelin. Bikin orang bingun tahu?”
“Apa peduli loe? Hidup, hidup gue.”
***
Untuk malam terakhir di kota khas batik ini, Rendy dkk mengadakan acara camping di halaman belakang villa. Dua tenda didirikan di depan sebuah api unggun. Cuaca juga sepertinya sangat mendukung karna tidak ada tanda-tanda akan datangnya hujan.
Hari sudah cukup larut. Malam ini begitu banyak bintang yang menghiasi lagi, bertebaran tak beraturan di sekitar bulan.
Semua masih belum mengantuk. Mereka duduk mengelilingi api unggun sambil membakar jagung. Agar suasana lebih asyik Bayu mengeluarkan gitarnya dan menyanyikan sebuah lagu dari Ungu ‘Tercipta Untukmu’.
Menatap indahnya senyuman di wajahmu
Membuatku terdiam dan terpaku
Mengerti akan hadirnya cinta terindah saat kau peluk mesra tubuhku
Oooo … Banyak kata yang tak mampu kuungkapkan kepada dirimu
Lalu dilanjutkan dengan bernyanyi bersama dan berjoget ringan dengan iringan musik yang diputar dari sebuah pemutar musik. Melani hanya diam saja sambil menghangatkan diri di depan api unggun. Sesekali ia tertawa melihat tingkah laku teman-temannya yang joget tak keruan.
Melani sangat terhanyut oleh lagu yang dibawakan Bayu. Begitu menyentuh sampai ke dalam lubuk hatinya. Tanpa ia sadari ujung matanya mencari Rendy. Saat Rendy membalas tatapannya ia jadi salting. Jagung bakarnya sudah habis. Semua sudah kembali ke tendanya masing-masing, termasuk Melani.
Semua mulai terlelap dalam mimpi masing-masing. Yang terdengar hanyalah suara jangkrik saling bersahutan memecah keheningang malam. Api unggun semakin mengecil, membuat dingin semakin menusuk.
***
Keesokan paginya semua sudah selesai berkemas untuk pulang. Koper-koper sudah dimasukkan kedalam bagasi dan siap untuk diantar ke bandara. Tapi sebelum itu, masih ada satu tempat lagi yang harus mereka kunjungi, Candi Borobudur.
Sebuah tempat wisata yang harus dikunjungi ketika kita berlibur ke Jogja. Salah satu tempat wisata yang sangat menjual dan menarik di kota Jogja. Walau jaraknya memang tidak terlalu dekat dari kota Jogja itu sendiri.
Berkeliling mengitari kompleks Candi Borobudur cukup melelahkan. Ditemani oleh seorang pemandu wisata di tempat itu Rendy cs. diperkenalkan tentang Candi Borobudur. Lalu dilanjutkan dengan foto-foto. Mereka pun kembali ke Jakarta pada pukul 11:00.
***

Posting Komentar untuk "Cerita Melani dan Rendy V"