Cerita Melani dan Rendy III

Kompetisi Basket
Selesai ekskul, semua anggota ekskul basket diminta Pak Ardi berkumpul di pinggir lapangan basket.
“Dua minggu lagi akan ada kejuaraan basket se-Jakarta khusus putri. Dan sekolah kita sudah memutuskan untuk mengikutinya.”
Riuh tepuk tangan membuat Pak Ardi berhenti sejenak.
“Saya putuskan untuk menunjuk…”
Melani sangat berharap namanya akan disebut.
“Gea, Nanda, Syafina, Rasti, Wulan, Mitha, Amanda, Lucy, dan Suci. Nanti sore Bapak tunggu. Kita latihan tiga kali seminggu. Sekiranya cukup sekian yang dapat Bapak sampaikan. Terima kasih atas perhatiannya.” Pak Ardi pun berlalu.
Melani sangat terpukul ketika namanya tidak disebut. Harapannya pupus seketika. Sementara nama-nama yang tadi sempat disebut Pak Ardi bersorak-sorak gembira.
Sejak namanya tidak disebut dalam tim inti putri basket. Ia nampak murung. Jarang sekali berbicara. Teman-temannya sudah paham apa yang tengah melanda sahabatnya itu. Melani sempat menceritakan kepada teman-temannya, tapi mereka bisa apa. Yang bisa dilakukan hanya menghibur Melani.
“Kasian Melani. Aku pengen banget hibur dia. Tapi apapun yang kita lakukan, enggak buat Melani senyum lagi.”
“Mungkin dia butuh waktu untuk menerima ini semua.”
Hari ini Melani pulang terlambat. Dilihatnya lapangan basket kosong dan sebuah bola basket terletak di samping ring basket. Ia segera mengambil bola basket dan melemparkannya pada ring basket dengan penuh amarah. Namun tidak masuk. Melani terus melemparkannya disertai amarah yang terus bergejolak. Dan bola pun tak mau masuk. Dilemparkannya bola basket dengan keras ke arah ring, namun meleset. Bola memantul deras keluar lapangan. Melani tak menghiraukannya. Ia terduduk lemas di tengah lapang basket. Ia pun mulai menangis.
Bola yang memantul itu mendarat tepat di atas tangan Rendy. Dilhatnya Melani terduduk lemas di tengah lapangan basket. Ia segera menghampiri Melani dengan penuh tanda tanya di pikirannya.
“Kalo maen basket pake emosi, mana mau bolanya masuk.” sapa Rendy.
Melani menghapus air matanya dan mulai beranjak. Dilihatnya, ternyata orang itu, “Rendy? Ngapain kamu disini?” tanyanya ketus.
“Gue abis latihan. Gue mau nyari bola basket yang ketinggalan, eh ternyata ada sama loe.”
Melani hanya diam terpaku.
“Oh, gue ngerti. Loe kecewa gara-gara loe enggak ikut tim inti, kan?” tanya Rendy sok tahu. “Gue emang enggak pernah ngalamin yang loe alamin sekarang,”—sombong. “Gue selalu dapat yang gue inginkan. Tapi gue tahu gimana pahitnya kegagalan. Setiap manusia akan selalu mengalami manis pahitnya kehidupan.”—sok jadi orang bijak.
Melani masih terdiam.
“Kalo mau gue kasih saran, ya! Loe jangan marah-marah kayak gini. Enggak akan ngehasilin apa-apa. Loe enggak boleh menyerah gitu aja. Loe harus tetap berusaha. Gue yakin kalo loe mau tekun belajarnya, loe pasti bisa lebih baik dari sekarang. Bahkan loe bisa jadi tim inti basket, mungkin bisa jadi kaptennya.”
Rintik hujan pun mulai turun.
Rendy mengajak Melani untuk beranjak dari lapangan basket, namun Melani menolak.
“Mel, loe mau sakit?”
“Kamu enggak ngerti apa yang aku rasain sekarang,” Hujan mulai membasahi keduanya. “Aku enggak cantik. Aku bukan orang kaya. Dan aku juga enggak pinter. Tapi aku enggak pernah berharap menjadi cantik, kaya, dan pintar. Hanya satu yang aku mau. Aku ingin orang mengenal aku. Aku ingin punya kelebihan daripada yang lain. Aku hanya ingin masuk tim basket dan mengharumkan nama sekolah dengan prestasiku.” Melani mengambil bola basket dari tangan Rendy dan melemparkannya ke dalam ring basket. Namun lagi-lagi gagal. Bola pun memantul deras keluar lapangan. Rendy segera mengambilnya.
“Udah gue bilang, bola enggak mau masuk kalo pake amarah.” Rendy segera unjuk kebolehannya. Shooting dari tengah lapangan dan masuk. Ia segera mengambil bolanya. Lalu mendribble bola dari pinggir lapangan, melakukan lay-up sempurna dan bola pun mas. Berputar-putar di bawah ring baket. Memasukkan bola berkali-kali. Tidak ada yang meleset satu pun. Melani terpana melihatnya.
“Mau ajarin aku?” ucap Melani tiba-tiba.
“Sebenernya susah. Diliat dari cara loe lempar bola aja masih banyak yang harus diperbaiki.” ucap Rendy dengan nada merendahkan.
Melani tidak begitu kecewa mendengar jawaban Rendy. Ia sendiri tahu sebatas apa kemampuannya dalam hal basket. Ia berjalan keluar lapangan basket.
“Tapi enggak ada kata menyerah dalam kamus Rendy. Pelajaran dilaksanakan setelah gue beres latihan basket. Dan pelajaran pertama kita mulai hari ini.”
Senyum bangga mengembang di wajah Melani. Bunga-bunga dalam hatinya kembali bermekaran. Ia membalikkan badannya. Dan setengah berlari menghampiri Rendy.
Melani mencoba meraih bola dari tangan Rendy. Rendy tak memberikannya. Diangkatnya bola basket tinggi-tinggi. Semakin sulit Melani untuk meraihnya.
“Apa lagi?”
Rendy tak menjawab.
“Makasih.” ucap Melani. Hampir saja ia lupa megucapkan kata itu. Pantas saja Rendy tak mau memberikan bola basket kepadanya. Setelah mendengar ucapan yang diingikannya itu. Baru Rendy memberikan bola basket pada Melani.
Rendy mulai mengajari kepada Melani tentang dasar-dasar bermain basket. Ya, walaupun dasar-dasar itu sudah  Melani mengerti ketika mengkuti ekskul basket. Namun Melani tidak berani protes. Ia tak ingin merusak mood Rendy.
Melani memperagakan apa yang Rendy ucapkan maupun yang Rendy peragakan. Banyak kesalahan yang Melani perbuat. Butuh berkali-kali perbaikan agar Melani tidak berbuat kesalahan kembali. Itu sangat membuat Rendy geram. Rasanya ingin segera mengakhiri pelajarannya kepada Melani. Namun ia berusaha untuk sabar. Ia berusaha untuk konsisten dengan ucapannya.
Diakhir pelajaran Melani menantang Rendy untuk bermain basket satu lawan satu.
“Berani loe nantangin gue?”
“Kan buat menguji, apa kamu sukses ajarin aku atau enggak?”
“Oke. Gue terima tantangan loe. Tapi kalo loe kalah jangan nangis, ya.”
“Siapa bilang aku bakal kalah. Aku akan berusaha untuk ngalahin kamu. Liat aja!”
Rendy meraih bola dari tangan Melani dan melemparkannya ke dalam ring basket. “Three point!” terikanya.
“Ih, curang!” protes Melani. “Aku kan belum siap.”
“Siapa cepat, dia yang dapat.”
Melani kini yang akan berbuat curang. Namun geraknya sudah terbaca jelas oleh Rendy. Ia berhasil berkelit dari Melani. Dan membawa bola ke tengah lapangan. Melani berusaha mengejar, namun tiba-tiba ia terpeleset. Rendy segera menghampiri. Disimpannya di samping tubuh Melani.
“Loe enggak apa-apa, Mel?” tanyanya khawatir.
Melani beranjak cepat dan mengambil bola. Lalu berlari ke bawah ring. Dan mencetak point. “Dua-tiga!” terikanya.
“Mau maen curang, ya?”
“Kamu yang duluan maen curang.”
Permainan pun dimulai.
Beberapa kecurangan mereka lakukan. Rendy menarik tangan Melani dan meraih bola. Melani tak kehabisan akal. Ia menggelitik atau mendorong Rendy dari belakang.
Mereka sangat menikmati permainan. Tawa riang mengiringi selama permainan. Sejenak permusuhan antara Melani dan Rendy terlupakan. Mereka terlalu asyik dengan permainan. Guyuran hujan menambahkan suasana romantis keduanya.
Akhirnya permainan pun selesai juga. Dengan point 30-10. Dan Rendylah pemenangnya. Sudah dapat dikira dari awal bahwa Rendy akan menjadi pemenang. Sungguh sulit dipercaya apabila Melani berhasil mengalahkan pemain terbaik satu sekolah.
Keduanya segera menepi. Menghangatkan tubuh mereka setelah diguyur hujan. Melani mengigil kedinginan. Rendy yang hendak memakai jaketnya merasa iba kepada Melani. Ia memakaikan jaketnya pada Melani. Awalnya Melani menolak. Namun Rendy sedikit agak memaksa, ia pun tidak bisa berkutik.
“Gue yakin loe pasti enggak bawa jaket. Udah pake aja jaket gue.”
“Terus kamu pake apa?”
“Gue enggak mau anak orang sakit gara-gara gue.”
“Makasih!” Melani agak ragu-ragu menerima jaket Rendy. “Hmm … kalo gitu, aku pulang duluan, ya!” seru Melani. “Kak Andre pasti udah khawatir.”
“Biar gue anterin!” Rendy menarik tangan Melani. Membuat Melani sulit untuk menolak ajakan Rendy.
Di tengah derasnya guyuran hujan keduanya meninggalkan sekolah. Lagaknya sudah bagai Rossy. Entah kecepatan berapa yang ia gunakan. Laju motornya sangat cepat. Itu mengharuskan Melani berpegangan erat pada Rendy.
Sampailah di rumah Melani.
Belum satu menit Melani turun dari motor Rendy. Rendy sudah menancap gas. Berlalu dengan cepat dari pandangan Melani. Ia lupa bahwa jaketnya masih ada pada Melani.
Andre yang sepulang kerja tidak mendapati adiknya ada di rumah. Sangat khawatir kepada Melani. Sepulang kerja ia belum menyempatkan makan, ia hanya mondar-mandir di depan pintu sembari memegang ponselnya berulang kali ia menghubungi Melani. Namun ponsel Melani tidak dapat dihubungi. Tak kehabisan akal, ia menghubungi teman-teman Melani. Namun tidak ada diantara mereka yang mengetahui keberadaan Melani. Ia pun memutuskan untuk mencari adik semata wayangnya itu.
Ketika ia hendak menyalakan motornya, Melani pun datang dengan sekujur tubunya basah kuyup.
“Kakak mau kemana?” sapa Melani.
“Kamu dari mana aja sih, Mel?” tanya Andre dengan marah.
“Mel ada pelajaran tambahan. Jadi pulangnya sore.”
“Kenapa kamu enggak ngasih kabar sama Kakak?”
“Hp Mel mati.”
“Lain kali jangan gini lagi, ya! Jangan buat Kakak khawatir kayak gini. Liat tuh! Kamu basah kuyup gitu.”
“Iya, Kak.”
Keduanya pun masuk ke dalam rumah.
Melani segera berganti pakaian dan menghangatkan diri. Arini pun datang sore itu. Ia dikabari Andre bahwa Melani belum pulang dari sekolahnya. Ia sangat kahwatir pada Melani. Ketika ia datang, ternyata Melani sudah ada di rumah. Ia pun segera memasakkan makan malam.
***
Besoknya, Melani mendengar kabar kalau Rendy sakit ini pasti karena kejadian kemarin. Tapi siapa suruh jaketnya aku yang pake, pikir Melani.
Mendengar kabar itu, sedikit membuat Lyla murung hari itu. Ia hanya bicara secukupnya. Ingin rasanya ia menjenguk Rendy. Tapi siapa dia? Dia tak ada hubungan apa-apa dengan Rendy. Ketiga sahabatnya pun bisa memahami sikap Lyla.
Sepulang sekolah Melani memutuskan untuk menjenguk Rendy. Sekalian juga untuk mengembalikan jaket Rendy yang masih ada pada dirinya. Ia tak tahu dimana rumah Rendy, untuk itu ia pun berniat menanyakannya pada Evan dan Bayu. Kalau ia bertanya pada Lyla, takutnya ada salah paham.
Sampai di basecamp Rendy cs. ia melihat Evan dan Bayu sedang asyik main bilyar. Karna kedatangan Melani, mereka menghentikan permainan dan segera menyambutnya. Evan mempersilahkan Melani duduk.
“Tumben kamu dateng kesini?” sapa Bayu.
“Aku denger … Rendy sakit, ya?” tanyanya sambil menyeruput minuman yang diberikan Evan.
“Oh iya,” jawab Evan. “Katanya sih demam, besok juga udah masuk lagi.”
“Eu…” ucap Melani seperti ada sesuatu yang mengganjal. “Aku… boleh minta alamat rumah Rendy, enggak?”
“Buat apa?”
“Aku,” gagap lagi. “mau nengok.”
“Nengok?”
“Iya,” jawab Melani seperti merasa bersalah. “Eu… kemaren aku abis latihan basket sambil ujan-ujanan sama dia. Terus jaketnya aku pake pas pulang. Mungkin karna itu dia jadi sakit.”
“Oh, karna itu,” Bayu pun menuliskan alamat Rendy dalam secarik kertas dan memberikannya kepada Melani.
“Makasih ya, Kak,”
“Iya sama-sama,”
Ketika Melani hendak pergi, ia menghadangnya, “Kamu mau kemana?”
“Aku mau langsung ke rumah Rendy,”
“Tunggu dulu. Biar kita pesenin taksi buat kamu.”
“Enggak usah repot-repot, Kak. Aku bisa naik bis, kok.”
“Enggak apa-apa,” Bayu menyuruh Melani duduk lagi. “Sambil nunggu kita ngobrol-ngobrol aja dulu.” Melani pun menurut.
“Hebat ya, kamu Mel,” puji Evan tiba-tiba, membuat Melani jadi heran. “Dari banyak cewek yang ngejar-ngejar Rendy, cuma kamu yang berhasil deket sama dia.”
“Siapa bilang aku ngejar-ngejar Rendy?” jawab Melani agak marah.
“Gue salut sama loe, banyak cewek yang rela ngelakuin apapun buat deket sama Rendy. Eh, itu anak malah deketnya sama kamu.”
“Mungkin traumanya sama cewek udah ilang,” celetuk Evan.
“Maksud Kak Evan?” tanya Melani tak mengerti. “Rendy pernah disakitin sama cewek.”
“Bukan gitu,” sanggah Bayu. “Rendy punya hubungan yang enggak baik sama ibunya sejak ayahnya meninggal sepuluh tahun yang lalu. Rendy sangat dekat dan sayang banget sama bokapnya. Dan saat bokapnya dipanggil Tuhan, Rendy sangat-sangat terpukul. Nyokapnya yang juga sama-sama terpukul menyibukkan diri dengan kerja. Padahal Rendy saat itu sangat butuh ibunya. Itulah yang membuat Rendy jadi enggak respek sama ibunya sendiri.”
“Pantes dia jutek banget,” komentar Melani.
“Sebenernya Rendy juga udah enggak betah tinggal di rumahnya,” lanjut Evan. “Cuma dia punya adik yang sakit-sakitan,. Dia sayang banget sama adiknya.”
Mendengar semua cerita Evan dan Bayu, pandangan Melani terhadap Rendy jadi berubah 180°. Kini ia tahu mengapa sikap Rendy begitu dingin. Kasihan juga. Dibalik raganya yang rupawan, namun hatinya sangat kekurangan kasih sayang.
“Jadi kamu maklum aja,” ucap Bayu. “Kamu coba deketin dia, buat dia menerima ibunya lagi. Bantu dia untuk mendapatkan kebahagiaanya lagi.”
“Kenapa harus aku?”
“Rendy orangnya keras kepala,” curhat Evan. “Udah sering kita ngasih tahu, tapi selalu pura-pura enggak denger. Malah kita pernah kena bogem mentahnya. Dia juga sulit untuk berteman. Kita harap kamu bisa merubah sikapnya.”
“Tapi siapa aku? Aku juga belum lama kenal sama Rendy.”
“Eh, taksinya udah dateng,” ucap Bayu. Percakapan mereka buntu sampai disitu.
“Ya udah, kita lanjut ngobrolnya nanti lagi aja, ya!”
“Iya, Kak!” jawab Melani sambil beranjak. “Makasih ya, Kak, buat semuanya.”
“Iya, sama-sama.” Melani pun keluar dari basecamp Rendy cs. Dan segera masuk ke dalam taksi yang membawanya menuju rumah Rendy.
***
Kedatangan Melani disambut ramah oleh seorang pembantu rumah tangga di rumah mewah Rendy. Pembantu yang kerap disapa Bik Imas itu mengantarkan Melani sampai kamar Rendy.
“Ini kamarnya Mas Rendy!” tunjuk Bik Imas.
“Makasih, Bik.”
“Kalau begitu saya permisi.”
Melani mulai mengetuk pintu kamar Rendy.
“Siapa?” sapa suara dari dalam.
“Aku Melani.”
“Ngapain loe kesini? Loe enggak usah repot-repot nengok gue.”
“Aku kesini bukan buat nengok kamu, kok.” —bohong. “Aku kesini buat balikin jaket kamu.”
“Apa enggak bisa besok? Besok juga gue udah masuk sekolah.”
“Ya…” Melani berusaha mencari alasan. “Aku juga mau minta maaf. Gara-gara aku kamu jadi demam.”
“Enggak perlu merasa bersalah. Gue juga enggak nyalahin loe. Sekarang loe pulang aja!”
“Kamu kenapa, sih? Orang ngasih perhatian malah dijutekin.”
“Nyokap gue aja enggak pernah perhatian kalo gue sakit. Jadi, loe enggak perlu repot-repot perhatian sama gue. Gue butuh istirahat. Loe tahu jalan keluar, kan? Simpen aja jaket gue di depan pintu.”
Melani pun menyimpan jaket Rendy di depan pintu kamar Rendy. Dan segera menjauh dari kamar Rendy. Ia juga tak mau berdebat dengan Rendy. Ketika ia menuruni anak tangga, ia melihat seorang anak perempuan—mungkin ini adik Rendy yang sakit-sakitan yang tadi diceritakan Evan—berjalan terpapah menaiki anak tangga. Ia pun segera membantunya.
“Kamu mau kemana? Sini biar Kakak bantu!” sapanya.
Melani memapah anak perempuan itu sampai ke kamarnya. Ia membaringkan anak perempuan itu dan menyelimutinya.
“Aku Chika.” ucap anak perempuan itu.
“Aku Melani.”
“Kakak temennya Kak Rendy, ya? Pasti Kakak abis diusir sama Kak Rendy.”
Melani hanya mengangguk dan tersenyum.
“Kak Rendy emang orangnya gitu. Suka jadi bad mood kalo lagi sakit.” Melani hanya tersenyum. Emang iya.
Pandangan Melani beralih pada sebuah novel di atas meja belajar Chika. Ia teringat dengan kejadian beberapa bulan yang lalu. Ketika ia dan Rendy saling memperebutkan novel Harry Potter di sebuah toko buku yang hanya tinggal satu-satunya itu.
“Kakak juga suka Harry Potter, ya?”
“Kakak enggak nyangka bakal ketemu fans Harry Potter disini.”
“Buku ini Kak Rendy yang beliin. Kak Rendy baik banget sama aku. Dia Kakak terbaik di seluruh dunia.”
Ternyata Rendy sayang banget sama adiknya. Pantes waktu itu dia ngotot banget pengen novel ini.
“Dia rela ngelakuin apa aja asal aku seneng. Chika beruntung punya Kak Rendy. Cuma sekarang Kak Rendy lagi sakit. Aku enggak berani ganggu.”
“Udah sore, nih! Kakak pulang dulu, ya!”
“Kakak sering kesini, ya? Aku enggak punya temen ngobrol. Kak Rendy jarang ada di rumah. Mama sering pergi buat urusan bisnis. Aku kesepian.”
“Iya. Kakak janji bakal sering kesini. Buat nemenin Chika.” Melani pun pergi meninggalkan kamar Chika.
Di halaman rumah Rendy, ia berpapasan dengan seorang ibu paruh baya. Jalannya sangat terburu-buru. Hampir saja menyenggol bahu Melani. Nampaknya ibu paruh baya itu Melani kenal. Ia pernah bertemu ibu paruh baya itu. Tapi dimana?
Sekarang ia ingat. Ia pernah bertemu ibu paruh baya itu di pesta ulang tahun Rendy tempo hari. Ingin ia menyapanya, namun ibu itu sudah masuk ke dalam rumah Rendy. Sudahlah, mungkin lain waktu ia bisa menyapanya. Di pintu gerbang ia bertemu dengan Pak Satpam penjaga rumah Rendy. Ia pun menghampirinya.
“Siang, Pak!” sapanya.
“Siang. Ada perlu apa ya, Neng?”
“Boleh saya tanya sesuatu?”
“Ada apa gitu, Neng?”
“Ibu yang masuk barusan siapa, ya?”
“Oh, Bu Sinta. Dia Mamanya Mas Rendy. Memangnya ada apa, Neng?”
“Oh… enggak apa-apa. Makasih, Pak! Saya permisi.”
“Mangga atuh, Neng!”
Esoknya Rendy kembali masuk sekolah. Mood Rendy kembali memburuk. Ia jadi dingin dan jutek lagi. Dan ia juga tidak mengajari Melani basket lagi. Melani pun tak berani dan malas untuk meminta Rendy mengajainya lagi. Keduanya pun kembali bagai kucing dan anjing. Melani memutuskan untuk belajar sendiri. Menambah-nambah dari yang diajari pada saat ekskul. Juga belajar melalui internet. Dan pada saat ekskul pun ia sangat memperhatikan ketika Pak Ardi menerangkan.
Hari-hari berlalu, Melani dan Rendy tidak berhubungan lagi. Namun diam-diam Rendy selalu melihat Melani latihan dari kejauhan.
Selesai jam ekskul semua anggota ekskul basket diminta berkumpul. Nampaknya Pak Ardi akan mengumumkan sesuatu yang penting kepada semua anak didiknya.
“Alhamdulillah. Tim yang kita kirim sebagai perwakilan berhasil lolos dalam seleksi. Satu langkah lagi kita akan menuju semifinal. Bapak harap tim kita bisa masuk ke semifinal, dan bahkan bisa memenangkan kompetisi kali ini. Bapak minta doanya dari kalian semua.”
“Ya, Pak!” jawab semua serentak.
“Melani nanti sore kamu ikut latihan, ya? Saya lihat permainan kamu akhir-akhir ini cukup meningkat. Bapak mau kamu ikut pertandingan minggu depan.”
Melani tidak percaya. Ia tidak bisa mempercayai bahwa dirinya ditunjuk Pak Ardi sebagai pemain. Ia senang luar biasa. Kemudian tanpa sengaja ia melihat ke arah Rendy. Rendy pun membalas senyumnya.
“Terima kasih, Pak!” ucapnya terbata-bata.
Semua siswa-siswi pergi ke ruang loker untuk mengganti pakaian dan pulang. Namun Melani masih berada di lapangan basket. Diam terpaku berhadapan dengan ring basket. Ia masih belum bisa mempercayai bahwa dirinya terpilih menjadi pemain.
Tiba-tiba seseorang melemparkan bola basket ke dalam ring basket. Itu membuat lamunan Melani buyar seketika.
“Apa gue bilang. Loe pasti bisa. Kalo loe mau berusaha untuk bisa dan menjalaninya dengan tekun.” ucap orang itu.
“Makasih. Mungkin semua ini tak lepas dari bantuan dan dukungan kamu.”
“Kenapa loe enggak minta gue ajarin lagi?”
“Aku tahu kamu lagi bad mood. Aku enggak mau ganggu kamu. Lagipula aku bisa belajar sendiri.”
“Gue kan udah bilang, gue akan selalu konsisten dengan ucapan yang pernah keluar dari mulut gue.”
“Kan udah aku bilang juga aku bisa belajar sendiri.”
“Gue mau liat hasil loe belajar sendiri!”
“Maksud kamu?”
“Gue nantangin loe.”
“Deal.”
Melani dan Rendy mulai bermain. Kecurangan masih jelas terlihat dari permainan mereka. Kecurangan itu tidak jauh berbeda dari yang mereka lakukan tempo hari. Mereka sangat menikmati permainan. Canda tawa mengiringi permainan, setiap kali mereka melakukan kecurangan maupun memasukkan bola ke dalam ring.
Kali ini Rendy juga yang memenangkan permainan. Melani tidak begitu kecewa ia kalah. Karena hasil kali ini tidak jauh berbeda. Melani tidak kalah telak dari Rendy. Dengan point 40-20. Melani masih bangga pada dirinya sendiri.
“Besar juga peningkatan loe.” puji Rendy. “Kewalahan gue ngadepin loe.”
“Tumben kamu puji aku.”
“Enggak suka?”
“Biasanya kan kamu selalu nyela aku. Enggak pernah kamu bilang aku bagus.”
“Tapi barusan gue masih pake kekuatan gue, ya… paling seperempatnya. Kalo gue pake kekuatan penuh mungkin loe kalah telak lagi.”
“Nyebelin kamu! Emang enggak ada bagus-bagusnya aku di mata kamu.” Melani pun pergi. Namun beberapa menit kemudian ia kembali lagi. Dan mendorong Rendy sampai tersungkur jatuh.
“Heh…” teriak Rendy.
***
Melani tak lupa berbagi kebahagian bersama ketiga temannya. Ketika pagi, saat jam pelajaran pertama belum dimulai. Ia mengagetkan ketiga temannya yang tengah ada di kelasnya menemani Lyla membuat pekerjaan rumah  dari Pak Qosim, fisika.
“Guys!” sapa Melani. “I have good news.”
“What?” tanya Vania tak peduli sambil asyik memainkan hp barunya.
“Aku jadi tim inti di kompetisi basket se-Jakarta tahun ini. Ya, meskipun hanya sebagai pemain cadangan. Tapi aku tetep seneng.”
“Serius?” tanya Winda tak percaya.
“Swear! Ngapain aku bohongin kalian? Kalo enggak percaya tanya langsung aja Pak Ardi.”
“Kalo gitu selamet ya, Mel!” ucap Vania dan Winda berbarengan.
“Semoga dengan adanya kamu, perwakilan sekolah kita bisa menang.”
“Amin!”
Kebahagiaan Melani makin bertambah setelah mendapat support dari kedua temannya. Namun ketika ia melihat Lyla, Lyla tak memberi respon apa-apa.
“La, kamu enggak seneng denger berita baik aku, ya?”
“Aku mau tanya sesuatu sama kamu.”
“Aku buat kesalahan sama kamu?”
“Aku denger akhir-akhir ini kamu lagi deket sama Kak Rendy. Apa itu bener?”
Vania dan Winda langsung menghentikan aktivitas mereka yang asyik sendiri. Dan memperhatikan ketegangan yang tengah terjadi.
“Kamu marah soal itu? Aku sama Rendy enggak ada apa-apa, kok. Kamu jangan salah paham. Aku bisa jelasin semuanya.”
“Aku cuma ingin tahu, iya atau enggak?”
“Iya…”
Winda menggelengkan kepalanya.
“Ta… tapi aku bisa jelasin, kok. Rendy cuma ajarin aku basket. Kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku harap kamu bisa percaya. Aku bisa buktiin.”
“Aku percaya sama kamu, kok.”
“La…?”
“Selamet, ya! Akhirnya keinginan kamu terkabul.” Lyla pun melanjutkan kembali mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Vania dan Winda tak bisa berkata apa-apa. Mereka kembali melanjutkan aktivitas mereka. Melani sendiri masih merasa bersalah pada Lyla. Ia yakin Lyla masih marah padanya. Ia bertekad dalam diri, ia akan membuat Lyla percaya bahwa ia dan Rendy tidak ada hubungan apa-apa.
Hari yang ditunggu-tunggu Melani akhirnya datang juga. Hari ini Melani izin tidak mengikuti pelajaran. Ia bersama teman-teman yang lain berangkat menuju tempat kompetisi basket, SMA Negri 77 Jakarta, menggunakan bis pribadi sekolah.
Sampai disana seluruh bangku penonton diisi oleh siswa-siswi SMAN 77, ternyata Melani dan kawan-kawan akan memperebutkan tiket semifinal dengan pribumi. Awalnya Melani dan kawan-kawan sempat ciut, karena SMAN 77 banyak yang mendukung, sementara SMA Pertiwi tak ada satupun. Namun Pak Ardi terus memberi semangat kepada anak asuhnya. Dan nyali Melani dan kawan-kawan tidak ciut lagi.
Pertandingan dimulai. Banyak serangan dari SMAN 77. Namun SMA Pertiwi mampu untuk mematahkan serangan yang bertubi-tubi itu. Sampai babak kedua berakhir SMAN 77 mengungguli SMA Pertiwi. Tak apa permainan belum selesai, masih banyak waktu untuk mengubah keadaan.
Di pertengahan babak ketiga Gea mengalami kram. Ia harus ditandu ke luar lapangan. Pak Ardi pun mengutus Melani untuk menggantikan Gea. Melani terkenal dengan lemparan dan penangkapan umpan yang jarang sekali meleset maupun direbut tim lawan. Ia tidak banyak mencetak point. Akhirnya keadaan pun berubah diakhir babak ketiga SMA Pertiwi mampu mengungguli SMAN 77. Dan keadaan itu mampu di pertahankan sampai babak keempat berakhir. Dan skor akhirnya 71-66. Dimenangkan oleh SMA Pertiwi. Kemenangan ini belum berarti apa-apa. Karna masih ada semifinal dan final yang harus mereka lalui.
Menuju semifinal masih satu minggu lagi. Mereka masih harus berlatih untuk bisa lolos ke final. Tidak ada latihan tambahan. Latihan tetap dilakuan tiga kali dalam seminggu. Pak Ardi tidak menginginkan tim asuhannya dibebankan dengan keharusan untuk menang. Pak Ardi hanya ingin anak asuhnya menunjukkan permainan yang terbaik.
Sejak kejadian pagi itu, terlihat jelas Lyla agak jaga jarak pada Melani. Ia hanya berbicara seperlunya kepada Melani. Melani mengerti mengapa Lyla bisa berubah sikap padanya. Melani selalu berusaha agar Lyla bisa memaafkannya. Ia terus mendekati Lyla. Walaupun setiap Lyla ia dekati, Lyla selalu menghindar.
Hari ini Melani tidak ada jadwal latihan basket. Ia bisa pulang lebih awal. Ketika ia dan teman-temannya melewati parkiran, pada saat yang sama Rendy juga akan pulang dengan motor ninjanya.
“La, kaki kamu sakit, ya?” ucap Melani tiba-tiba. Rendy tidak menghiraukannya.
Lyla tidak mengerti apa yang diucapkan Melani. Ia memandang Melani penuh tanya. Melani mengedipkan matanya ke arah Lyla. Dan ia pun semakin tidak mengerti.
“Gimana kalo Rendy anterin pulang?”
“Bener juga, tuh.” tambah Winda.
“Kenapa harus gue? Disini banyak orang. Minta aja bantuan mereka!”
“Kan kamu yang paling deket.” ucap Melani.
“Gue enggak mau.”
“Ih, kok Kakak gitu, sih. Ada cewek yang kakinya kesakitan, Kakak enggak peduli sama sekali. kakak enggak kasian sama Lyla?” ucap Vania.
“Enggak nyangka. Ternyata Kak Rendy kayak gini.” Winda menambahkan.
“Iya. Iya. Loe gue anterin pulang.” Rendy pun menyerah. “Cepetan naik! Waktu gue bukan cuma untuk anterin loe pulang.”
Lyla pun tersenyum. Kini ia mengerti mengapa tiba-tiba Melani melakukan hal itu. Lyla pun segera naik ke atas motor Rendy dengan perlahan. Dan Rendy segera melaju.
“Pinter juga kamu, Mel!” puji Vania.
Tiba-tiba ponsel Melani berdering. Sebuah pesan singkat baru saja masuk. Pesan singkat itu berasal dari Lyla.
Aku percaya sama kamu.
Melani pun tersenyum dan sekarang ia dapat bernapas lega kembali. Tak ada salah paham antara dia dan Lyla lagi. Dan sejak kejadian itu sikap Lyla berubah kembali terhadap Melani. Ia menjadi ramah kembali terhadap Melani. Bersenda gurau bersama lagi. Bahkan lebih baik dari sebelumnya.
Perjuangan tim basket putri untuk mendapatkan tiket menuju final memang sangat berat. Lawan mereka adalah SMU Lusious, musuh bebuyutan dari SMA Pertiwi. Setiap kali kedua sekolah ini bertanding, SMA Pertiwi selalu yang mengalami kekalahan. Dari sembilan kali bertanding, SMA Pertiwi belum pernah menang sekalipun. Namun kali ini SMA Pertiwi membuat sejarah baru. Pada babak semifinal SMA Pertiwi berhasil mengalahkan SMU Lusious. Dengan point 62-59. Sungguh luar biasa. Ini sangat membaenggakan bagi SMA Pertiwi. Tak hanya mereka berhasil mengalahkan SMU Lusious, tapi mereka juga berhasil mendapatkan tiket menuju final.
Di final SMA Pertiwi akan berhadapan dengan SMU Garuda 14. Mereka sudah empat tahun berturut-turut memenangkan kompetisi basket putri se-Jakarta. Namun kenyataan itu tak menyurutkan nyali Melani dan kawan-kawan. Mereka tetap berharap bisa membawa pulang piala ‘Kompetisi Basket Putri se-Jakarta’.
Ternyata harapan semua siswa-siswi SMA Pertiwi terkabul. Meskipun dari awal SMU Garuda 14 berhasil unggul, namun SMA Pertiwi berhasil mengejar ketertinggalan di detik-detik terakhir. Ini semua tak lepas dari doa semua keluarga besar SMA Pertiwi.
Walaupun selisih point yang begitu dekat, 61-60. Dan dengan selisih satu point itu, berhasil mengantarkan SMA Pertiwi ke kompetisi nasional.
Pada kompetisi nasional SMA Periwi hanya menjadi runner up kedua. Tapi itu sudah sangat membaenggakan bagi SMA Pertiwi. Belum pernah sekalipun SMA Pertiwi mengikuti ajang bergengsi itu. Pernah beberapa kali tim basket putra memenangkan kompetisi itu.
Seluruh siswa SMA Pertiwi sangat bangga atas torehan prestasi dari anak-anak basket, khususnya Melani. Akhirnya keinginannya terkabul. Ia dapat mengharumkan nama sekolah dengan prestasinya. Sebuah kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan.
***

Posting Komentar untuk "Cerita Melani dan Rendy III"