Cerita Melani dan Rendy IV
First Date
Suatu ketika, saat Melani hendak mengambil seragamnya di dalam
loker, tiba-tiba seseorang menutup dengan sengaja pintu loker Melani. Sontak
Melani sangat terkejut.
“Enggak tahu terima kasih.” ucapnya.
“Maksud kamu apa?” tanya Melani tak mengerti.
“Loe udah gue ajarin basket. Ngasih loe dukungan. Mana balasannya?”
“Pamrih banget, sih.” keluh Melani.
“Hari gini mana ada yang gratis,”
“Iya. Iya.” Melani berpikir sejenak. “Besok sore deh, aku tunggu di
alun-alun kota jam 16:00.”
“Kok di alun-alun, sih? Kenapa enggak di mall aja?”
“Yang mau traktir, aku atau kamu? Jangan bawa motor, ya!”
“Kok gitu?”
“Mau atau enggak?”
“Iya. Gue mau. Jangan telat! Gue enggak suka nunggu.”
“Iya, Rendy bawel. Sana, ah! Aku mau ganti baju.”
Sesuai janji, Melani tiba pukul 16:00 tepat. Sementara Rendy datang
terlambat. Ia baru datang setelah Melani menunggu selama lima belas menit. Ia
datang tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Katanya jangan telat?”
“Ya, gue cuma jaga-jaga, doang. Bisa jadi loe yang telat, kan?
Makanya gue lamain dikit. Ya udah. Sekarang kita mau kemana?”
Melani menunjuk ke arah belakang.
“Tempat apa ini?”
“Kamu enggak tahu? Ini pasar malem.”
“Tempat yang jorok itu?”
“Enggak jorok, kok. Ayo masuk!” Melani meraih tangan Rendy dan
menariknya ke dalam pasar malam.
Pada awalnya Rendy merasa jijik berada di dalam pasar malam. Belum
lagi ia harus berkerumun bersama orang-orang yang ia anggap sama menjijikannya
dengan tempat ia berpijak sekarang ini. Karna ia menganggap hanya orang-orang
berekonomi rendah saja yang mau memasuki tempat kumuh ini.
Tapi lama kelamaan, ia dapat menikmati keseruan berada di pasar
malam. Peristiwa yang baru ia alami seumur hidunya. Biasanya ia bersama
keluarga maupun teman-temannya hanya mengunjungi tempat-tempat mewah dan
berkelas. Tapi kini Melani malah membawanya ke Pasar Malam.
Lama mereka berkeliling di pasar malam. Membeli gula-gula. Melihat
sirkus. Menaiki beberapa wahana yang ada. Dan mencoba beberapa permainan.
Disini kita dapat melihat kelebihan Melani dari Rendy. Permainan banyak dimenangkan
oleh Melani. Dan Melani pun dengan sengaja menyombongkan diri pada Rendy.
Setelah puas bermain dan berkeliling perut keduanya keroncongan.
“Gue laper. Café yang deket dari tempat ini dimana, Mel?” tanya
Rendy.
“Laper? Aku tahu tempat makan yang enak.” Melani pun melanjutkan
perjalanan. Rendy tak tahu akan dibawa kemana lagi ia oleh Melani. Ia pun
segera menyusul gadis yang dua tahun lebih muda darinya itu.
Sampailah keduanya di depan sebuah tempat makan. Tempat makan bernama
‘Masakan Bebek Chef Jaka Junaedi’. Tempat makan yang bisa dibilang pedagang
kaki lima ini menyediakan berbagai hasil olahan dari dari bebek, seperti bebek
goreng, bebek panggang, bebek kuah, bebek bakar, dan beberapa hasil olahan
lainnya. Dibuka mulai dari pukul 14:00-22:00. Tempat ini cukup diminati banyak
pembeli.
“Ngapain loe ajak gue ke tempat ini?” Rendy berjalan menjauh dari
tempat yang tidak diingikannya itu.
“Katanya laper?”
“Loe pikir, gue mau makan di tempat kumuh itu? Enggak. Gue enggak
mau. Perut gue alergi makanan pinggiran jalan.”
“Ya ampun, Ren. Jangan manja, deh! Penampilannya emang kurang
menarik. Tapi kamu cobain sekali aja. Pasti ketagihan. Cobain, yuk! Makanan
disini enak banget.”
“Enggak.” Rendy tetap mengotot. “Sekali enggak, tetep enggak.”
“Ayo!” Untuk kedua kalinya Melani harus menyeret Rendy.
Melani segera mencari tempat duduk untuk dirinya dan juga pria manja
di sebelahnya. Sebuah tempat duduk memanjang di sudut kanan tempat makan itu
nampaknya belum ada yang menempati. Keduanya segera menuju tempat duduk
tersebut. Setelah mencari-cari posisi yang nyaman untuk duduk, Melani segera
melihat-lihat daftar menu.
“Mau pesen apa?” tanya Melani.
Rendy tak menjawab. Ia masih memasang wajah cemberut.
“Gimana kalo bebek panggang aja? Menu paling digemari pengunjung
disini.”
Melani pun menyeru pelayan.
“Pesan apa, Mbak?” tanya Si Pelayan ramah.
“Bebek panggang satu. Bebek bakar satu.”
“Baik, Mbak. Harap menunggu sejenak!”
Tak lama kemudian makanan yang dipesan datang juga. Melani segera
melahap bebek bakar pesanannya. Sementara Rendy hanya menatapi bebek panggang
di hadapannya. Dan menatap heran Melani yang tengah melahap bebek bakar.
“Kok enggak dimakan?”
“Udah gue biang dari awal, gue enggak mau makan disini. Lagipula
mana bisa gue makan enggak pake sendok?”
Melani segera mencuil bebek panggang milik Rendy dan hendak menyuapi
Rendy. Rendy tetap menutup rapat mulutnya. Melani semakin keras berusaha
memasukkan daging bebek ke dalam mulut Rendy. Lama mereka saling mengotot.
Akhirnya daging bebek dari tangan Melani berhasil masuk ke dalam sistem
pencernaan Rendy. Makanan yang baru saja masuk ke dalam mulut Rendy, ternyata
mampu diterima dengan baik oleh tubuhnya. Dan rasa lezat dan aroma dari bebek
panggang di hadapannya membuatnya ingin lagi mencoba. Kali ini ia sendiri yang
memasukkan daging bebek ke dalam mulutnya.
“Enak!” ungkapnya. Ia pun segera melahapnya.
“Aku bilang juga apa.”
Meskipun Melani yang sudah melahap bebek bakarnya lebih dulu dari
Rendy, namun Rendy yang terlebih dahulu menghabiskan bebek panggangnya. Melani
tercengang melihat perilaku Rendy. Lapar apa rakus? Melihat masih ada bebek di
hadapan Melani, Rendy segera mengambilnya dan melahapnya dengan cepat.
Melani tak tinggal diam ketika Rendy mencuri bebek miliknya. Ia
mengambil kembali yang sudah semestinya menjadi haknya. “Itu punya aku.”
“Gue masih mau. Ini buat gue aja.”
“Enggak. Ini punya aku.”
Keduanya saling berebut bebek bakar milik Melani, seperti kejadian
beberapa bulan yang lalu. Lagi-lagi Rendy yang berhasil mendapatkan barang yang
diperebutkan. Melani hanya bisa menggigit jari. Seusai melahap makanan yang
bukan haknya itu, ia masih belum puas.
“Satu porsi lagi, ya?” ucapnya.
“Kamu rakus banget, sih. Udah dua porsi kamu makan, masih belum
puas?”
“Abis enak, sih!”
“Enggak, ah. Uang aku enggak cukup.” Melani memanggil pelayan dan
membayar makanan yang dilahap Rendy. Setelah itu ia segera menarik Rendy keluar
dari tempat makan yang sekarang menjadi favorit Rendy.
“Kamu gila, ya? Mentang-mentang ditraktir, jadi mau pesen banyak.
Kamu pikir aku banyak uang untuk traktir kamu sebanyak itu?”
“Kata kamu sendiri. Makan sekali, langsung ketagihan.”
“Tapi kan, enggak harus ketagihannya sekarang?”
“Kamu sendiri yang bilang.”
“Ya udah. Kita pulang sekarang!”
“Taksi!” seru Rendy pada sebuah taksi yang baru saja melaju di
hadapannya. Namun taksi tersebut tidak berhenti, nampaknya taksi tersebut ada
penumpangnya.
“Hust… Ngapain kamu panggil taksi?”
“Kan mau pulang?”
“Emang aku bilang mau naik taksi?”
“Terus kita pulang naik apa? Loe sendiri yang bilang gue enggak usah
bawa motor.”
Sebuah metromini melaju di depan mereka.
“Kita naik itu!”
“Apa? Naik itu?”
“Ayo cepet! Kita bisa telat. Itu metromini terakhir ke rumah aku.”
Untuk keempat kalinya, Melani harus menarik-narik tangan Rendy. Dan
keduanya pun berhasil masuk ke dalam metromini. Penuh sesak di dalam metromini.
Untuk pertama kalinya Rendy harus berdesakkan bersama orang-orang dalam sebuah
angkutan umum. Ia merasa kegerahan. Dan ia harus berdiri pula. Tak ada kursi
kosong untuknya dan Melani duduk. Kebetulan sekali pada saat itu metromini
searah dengan rumah Melani tengah penuh-penuhnya.
“Pegangan!” ujar Melani.
“Banyak kumannya. Gue enggak mau.”
“Kamu mau jatoh?”
Rendy tak mau berdebat dengan Melani kali ini. Dengan berat hati, ia
mengikuti anjuran Melani.
Seorang pria yang duduk di sebelah Melani mengeluarkan sebatang
rokok dan ia pun menyulutnya. Asap rokok membuat metromini yang penuh dengan
orang-orang berbeda profesi semakin sesak. Berkali-kali Melani batuk-batuk dan
menutup hidungnya, berusaha agar asap beracun itu tidak mengkontaminasi
paru-parunya.
Rendy iba melihat Melani tersiksa dengan harus menghirup asap rokok.
Rasa kemanusiaanya pun muncul. Ia tak tinggal diam ia melihat Melani seperti
itu. Awalnya Rendy ingin memprotes Si Perokok untuk mematikan rokoknya. Namun
ia mengurungkan niatnya untuk memprostes pria tak bermoral itu berpakaian
layaknya seorang preman pasar. Bukannya ia takut menghadapi Si Pria garang
bertato itu, namun ia tak mau memancing keribuatan di tempat ramai. Ia pun
segera menarik tangan Melani untuk menjauh dari Si Perokok itu dan lebih
mendekat padanya. Sontak Melani terkejut dengan sikap Rendy. Namun ia tidak
memprotes. Ia tahu Rendy melakukannya untuk kebaikannya juga.
Metromini berhenti di sebuah halte untuk menurunkan dan menarik
beberapa penumpang. Nampaknya Melani mengenal halte bus ini. Halte bus ini
adalah halte bus terdekat menuju rumah Rendy.
“Ren, kamu enggak turun disini?” tanya Melani.
“Enggak.” jawab Rendy singkat.
“Bukannya ini halte yang paling deket sama rumah kamu, ya?”
“Gue mau nganterin loe pulang dulu,”
Melani hanya menunduk sambil bergumam tak jelas.
Metromini berhenti di halte dekat rumah Melani. Keduanya segera
turun. Berjalan pada malam yang sangat indah di atas jalan setapak. Diterangi
jutaan bintang yang bertebaran tak beraturan di angkasa raya. Ditambah
keindahan bulan purnama yang terang benderang.
Sampailah di depan rumah Melani.
“Makasih udah anterin aku pulang.”
“Makasih atas traktiran malam ini. Jujur aja baru kali ini gue pergi
ke pasar malem dan makan bebek panggang di kaki lima. Lain kali gue mau lagi.”
“Enggak, ah. Kapok. Abis uang aku buat traktir kamu.”
“Namanya juga baru pertama.”
“Ya udah. Kamu pulang sekarang, gih! Udah malem.”
“Ya, gue juga mau pulang sekarang, kok. Bye!” Rendy pun
memberhentikan sebuah taksi yang baru menurunkan penumpang. Rendy segera masuk
ke dalam taksi dan taksi itu pun segera melaju.
Melani hanya melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumah.
Esok paginya, Rendy terlihat tak seperti biasanya, raut wajahnya
memperlihatkan rasa senang yang membuncah. Sering kali ia tersenyum sendiri
mengingat kejadian kemarin malam. Kali pertamanya ia masuk ke dalam Pasar Malam
dan menyantap makanan di kaki lima. Sungguh sangat sulit dipercaya. Hari ini ia
benar-benar berbeda dari hari-hari manapun. Ia sangat bersemangat belajar. Dimarahi
guru pun ia tak balik membentak guru tersebut. Kedua temannya terheran-heran
melihat tingkah lakunya hari ini.
“Hari ini loe beda banget. What’s wrong with you?” tanya Evan.
“Gue baru sadar ternyata dunia begitu luas. Masih banyak tempat yang
menyenangkan belum gue datengin.”
“Maksud loe?”
“Ternyata main di pasar malem itu asyik, lho.”
“Loe kenapa sih, Ren?”
“Udah. Udah. Jangan loe bikin Rendy bad mood lagi, deh!”
***
Suatu ketika, seperti biasa selekas pulang sekolah dan berpisah
dengan ketiga temannya, Melani menunggu metromini yang akan mengangkut dirinya
ke halte dekat rumah di halte bus depan sekolah. Lama Melani menunggu,
metromini yang ditunggu tak juga datang. Ia dan beberapa siswa-siswi SMA
Pertiwi jadi uring-uringan tidak jelas.
Tiba-tiba sebuah sedan silver bernomor polisi B 2 FRC parkir di
hadapan Melani. Seorang pria berjas rapi keluar dari dalam mobil. Ia membukakan
pintu belakang yang tepat sejajar dengan Melani. Melani melirik kanan kiri. Tak
ada seorang pun yang menghampiri mobil itu. Siapa yang sebenarnya dimaksud Si
Pria berjas, pikirnya.
“Silahkan masuk, Nona Melani!” ucap Si Pria berjas.
“Sa… saya?”
Ia hanya mengangguk.
Dengan ragu Melani menghampiri mobil itu. Ia masuk secara perlahan
dan duduk di kursi belakang. Ternyata kursi yang di sebelahnya sudah ada yang
mengisi. Seorang ibu paruh baya yang tak dikenalnya. Si Ibu pun mulai melepas
topi besar yang menutupi sebagian kepalanya sejak Melani masuk ke dalam mobil.
“Bu… Bu…Sinta!” ucap Melani tergagap.
“Benar kamu yang bernama Melani?”
“Ya. Saya Melani.”
“Ada waktu berbicara empat mata dengan saya?”
“Ya…” ucapnya tergagap.
“Pak. Jalan!” ucap Bu Sinta.
Selama perjalanan sama sekali tidak ada percakapan. Pak sopir nampak
sangat fokus terhadap jalan. Pria berjas di depan Melani nampak sibuk sendiri.
Bu Sinta juga nampak diam seribu bahasa. Ia hanya menatap kosong ke arah luar
jendela. Melani pun hanya bisa terdiam. Sesekali ia melihat keluar jendela
apabila ada sesuatu yang membuatnya tertarik.
Tibalah keduanya di sebuah hotel megah. Nampaknya ini adalah hotel
berbintang lima terkenal di kota Jakarta yang sering dikunjungi oleh para turis
asing. Terlihat lebih banyak pengunjung asing yang berlalu lalang di dalam
hotel. Di luar terdapat sebuah taman indah yang banyak dihiasi bermacam-macam
bunga yang tentunya amat cantik. Juga rumput yang telah dibentuk sedemikian
rupa dan menghasilkan sebuah kata ‘Lariza’.
Dengan langkah kagum serta rasa tak percaya Melani mulai
menginjakkan kakinya di dalam hotel. Ia disambut dengan hormat oleh beberapa
pekerja hotel. Di sekelilingnya juga terdapat banyak pengawal. Sekarang ia tahu
bagaimana rasanya jadi pejabat, selalu dikawal kemanapun pergi.
Lama ia mengikuti langkah Bu Sinta, akhirnya ia tiba di sebuah
ruangan besar dan megah. Dengan hidangan yang luar biasa banyak, nampaknya bisa
mengenyangkan perut duapuluh orang, atau bahkan lebih. Ia dipersilahkan duduk
dengan hormat oleh salah seorang pelayan. Disuguhi beberapa makanan dan
minuman. Setelah Bu Sinta dan dirinya merasa nyaman dengan semua yang telah
disediakan, semua pelayan yang jumlahnya belasan keluar dari ruangan megah itu.
Sunyi sepi. Hanya tinggal Melani dan Bu Sinta yang berada di ruangan
megah itu. Seisi ruangan tak ada sepatah kata pun yang terdengar. Bu Sinta pun
memulai perbincangan.
“Entah dari mana saya harus memulainya. Tapi intinya saya ingin
meminta bantuan dari kamu.” ucap Bu Sinta dengan mata yang mulai berair. Dan
dalam waktu singkat wajah Bu Sinta sudah basah dialiri derasnya air mata.
Melani mengeluarkan sebuah sapu tangan dan memberikannya kepada Bu
Sinta. “I… ibu,” Melani sangat iba bercampur heran. “Memangnya ibu mau minta
bantuan apa dari saya? Saya akan berusaha membantu ibu semampu saya.”
Bu Sinta menghapus air matanya. “Saya yakin kamu pasti tahu,
bagaimana hubungan saya dengan anak saya, Rendy? Hubungan antara ibu dan anak
yang… kurang baik.” Bu Sinta semakin tak
kuasa menahan air matanya.
“Maaf. Saya sudah lancang mengetahui tentang keluarga ibu sejauh
itu.”
“Itu sama sekali tak menjadi masalah buat saya. Saya hanya ingin
kamu kembalikan Rendy seperti dulu. Rendy yang selalu tersenyum bahagia. Sejak
ayahnya meninggal dia menjadi dingin, terutama pada saya.” Tangisannya semakin
tak dapat terbendung lagi.
“Saya kan belum lama kenal sama Rendy. Saya enggak yakin bisa
melakukannya.”
“Tolong saya! Saya tidak tahu harus minta tolong siapa lagi.
Sahabat-sahabat Rendy, mereka udah sering saya mintai tolong, tapi sampai
sekarang Rendy tetap begitu. Yang saya dengar, kamu gadis yang berani menentang
Rendy. Kamu gadis pertama yang dekat dengan Rendy dan mengajak Rendy ke pasar
malam.”
“Ibu tahu saya dan Rendy malam itu…?”
“Meskipun saya selalu sibuk dengan jadwal-jadwal saya. Tapi saya
selalu meluangkan waktu untuk mengetahui kabar kedua anak saya.”
Melani hanya menunduk. Ia tak menyangka selama ia bersama Rendy, ia
selalu diawasi.
“Saya mohon, tolong bantu saya! Saya berani bayar berapapun yang
kamu mau.”
“Baiklah. Saya akan coba semampu saya. Saya enggak pamrih kok, Bu.
Saya ikhlas membantu Ibu.”
“Terima kasih banyak! Betul-betul saya berterima kasih sama kamu.”
“Sesama manusia kan udah seharusnya saling tolong menolong. Saya
juga senang bisa membantu ibu. Tapi boleh saya minta sesuatu dari ibu?”
“Kamu boleh meminta apa aja dari saya.”
“Sebelumnya saya minta maaf karna udah lancang. Yang saya tahu,
Rendy kurang kasih sayang orang tua. Ada baiknya ibu sering ada di rumah.
Menyiapkan sarapan setiap paginya. Menyambutnya ketika pulang sekolah. Apalagi
Chika kan lagi sakit. Pasti dia perlu ibu di sampingnya.”
“Baiklah. Akan saya coba. Mudah-mudahan bisa membantu.”
“Saya harap begitu. Saya yakin setiap anak sayang terhadap ibunya. Butuh
kasih sayang seorang ibu.”
“Saya benar-benar berterimakasih sama kamu, Melani. Terima kasih
banyak! Mungkin suatu saat nanti saya akan balas kebaikan kamu.”
“Sama-sama, Bu. Saya senang bisa membantu ibu.”
Bu Sinta mengikuti saran dari Melani. Hari ini dan beberapa hari ke
depan segala urusan yang berhubungan dengan perusahaan Bu Sinta serahkan kepada
pengawal setianya, Pak Irawan. Selama beberapa hari ke depan ia hanya akan ada
di rumah. Semua meeting Pak Irawan yang menghandle. Ia hanya tinggal
menandatangani segala keputusan yang sudah diambil oleh pengawal yang sudah
setia mengabdi kepada keluarga besar Ferdiansyah sejak Alm. Ferdi mulai
merintis usahanya.
Bu Sinta bangun pagi sekali. Segera saja ia menuju dapur. Dikeluarkannya
semua bahan makanan yang ada. Semua bahan untuk memasaknya pagi ini sudah
tersedia. Tapi ia masih bingung akan memasak apa. Sekitar limabelas menit ia
berpikir. Kemudian datanglah Bik Imas. Ia amat terkejut melihat majikannya
sudah ada di dapur pagi buta begini.
“Selamat pagi, Nyonya!” sapa Bik Imas. “Mengapa ibu ada di dapur
sepagi ini?”
“Bik, hari ini saya saja yang memasak, ya? Bibik lakukan pekerjaan
lain saja.”
“Tapi, Nyonya…”
“Menurut Bibik, sebaiknya pagi ini saya memasak apa?”
“Menurut saya nasi goreng cocok buat sarapan.”
“Ya sudah. Pagi ini akan saya buatkan nasi goreng penuh cinta untuk
kedua buah hati saya. Kalau mereka sudah bangun suruh tunggu di meja makan.”
“Baik, Nyonya!”
Semua hidangan hasil karya Bu Sinta sudah tersedia di atas meja
makan. Hidangan empat sehat lima sempurna sudah tersusun rapi dan siap
disantap.
Rendy sudah siap berangkat sekolah berjalan menuruni anak tangga,
diikuti oleh Chika. Rendy amat terkejut melihat ibunya yang jarang sekali ada
di rumah sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Chika segera menduduki
kursi di sebelah Mamanya. Sementara Rendy membelok hendak keluar rumah.
“Sarapan dulu, Sayang!” seru Bu Sinta.
“Wah! Tumben Mama ada di rumah. Ini semua Mama yang masak?” tanya
Chika.
“Iya. Mama sengaja buat untuk kalian berdua.”
“Chika kangen masakan Mama. Kayaknya Mama udah lama enggak masak
buat Chika.” Lebih tepatnya belum pernah sama sekali. Ketika Papanya meninggal,
Chika masih kecil. Dan sejak saat itu Bu
Sinta jarang ada di rumah—apalagi untuk sekedar memasak. Suaminya yang sangat
ia cintai itu harus meninggalkan ia untuk selama-lamanya, membuat hatinya sakit
tiap kali mengingat hal itu. Dan untuk mengatasi sakit hatinya, ia selalu
menyibukkan diri dengan urusan bisinis perusahaan yang diwariskan
suaminya—sebelum nanti akhirnya akan diwariskan pada Rendy.
“Makanya sekarang kamu abisin makannya.” Bu Sinta mengelus rambut
anak bungsunya itu. Kemudian ia melihat ke arah Rendy. “Enggak baik pergi
sekolah tanpa sarapan. Sini! Kita sarapan bareng.”
“Aku udah terlambat. Sarapan di sekolah aja.” ucap Rendy ketus dan
ia pun melanjutkan langkahnya.
Hati Bu Sinta rasanya seperti tersayat-sayat pisau ribuan kali. Ia
amat kecewa mendengar jawaban anak sulungnnya yang begitu ketus. Hati ibu mana
yang tak sakit ketika diketusi oleh anaknya. Semangatnya kini down kembali.
Tetesan air mata pun mulai membasahi pipinya. Chika juga merasakan sakit yang
dirasakan oleh ibunya. Tapi ini semua juga berawal dari Mamanya sendiri.
Mamanya jarang ada di rumah ketika ia dan kakaknya tengah terpuruk karna
Papanya meninggal. Ketika ia dan Rendy membutuhkan belaian seorang ibu. Chika
tak bisa berbuat apa-apa. Bisa dikatakan beruntung karena Chika tidak membenci
Bu Sinta seperti Rendy.
“Nasi gorengnya enak.” ucap Chika. “Mama juga makan, dong! Katanya
mau makan bareng?”
“Oh. Iya, sayang! Mama makan. Makan yang banyak, ya!” Bu Sinta menghapus
air matanya. Ia pun tersadar bahwa ia masih memiliki Chika yang menyayanginya.
Ia tidak boleh terlihat seperti ini di hadapan Chika.
“Mungkin Kak Rendy emang udah telat. Maklumlah, namanya juga anak
sekolah.”
“Iya. Mama ngerti.” ucap Bu Sinta seperti tak bertenaga.
Sampai di sekolah Rendy tak mood untuk melakukan apa-apa. Kerjanya
hanya marah-marah saja. Setiap ada yang mengecewakan hatinya langsung saja
terkena tinjunya. Selama belajar saja, ia hanya melamun. Guru-guru yang
mengajar di kelasnya tak berani menegur.
Di basecamp-nya pun ia tak berhenti mengamuk. Setiap barang di
hadapannya ia lempar, tendang, injak. Temboknya pun hampir retak akibat ia tak
berhenti memukul dan menendang.
“Ren, loe kenapa lagi, sih?” tanya Bayu heran.
Rendy tak menjawab.
“Orang gila ngamuk loe tanya. Mana dia mau jawab.” ucap Evan.
Rendy tak menggubris ucapan Evan. Ia keluar dari ruang basecamp-nya
dengan langkah cepat.
“Apa dia ada masalah lagi ama nyokapnya?” ucap Evan setelah Rendy
keluar dari ruangan tempat ia berada sekarang.
“Kalaupun iya. Kita bisa apa? Orang kayak dia mana bisa
dinasehatin.” balas Bayu.
“Kadang gue kasian ama nyokapnya. Sering dia minta bantuan ama kita.
Tapi kita bisa bantu apa? Rendy enggak pernah mau denger kalo kita nasehatin,
terutama masalah Mamanya itu.” ucap Evan.
“Tapi gue yakin, suatu hari nanti bakal ada orang yang bisa membuat
Rendy menganggap Mamanya.”
“Tapi orangnya siapa? Selama ini Rendy enggak pernah mau dengerin
omongon orang
“Yang jelas bukan loe orangnya, Van.”
Pulang sekolah, Rendy sudah disambut belasan hidangan di atas meja.
Baunya pun harum. Membuat lidah ingin segera mencicipinya. Namun tiba-tiba Bu Sinta
datang dari dapur dengan semangkuk sayur soup kesukaan Rendy di tangannya.
“Pulang terlambat, ya? Sini makan dulu! Pasti kamu laper.” ucap
Mamanya.
“Enggak. Aku enggak laper.” jawab Rendy ketus.
Bu Sinta sangat sedih mendengar jawaban anaknya itu. Lagi-lagi
usahanya tidak dihargai anak oleh Rendy. Sakit hati yang tadi pagi saja belum
bisa ia lupakan, dan sekarang Rendy menambahnya lagi. Apa yang kini harus ia
lakukan? Kalau terus-menerus makan hati, ia juga tak akan bisa. Tapi ini juga
salahnya sendiri. Serba salah jadinya.
Malamnya Rendy juga tak ikut makan malam. Ia lebih memilih
menyendiri di dalam kamar daripada harus bertemu Ibunya di meja makan. Walau
perutnya sebenarnya tak sejutu. Sejak pagi perutnya belum diisi secuil makanan
pun. Seluruh cacing dalam tubuhnya pun berontak.
Seusai makan malam, Bik Imas mengantarkan makanan ke kamar Rendy. Ia
pun menyimpannya di atas meja belajar Rendy. Sama sekali Rendy tak meliriknya.
Pandangannya tak tak lepas dari laptop di hadapannya. Namun semakin lama
hidangan di atas meja belajarnya semakin mengeluarkan aroma harum. Cacing dalam
perutnya terus-menerus memberontak. Dan ia pun mulai mendekati hidangan itu.
dicicipinya sedikit demi sedikit. Dan ternyata… enak. Akhirnya hidangan itu
habis. Tak tersisa. Walau hanya sebutir nasi saja. Masakan Mamanya memang
terkenal lezat, tak jauh berbeda dari masakan rumah makan-rumah makan mewah di
Jakarta.
Mamanya yang melihat anaknya menghabisakan masakannya di ambang
pintu tersenyum bangga. Dengan kesabarannya, akhirnya Rendy mau memakan
masakannya.
Sejak saat itu sikap Rendy sedikit berubah. Dan sejak saat itu ia
jadi mau untuk makan bersama Mamanya di meja makan. Mamanya benar-benar
bersyukur akan perubahan anaknya itu. Melani benar, kalau ia menekuni dengan
sabar hati Rendy akan luluh juga.
***
Hari ini adalah hari minggu. Melani tak lupa akan janjinya kepada Bu
Sinta. Percobaan pertamanya akan ia laksanakan hari ini. Pagi-pagi sekali ia
berpamitan kepada Kakaknya agar bisa diizinkan pergi. Dengan alasan-alasan yang
ia kemukankan akhirnya Kakaknya pun mengizinkan.
Ketika ia datang, Rendy dan Mamanya baru saja selesai sarapan pagi.
Kedatangannya disambut hangat oleh Bu Sinta. Sementara Rendy yang teman
sekolahnya sendiri sepertinya tak suka Melani datang ke rumahnya.
“Ngapain loe kesini?” sapa Rendy ketus.
“Kita jalan-jalan, yuk!”
“Chika mau!” jawab Chika antusias.
“Enggak!” ucap Rendy dengan nada meninggi.
“Hari minggu di rumah aja itu enggak seru. Bu Sinta mau ikut, kan?”
“Enggak ada salahnya juga.”
“Tiga lawan satu. Kamu harus setuju dan ikut jalan-jalan.”
“Ya udah. Kalo kalian mau jalan-jalan, pergi aja. Gue tetep di
rumah.”
“Ren, apa salahnya sih pergi jalan-jalan bareng keluarga? Nikmati
hari libur ini dengan kebersamaan keluarga. Coba kamu liat sekeliling kamu!
Banyak anak sebatang kara, mereka pengen banget kumpul bareng keluarga mereka,
tapi mereka enggak bisa. Mereka udah enggak punya keluarga lagi.”
Rendy menatap wajah Mamanya. Ia membayangkan ketika Mamanya menyusul
kepergian Papanya. Ia pasti akan menyesal seumur hidupnya karna belum pernah
membahagiakan orang yang telah mempertaruhkan nyawa hanya untuk memberi
kesempatan baginya untuk hidup. Walau sampai sekarang, ia belum bisa memaafkan
Mamanya sepenuhnya.
“Ya, ya. Gue ikut.”
“Yes, kita dapat supir.”
Chika segera berlari menuju kamarnya. Ia mencari-cari pakaian yang
paling bagus. Ia tak mau tampil apa adanya di kali pertama ia keluar rumah
selain pergi ke rumah sakit. Ia pun mempersiapkan semua barang yang akan
dibawanya.
Bu Sinta dan Melani dibantu oleh Bik Imas mempersiapkan bekal untuk
jalan-jalan nanti. Seluruh perbekalan sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil.
Dan semuanya siap berangkat. Melani mengusulkan Kebun Binatang ‘Ragunan’.
Termpat wisata murah meriah yang menjadi favorit bagi warga Jakarta.
Lama mereka berkeliling. Melihat satwa-satwa yang berada di
kandangnnya. Melihat pertunjukkan harimau, gajah, dan burung elang. Sudah letih
mereka berkeliling. Walau hati belum puas, apalagi Chika. Mereka memutuskan
untuk beristirahat dan menyantap perbekalan.
Santapan yang dibawa banyak jenisnya. Dari semua yang ada kebanyakan
makanan kesukaan Rendy. Beberapa kali Melani memaksa Rendy untuk menyuapi
Mamanya—juga sebaliknya. Sekilas Rendy dan Mamanya tidak sedang mengalami
konflik. Keduanya amat dekat. Melani tersenyum bangga. Percobaan pertamanya
sukses mendekatkan kedua ibu dan anak itu. Walau hanya sementara. Tapi mereka
sangat menikmati jalan-jalan hari ini. Empat jempol untuk Melani.
Selesai menyantap perbekalan mereka pun melanjutkan berkeliling
kompleks Ragunan. Mereka menyempatkan diri untuk berfoto-foto dengan beberapa
hewan yang ada. Selain dengan beberapa hewan, Melani juga mengusulkan untuk
memotret keluarga kecil Bu Sinta. Ada foto Rendy dengan Mamanya yang terlihat
akrab, walau keakraban itu harus dipaksa oleh Melani. Salah satu foto itu
adalah ketika Rendy merangkul Mamanya. Dan ada juga foto Melani dan Rendy yang
terlihat mesra—itupun karna dipaksa Bu Sinta dan Chika. Hari ini adalah hari
terindah bagi keluarga Bu Sinta.
Hari semakin sore, tak terasa Sang Surya sudah berada di ufuk Barat.
Dan mereka harus pulang. Sebenarnya Chika masih mau berada di tempat itu.
Selain mengajak jalan-jalan, berbagai cara Melani lakukan untuk
mendekatkan Rendy dan Mamanya tanpa pamrih. Usahanya tak selalu sukses. Kadang
apa yang ia lakukan gagal total. Tapi ia tak akan menyerah sampai misinya
berhasil. Ia akan terus berusaha semampunya.
***
Hari ini SMA Pertiwi ditantang sekolah tetangga, SMA Negri 22, untuk
bertanding basket. Pertandingan basket kali ini hanya untuk menjalin
persahabatan antarsekolah. Yang akan bertanding hanya tim putra saja. Rendy
sebagai kapten menerimanya dengan tangan terbuka.
Pertandingan dimulai sepulang sekolah. Seluruh siswa-siswi antusias
untuk menonton. Ada juga beberapa siswa-siswi dari SMA Negri 22 yang datang
untuk mendukung tim sekolahnya.
Yang akan bertanding kali ini adalah Rendy, Bayu, Evan, Gugun,
Hendra, Rafa, Jason, Dimas, dan Surya. Kesembilan orang ini memang terkenal
profesional dalam bermain basket. Dan sering dikirim oleh sekolah untuk
mewakili SMA Pertiwi dalam berbagai kompetisi basket.
Pertandingan pun di mulai. Pertandingan lumayan sengit. Kedua tim
saling kejar-kejaran point. Sorak-sorai untuk mendukung tim basket putra SMA
Pertiwi tak ada berhentinya meneriakkan nama-nama pemain yang tengah bermain.
Sorak-sorai SMA Negri 22 pun tak kalah hebohnya. Walau hanya membawa pasukan
sedikit, tak mengurungkan niat mereka untuk mendukung sekolah mereka sendiri.
Melani pun ikut menonton. Awalnya ia tidak ingin, namun teman-temannya
terus-menerus memaksanya. Ia pun mau menyaksikan Rendy dan kawan-kawan unjuk
kebolehan. Melihat Melani menonton, ada sedikit energi tambahan bagi Rendy. Ia
semakin bersemangat untuk memenangkan pertandingan. Mungkin sudah ada rasa yang
berbeda, yang ia rasakan ketika melihat maupun berada didekat Melani.
Pertandingan pun akhirnya berakhir. Pertandingan dimenangkan oleh
SMA Pertiwi. Dengan selisih point yang tidak begitu jauh 62-59. Sebagai tuan
rumah tentunya SMA Pertiwi bangga akan prestasi yang tim basket putra
persembahkan bagi SMA Pertiwi. Namun SMA Negri 22 tidak merasa dendam terhadap
SMA Pertiwi. Mereka berlapang dada menerima kekalahan.
“Kekalahan bukalah akhir dari semuanya, namun merupakan gerbang
menuju kesuksesan. Saya yakin suatu saat nanti SMA Negri 22 akan dapat
mengalahkan SMA Pertiwi.” ujar kapten tim SMA Negri 22, Bagus Sholihin.
***
Posting Komentar untuk "Cerita Melani dan Rendy IV"