Cerita Melani dan Rendy II
Camping
Pagi ini wajah Lyla terlihat lebih ceria dari biasanya. Dari masuk
kelas sampai istirahat kerjanya hanya senyum-senyum saja. Dihukum Pak Sakti
keluar kelas juga dia malah senyum, gara-gara tidak memperhatikan sewaktu Pak
Sakti menerangkan logaritma. Membuat ketiga sahabatnya heran.
Ketika istirahat di kantin Melani iseng bertanya, “Kamu kenapa, La?
Dari pagi keliatannya seneng banget?”
“Jelas dong aku seneng banget,”
“Seneng kenapa?”
“Emangnnya aku belum cerita, ya?” tanyanya balik.
“Makanya aku nanya juga,” Winda jadi sebel sendiri. “Aku takut liat
kamu senyum-senyum sendiri dari pagi.”
“Kemarin…” Lyla bercerita.
Lyla adalah ketua murid di kelasnya. Di akhir pelajaran Lyla diminta
Bu Sanusi mengembalikan buku kimia ke perpustakaan. Buku berjumlah 35 buah
harus dibawanya sendiri.
Di depan perpus, ia berpapasan dengan Rendy yang tidak sengaja
menabraknya hingga buku-bukunya berhamburan di lantai.
“Maaf,” ujar Rendy ramah sambil membantu Lyla memunguti buku-buku
yang berhamburan di lantai.
Lyla yang sejak pertama bertemu Rendy sudah jatuh hati padanya tak
berkata apa-apa. Ia amat terkejut plus senang bisa berpapasan dengan Rendy. Ia
masih tak percaya.
Rendy juga membantu Lyla untuk mengembalikan buku-buku itu ke
perpus. Lyla yang dari tadi tak mengeluarkan sepatah kata pun membuat Rendy
pusing.
“Sorry, tadi gue bener-bener enggak sengaja,” Lyla tetap tak
menjawab. “Loe enggak apa-apa, kan?”
“Oh iya, aku baik-baik aja, kok.” Akhirnya bicara juga.
“Gue bener-bener minta maaf soal tadi,”
“Iya enggak apa-apa, kok.” Lyla jadi grogi sendiri. “Tapi makasih ya
udah dibantuin.”
“Iya, sama-sama.” Rendy pun berlalu. Mata Lyla tak berhenti
memperhatikannya sampai Rendy hilang di balik pintu kelasnya.
“Oh, jadi gitu ceritanya,” tungkas Winda.
“Jadi kamu udah lama suka beneran sama Rendy?”
“Iya…” jawab Lyla agak malu-malu.
“Mending juga Kak Evan,” puji Vania. “Udah ganteng, keren, jago
basket.”
“Eh…” Winda ikut nimbrung. “Masih lebih bagus Kak Bayu, lah. Jago
semua alat musik, romantis, suaranya juga bagus.”
“Kenapa jadi malah banding-bandingin satu sama lain?” relai Melani.
“Kamu sendiri enggak ada yang dibanggain,” ledek Vania.
“Melani mah jangan ditanya,” tambah Winda. “Pasti jawabannya mau fokus
sekolah, enggak mau mikirin dulu cinta-cintaan.”
“Emangnya kamu enggak pernah pacaran?” tanya Lyla.
“Aku pernah sekali pacaran,” Melani curhat. “Dan selama dua bulan
pacaran, aku selalu makan hati.”
“Jadi intinya kamu trauma?”
“Bukan trauma,” sanggah Melani. “Cuma sekarang kan aku udah SMA. Aku
mau fokus belajar. Biar bisa masuk Universitas Negri.”
“Emangnya kamu enggak punya gitu satu gebetan aja?” tanya Winda
iseng. “Kakak-kakak kelas kan pada keren-keren.”
“Mungkin belum,”
***
Hari ini adalah hari senin pagi. Semua sekolah mengadakan upacara
bendera Merah Putih, termasuk SMA Pertiwi. Semua acara-acara telah dilalui.
Kini giliran Pak Kepala Sekolah memberikan pengumuman. Terlihat semua siswa
tampak mengomel. Menunggu kapan ucapara ini berakhir. Mereka sudah gosong
terpanggang sinar matahari pagi.
“Bapak hanya akan mengumukan satu pengumuman,” suara Pak Kepala
Sekolah terdengar ke seluruh penjuru sekolah. “Untuk mengisi liburan, sekolah
selalu mengadakan acara camping. Acara ini selalu diadakan setiap tiga tahun
sekali. Dan liburan kali ini tepat tiga tahun dari acara camping sebelumnya.
Bapak harap kalian semua bisa ikut memeriahkan. Acara ini bersifat sukarela.
Bila ingin mendaftar hubungi OSIS! Silahkan kembali ke kelas masing-masing!”
Seusai menyampaikan pengumuman Pak Kepala sekolah pun turun dari panggung
kehormatan.
Semua siswa besorak riang mendengar pengumuman dari Pak Kepala
Sekolah. Tampaknya semua siswa ingin mengikuti camping tersebut. Saat-saat yang
jarang ini mereka manfaatkan untuk mengisi liburan sekolah yang tinggal satu
bulan lagi.
Saat istirahat pun siswa siswi masih sibuk mebicarakan soal acara camping.
Teman-teman Melani juga tak kalah hebohnya. Sampai-sampai mereka lupa dengan
siomay yang sudah mereka pesan. Sekarang siomay itu sudah dingin.
“Pokoknya aku harus minta uang sama Papa aku buat ikut camping.”
ucap Vania.
“Aku juga mau minta uang sama Mama.” Winda menambahkan.
“Pokoknya kita semua harus ikut. Soalnya Kak Rendy cs. juga pasti
ikut.” tambah Lyla.
“Kamu ikut kan, Mel?” tanya Winda.
“Kayaknya sih enggak akan.” jawab Melani.
“Kenapa gitu? Ini kan hal yang jarang-jarang. Kalo kita udah kelas
dua atau tiga enggak akan ada yang gini-ginian.” tambah Winda.
“Kalian kan tahu nilai aku jelek-jelek. Liburan nanti aku mau
evaluasi nilai-nilai aku. Jadi mungkin aku enggak bisa ikut.” urai Melani.
“Ayolah, Mel! Kamu harus ikut. Biar kita liburan sama-sama. Enggak
enak kita liburan tanpa kamu.” ujar Lyla.
“Lagipula Kak Andre pasti enggak akan ngizinin.” jawab Melani.
“Ya, udah. Biar aku aja yang bilang sama Kakak kamu.” usul Lyla.
“Jangan!” jawab Melani membuat kaget ketiga temannya.
“Kamu kebiasaan deh, Mel.” ucap Vania. “Tiap ada acara kamu selalu enggak
mau ikut. Sekalinya mau karna dipaksa.”
“Bukan gitu,” Melani sedikit merasa bersalah kepasa
sahabat-sahabatnya itu. Memang benar, setiap kali mereka akan pergi bersama
pasti Melani selalu menolak. “Kali ini beda. Aku belum pernah ikut camping.”
“Kan ada kita,”
“Ya udah, deh. Kalo kalian tetep maksa, aku bakal usahain buat
ngomong sama Kak Andre.”
“Nah, gitu dong!”
“Pokoknya Kakak kamu harus ngizinin kamu ikut.” ucap Vania.
“Masak kamu rela temen-temen kamu asyik-asyik camping. Sementara
kamu diem aja di kamar sambil diskusi sama buku. Mana seru?” tambah Winda.
Melani hanya menganguk dan tersenyum, yang berarti ia mengiyakan
usul ketiga temannya. Ia pun kembali melanjutkan menyantap siomaynya.
Sesuai janjinya kepada teman-temannya. Sorenya ketika Andre pulang
kerja, Melani minta izin kepada Andre untuk mengizinkan ikut camping. Seusai ia
melayani Kakaknya yang baru pulang kerja. Ia pun menghampiri Kakaknya yang
tengah duduk santai di depan televisi dengan secangkir kopi hangat.
“Kak. Mel mau ikut camping liburan nanti.” seru Melani pada
Kakaknya.
“Camping? Enggak boleh.” jawab Kakaknya.
“Tapi, Kak…”
“Mel. Camping kan di hutan. Hutan jauh dari mana-mana. Gimana kalo
kamu digigit binatang buas? Atau kamu tersesat sendirian di hutan? Kamu adalah
satu-satu keluarga Kakak. Sekarang Kakak yang bertanggung jawab sepenuhnya atas
kamu. Kakak enggak mau terjadi sesuatu sama kamu.”
Sebenarnya Melani setuju dengan perkataan Kakaknya. Ia tidak akan
memaksa Kakaknya untuk mengizinkan ia ikut camping, kalau saja teman-temannya
tidak memaksanya.
“Kak, ini itu acara langka. Sekolah hanya mengadakan camping tiga
tahun sekali. Mel mohon, Kakak izinin Mel buat ikut camping.”
“Sekali enggak, tetep enggak.”
“Mel mau ngelakuin apa aja asal Kakak mau izinin.” bujuk Melani
lagi.
“Kamu beneran pengen ikut?”
“Iya, Kak,” jawab Melani penuh semangat. “Temen-temen Mel juga pada
ikut semua.”
“Ya udah, kamu boleh ikut.” Melani senangnya luar biasa. “Tapi
dengan satu syarat…”
“Syarat?” ucapan Kakanya sedikit membuat Melani cemas.
“Kamu harus perbaiki semua nilai kamu,” kata Kakaknya. “Kakak mau
semua nilai rapor kamu di atas tujuh. Tapi itu bukan hasil nyontek, ya?”
“Iya, Kak,” jawab Melani kurang mantap. Ia sendiri tidak yakin bisa
mendapatkan nilai minimal di rapornya. Ia tahu sebatas apa kemampuannya. Sejak
SD, nilai Melani tidak akan jauh dari angka tujuh. Malah ia kadang ia
mendapatkan nilai merah. Berbeda dengan kakaknya yang selalu menjadi juara umum
di sekolahnya. “Mel janji akan berusaha untuk memperbaiki semua nilai Mel.”
Keesokan paginya teman-teman Melani sudah menanti Melani di depan
kelasnya. Mereka dengan sengaja datang pagi-pagi sekali untuk mendengar
keputusan Kak Andre yang membolehkan Melani untuk pergi camping atau tidak.
“Gimana keputusan Kakak kamu, Mel?” tanya Lyla dengan antusias.
Melani hanya mengangguk.
“Asyik… Kita liburan bareng!” seru Winda.
“Tapi ada syaratnya,” ucap Melani lemas.
“Apa?” tanya Vania ingin tahu.
“Aku harus perbaiki nilai rapor aku.” jawab Melani.
“Itu sih masalah gampang. Tiap pulang sekolah nanti kita ke rumah
kamu.” usul Lyla. “Kita bisa bantuin kamu belajar. Kita akan buat semua nilai
kamu jadi bagus.”
“Makasih, ya! Kalian udah mau bantuin aku.” ujar Melani haru, hampir
menangis.
“Kok nangis, sih?” Lyla menghapus air mata Melani dengan telapak
tangannya.
“Kok kalian baik banget sama aku?” isak Melani.
“Kita kan sahabat kamu. Masak liat sahabat yang kesusahan kita diem
aja?” Winda memeluk Melani, diikuti oleh Vania dan Lyla.
“Makasih, ya.”
***
Sesuai janji, pulang sekolah Lyla, Vania, Winda, dan Melani bergegas
menuju rumah Melani dengan menggunakan mobil baru milik Vania. Meskipun usianya
masih di bawah umur tapi ia sudah lihai mengemudikan mobil. Sebenarnya kedua
orang tua Vania tidak setuju Vania mengemudikan mobil sendiri, namun karna
Vania terus merengek. Dan akhirnya hati kedua orang tuanya pun luluh. Ia adalah
anak semata wayang dari keluarga pemilik salah satu perusahaan timah putih
terkenal dan terbesar di Indonesia. Sudah jelas pasti ia sangat dimanja oleh
kedua orang tuanya.
Sampailah di rumah Melani.
Ketika Melani hendak mengajak teman-temannya ke kamarnya, ia melihat
Andre tengah terbaring lemas dengan selimut tebal di depan televisi. Ia pun
menghampirinya. Disusul oleh teman-temannya.
“Kakak enggak ke kantor?” tanya Melani.
“Kakak lagi enggak enak badan,” jawab Kakaknya.
“Kok Kakak enggak kabarin aku, sih?”
“Kakak cuma enggak enak badan doang, kok. Lagipula Arini udah
kesini, kok. Dia lagi buatin bubur di dapur.”
“Kakak udah minum obat?”
“Udah.”
“Oh, iya, Kak. Kenalin temen-temen sekolah aku.”
“Lyla.”
“Winda.”
“Andre.” jawabnya ramah. Lalu Andre memandang Vania dengan dahi yang
berkerut seperti memikirkan sesuatu.
“Kak Andre lupa sama aku?”
Andre masih memandangnya bingung.
“Aku Vania, Kak. Aku kan sodara jauh Kak Andre sama Melani. Dulu
kita sering maen bareng.” urai Vania.
“Anaknya Om Ridwan, Kak.” tambah Melani.
Andre memperhatikan Vania dengan seksama. “Oh iya,” ujar Andre
akhirnya. “Maaf ya, Kakak hampir lupa. Kamu sih banyak berubah.”
Vania hanya tersenyum mendengar komentar Andre.
“Gimana kabar orang tua kamu?”
“Baik kok, Kak.” jawab Vania antusias. “Kapan-kapan main ke rumah
ya, Kak.”
“Oh iya,” Lalu Andre mengalihkan pandangan pada Melani. “Kamu enggak
pernah cerita kalo Vania satu sekolah sama kamu.”
Melani hanya tersenyum tak jelas.
“Tumben pada maen ke rumah, ada apa?”
Vania hendak menjawab, namun segera dipotong oleh Winda. “Kita mau
belajar bareng, Kak.” Wajah Vania langsung berubah sinis.
“Tumben kamu mau diajak belajar bareng,” sindir Andre pada Melani.
“Kakak,” ujar Melani menekuk wajahnya.
“Ya udah, kalian belajar yang rajin yah.” pesan Andre.
Di saat yang bersamaan Arini keluar dari dapur dengan semangkuk
bubur di tangannya. Setelah memperkenalkan teman-temannya dengan Arini, Melani
pun mengajak teman-temannya ke kamarnya. Arini pun menyuapi Andre.
“Aku ambilin minum sama cemilan dulu, ya!” ujar Melani sembari
melemparkan tasnya ke atas tempat tidurnya.
“Eh, Mel!” panggil Winda. “Sayang ya, kita ketemunya enggak dari
dulu?”
“Emangnya kenapa?” tanya Melani heran.
“Kakak kamu ganteng banget, tapi sayang udah punya calon istri.”
“Kamu suka sama Kak Andre?”
“Ya iyalah, siapa yang enggak suka cowok secakep itu?”
“Katanya naksir berat sama Kak Bayu,”
“Aku kan enggak pacaran sama Kak Bayu,” Winda jadi cemberut.
“Lagipula masih gantengan Kak Andre daripada Kak Bayu.”
“Kamu bisa aja,”
“Coba aja, kita udah kenal lama,” kebiasaan Winda kambuh lagi—berkhayal.
“Mungkin aku yang bakalan jadi kakak ipar kamu. Aku kan lebih cantik dari Mbak
Arini.”
“Sebelum kamu, aku dulu kali.” potong Vania. “Aku kan yang lebih
dulu kenal sama Kak Andre.”
“Kamu kan sodaranya?”
“Kita sodara jauh,”
“Dan sebelum kalian bilang begitu, tanya dulu sama Melnya, mau enggak
dijadiin adik ipar?” ledek Lyla.
“Bilang aja naksir juga. Syirik aja!” ujar Winda ketus.
Melani pun meninggalkan temen-temannya yang tengah ribut memperbincangkan
Kakaknya. Melani kembali dari dapur dengan nampan yang berisi dua toples
cemilan dan empat gelas es jeruk. Dan meletakkannya di atas meja belajarnya.
“Mel, kok kamar kamu sepi sih, enggak ada meja riasnya? Alat
kosmetik kamu disimpen dimana?” tanya Vania.
“Aku cuma pencuci sama pelembab muka doang, kok. Kalo disimpen di
meja rias, terlalu kegedean. Bikin kamar aku jadi sempit. Aku simpen aja di
kamar mandi.” jawab Melani.
“Ya ampun! Cuma itu doang?” tambah Winda. “Mel, cewek itu harus ada
parfum, body lotion, bedak, dan berbagai kosmetik penting lainnya.”
“Pantes aja tiap ke sekolah muka kamu selalu kucel.” ledek Vania.
“Emangnya kenapa kalo aku enggak suka dandan?”
“Enggak akan ada cowok yang mau deket sama cewek yang enggak suka
dandan.” jawab Winda.
“Tapi kan enggak semua cowok kayak yang kamu maksud. Ada juga cowok
yang lebih suka ceweknya tampil apa adanya. Enggak harus selalu tampil cantik.”
balas Melani bijak. “Intinya menjadi diri sendiri aja.”
“Tapi kamu harus coba tampil seperti cewek-cewek pada umumnya. Qodrat
kamu itu cewek, Mel.” Winda terus memojokkan Melani.
“Aku enggak pernah nolak dilahirkan sebagai cewek. Ya, akulah
seperti ini. Aku ingin jadi diriku sendiri. Aku enggak mau jadi orang lain buat
narik perhatian.”
“Udah, udah. Kok jadi ribut, sih?” relai Lyla.
“Niat kita kesini kan buat ngajarin Melani, bukan ribut masalah
penampilan Melani.” tambah Vania.
“Ya, udah. Kita mulai belajarnya sekarang!” perintah Lyla.
Perdebatan Melani dan Winda pun berakhir. Kini mereka mulai membuka
buku. Dan satu per satu mulai mengajari Melani. Mereka sangat serius ketika
mengajari Melani. Mereka adalah sahabat-sahabat yang patut diacungi jempol.
Meskipun sebelum belajar sempat ada percekcokan, namun mereka tidak membuat
masalah itu berlarut-larut.
Canda riang dan tawa kecil pun mengiringi kegiatan belajar mengajar.
Tapi dalam praktinya, mereka lebih sering mengobrol dan bercanda tawa daripada
belajarnya. Belajar hari ini selesai tepat pada pukul 19:00.
Proses belajar mengajar yang ditekuni Melani setiap hari pun
akhirnya membuahkan hasil. Tak ada nilai enam lagi di rapornya. Sungguh suatu
hal yang luar biasa. Meskipun kebanyakan nilainya tak jauh dari angka tujuh, tapi
ia tetap senang dengan semua hasil yang diperolehnya itu. Itu semua tak lepas
dari bantuan sahabat-sahabatnya.
Diperlihatkannya rapornya pada Kakaknya. Andre terkejut dengan semua
perubahan drastis adiknya itu. Akhirnya ia pun menyetujui Melani untuk ikut camping.
Melani sangat senang sekali. Ia pun memeluk Kakaknya erat.
***
Hari yang ditunggu semua siswa siswi SMA Pertiwi pun akhirnya datang
juga. Hari ini adalah hari keberangkatan siswa siswi SMA Pertiwi untuk menuju
tempat perkemahan. Meskipun tidak semua siswa siswi yang ikut camping, tapi
siswa siswi yang ikut cukup banyak.
Dan ternyata ucapan Lyla memang benar. Rendy mengikuti acara camping
tahun ini. Walaupun ia tidak berbaur dengan siswa-siswi lain dalam satu bis. Ia
dan dua orang temannya memakai mobil zeep ke tempat perkemahan.
“Bener kan apa kata aku, Kak Rendy pasti ikut.” ujar Lyla.
“Enggak sia-sia aku tampil cantik.” Vania menambahkan.
“Mobil siapa itu?” tanya Melani sembari menunjuk mobil yang
terparkir di samping bis-bis.
“Mobilnya Kak Rendy, lah.” jawab Winda.
“Bukannya dia biasa pake motor?”
“Hello! Kak Rendy itu tajir. Jadi kendaraannya enggak cuma satu,
dong. Kak Rendy dan teman-temannya pergi ke tempat camping pake mobil itu. Enggak
lucu dong pergi ke tempat camping pake motor. Jadi mereka perginya enggak
bareng sama kita-kita yang naik bis.” urai Lyla.
“Manja banget, sih. Emangnya kalo satu bis sama siswa-siswi yang
lain bikin mereka rabies?” ujar Melani ketus.
“Hust! Ngaco aja kalo ngomong.”
“Ayo anak-anak, berkumpul semua!” seru Pak Kepala Sekolah, Pak
Burhan. “Sebelum berangkat hendaknya kita
berdoa terlebih dahulu. Agar kita bisa selamat dalam perjalanan pergi maupun
nanti ketika pulang. Berdoa mulai!”
Semua siswa berdoa dengan khusyuk.
“Selesai!” ucap Pak Burhan. “Sekarang semuanya masuk ke bis sesuai
dengan nomor bisnya.”
“Baik, Pak.” jawab semua siswa serentak.
Semua siswa siswi sangat menikmati perjalanan. Sesekali ada beberapa
siswa yang bernyanyi-nyanyi untuk melepas rasa bosan. Semuanya telihat sangat
senang. Walaupun ada beberapa siswi yang mabok darat. Ia muntah di dalam bis.
Membuat jijik beberapa siswi lainnya.
Sementara Rendy dan teman-temannya yang membawa mobil sendiri ke
tempat camping mengikuti lajur bis dari belakang. Meskipun yang mengisi mobil
zeep milik Rendy hanya tiga orang. Tapi mereka juga sangat menikmati
perjalanan. Evan yang terkenal sangat cerewet terus menerus menggangu Rendy yang
tengah mengemudikan mobil. Tawa kecil pun mengiringi sepanjang jalan. Dan juga
Bayu yang bernyanyi-nyanyi tak keruan membuat kedua temannya mengomel.
Sampailah di sebuah penginapan. Semua siswa turun dari bis, termasuk
Rendy dan teman-temannya.
Semua siswi berteriak gembira karna mereka pikir camping akan
diadakan di penginapan yang ada di hadapan mereka.
Camping kok di hotel, sih? Ini mah piknik bukan camping. gumam
Melani heran.
Beberapa saat kemudian Bapak Kepala Sekolah menyuruh semua siswa
siswi berkumpul dan mendengarkan Bapak Kepala Sekolah berkhutbah kembali.
“Alhamdulillah. Kita tiba disini dengan keadaan selamat. Namun perjalanan kita
belum selesai…”
“Belum selesai? Bukannya kita nginep di hotel ini, Pak?” tanya salah
satu siswi.
“Kalau kita tidur disini namanya bukan camping, tapi piknik.” jawab
Pak Burhan dengan nada bercanda. Beberapa siswa menyambutnya dengan tawa
mengejek. “Kita masih harus berjalan sekitar lima kilometer ke dalam hutan.
Disini kita hanya akan beristirahat sejenak, untuk mempersiapkan perjalanan
nanti. Duapuluh menit lagi mari kita lanjutkan perjalanan. Untuk keperluan
obat-obatan dan yang ingin ke kamar mandi silahkan hubungi gugu-guru.”
“Huuu…” teriak beberapa siswi.
“Ren, kita pulang, yuk!” ajak Evan.
“Pulang?” tanya Bayu heran.
“Iya, pulang. Jalan lima kilometer itu jauh. Gue enggak sanggup.”
“Ya elah, Van. Loe cewek atau cowok. Loyok amat. Payah loe!” ledek
Rendy.
“Gimana kalo di dalem hutan ada binatang buas? Terus kita dimakan
hidup-hidup. Gue belum mau mati. Gue belum nikah, gue belum ngasih cucu buat
nyokap gue.”
“Pikiran loe itu terlalu jauh, Van. Ini acara rutin sekolah. Udah
pasti sekolah sering kesini. Kalo ada apa-apa pasti sekolah udah ngilangin
acara ini. Udah lah loe jangan kayak cewek.” ucap Bayu.
“Ya, udah. Kita ke hutannya bawa mobil. Loe tinggal bilang aja sama
Pak Kepsek pasti dibolehin.”
“Enggak, ah. Gue mau ikut jalan aja. Pasti seru.” bantah Rendy.
Evan pun mengerutkan wajahnya dan mengambil sekantung makanan ringan
dari dalam mobil. Lalu melahapnya dengan penuh kekesalan. Kedua temannya tak
mempedulikan Evan.
Perjalanan menuju hutan pun di mulai. Penuh keluh selama perjalanan.
Lelah, lah. Haus, lah. Lapar, lah. Dan masih banyak lagi. Keluhan itu lebih
sering diucapkan oleh anak-anak perempuan. Mereka sudah berkali-kali merengek
meminta kepada Pak Kepala Sekolah untuk rehat sejenak.
“Tidak. Kita masih harus melanjutkan perjalanan. Kita baru akan
beristirahat di tempat tujuan.” ujar Pak Burhan.
Lyla tampak kerepotan dengan semua barang bawaanya. Sebagai seorang
perempuan selalu tampil modis sudah pasti barang-barang bawaanya banyak. Ya,
seperangkat kosmetik yang akan selalu membuat Lyla terlihat cantik setiap saat.
Tiba-tiba seorang siswa menghampirinya.
“Mau gue bantu?” sapanya kemudian.
“Loe siapa?” tanya Lyla ketus.
“Kenalin,” ia mengulurkan tanganya. “Gue Donny. Loe pasti Lyla,
kan?”
Lyla hanya tersenyum tawar.
“Gimana mau gue bantu?” tanya Donny lagi.
“Enggak perlu. Gue masih kuat buat ngangkatnya, kok.” Tiba-tiba
barang-barang bawaanya berjatuhan.
Donny pun memunguti barang-barang Lyla yang berjatuhan. “Gue bilang
juga apa. Cewek secantik loe enggak cocok bawa barang-barang segini banyak.
Sini biar gue aja yang bawain.”
Lyla hanya terdiam.
“Cie… Aku juga mau ada cowok yang angkatin barang aku.” ledek Winda.
“Ya iyalah. Beruntung banget jadi Lyla. Ada cowok yang dengan suka
hati bawain barangnya.” Vania ikut menambahkan.
“Sekarang kita sudah sampai di tempat camping. Setelah kalian
istirahat sebentar, segera bangun tenda. Hari mulai malam. Jangan terlalu jauh
membangun tendanya. Jika ingin buang air kecil maupun besar harus dipastikan
ada teman yang menemani. Jangan sekali-sekali pergi sendirian.” urai Pak Burhan.
“Baik, Pak.” sahut semua siswa siswi serentak.
Semua siswa dan siswi mulai membangun tenda. Satu tenda ada yang
diisi tiga sampai enam orang. Ada beberapa siswi yang mengalami kesulitan
ketika mendirikan tenda. Apalagi Tiara kawan-kawan. Mereka uring-uringan ketika
mendirikan tenda. Meskipun begitu tak ada yang mau membantu mereka.
Sementara Rendy, Evan dan Bayu hanya duduk-duduk santai saja sambil
menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah. Dan yang mendirikan mereka adalah
siswa-siswa kelas X. Mungkin karena mereka diancam oleh Rendy, mereka pun mau
menuruti kemauan anak manja itu.
“Selesai mendirikan tenda dan merapikan barang-barang bawaan, segera
mencari kayu bakar. Jangan terlalu jauh mencarinya.” ucap Pak Kepala Sekolah lagi.
Kayu bakar sudah terkumpul banyak. Dan hari pun mulai malam. Pak
Kepala Sekolah segera membakar kayu bakarnya. Api unggun pun menyala di
tengah-tengah tenda para siswa. Meskipun api unggun sudah menyala, namun dingin
hutan masih menusuk para pekemah malam itu.
Bayu mengeluarkan gitarnya yang sengaja ia bawa ke perkemahan. Dan
mulai memetiknya. Bayu pun mulai menyanyikan sebuah lagu. Sebuah lagu yang memecahkan
keheningan malam. Beberapa siswi berteriak hiteris. Dan sebagian lagi terhanyut
dalam lagu yang dinyanyikan Bayu. sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Ungu Band
‘Dilema Cinta’. Bayu adalah seorang cliquers—sebutan untuk fans Ungu Band.
Seberapa salahkah diriku
hingga kausakiti aku
Begitu menusukku inikah
caramu membalas aku yang selalu ada saat kau terluka
Seberapa hinanya diriku
hingga ludahi semua yang kuberi untukmu
Tak ada satupun perasaan
yang mampu membuatku begitu terluka
…
Bayu memang memiliki suara emas yang mampu membuat pendengarnya
terhanyut dalan nyanyiannya. Ia yang terkenal playboy itu selalu menembak para
gadis dengan suara emasnya itu. Pantas saja tidak ada sejarahnya Bayu ditolak
oleh wanita yang pernah ditembaknya. Juga keromantisannya yang tak kalah jitunya.
Berbeda dengan Evan, banyak gadis yang bertekuk lutut padanya karna
gombalnya. Gombalnya yang terkenal jitu, tak pernah ada gadis yang menolak
untuk dipacarinya. Ia juga terkenal humoris. Meskipun agak cerewet, masih
banyak saja wanita yang terobsesi padanya. Dan yang sama dari keduanya dalah
wajah mereka yang tak kalah tampan dari Ariel Peterpan. Juga mereka selalu
memanjakan wanita yang dipacarinya dengan uang.
Malam mulai menampakkan kegelapannya. Dan rasa kantuk pun mulai
menghantui para pekemah itu. Mereka pun kembali ke tenda masing-masing. Dan
tidur sampai fajar menjelang.
***
Pagi pun datang dengan sinar mentari yang membuat gelapnya malam
hilang. Semua siswa siswi keluar dari tendanya. Selesai mengganti baju dan dan
sarapan pagi semua siswa siswi diminta berkumpul oleh Pak Kepala Sekolah.
“Acara pertama kita adalah jalan persahabatan.” ucap Pak Burhan.
“Jalan persahabatan?” tanya beberapa siswa heran.
“Jalan persahabatan akan dilakukan secara berkelompok. Satu kelompok
berisi sepuluh orang. Pembagian kelompok sudah dilakukan oleh panitia sebelum
berangkat kesini. Setiap kelompok akan mencari bendera sesuai warna
kelompoknya. Bendera setiap kelompok berjumlah lima buah. Rute jalan sudah
dipasang tanda panah. Kelompok yang terlebih dahulu sampai kemari itulah
pemenangnya. Bu Anita akan membacakan pembagian kelompoknya.” urai Pak Burhan.
Sekolah kurang kerjaan banget, sih? Emang kita anak SD harus ada
acara ginian? keluh Rendy.
Pembagian kelompok pun berakhir juga. Melani tidak satu kelompok
dengan teman-temannya. Walau begitu ia masih menikmati perjalanan yang
berlangsung. Dan perjalanan pun di mulai. Perjalanan menuju hutan yang makin
lebat dengan pepohonan.
Tiba-tiba tali sepatu Melani lepas. Ia pun segera menalikannya.
“Kita kerjain Melani, yuk!” bisik Nadia.
“Caranya?” tanya Zaskia.
Tiara memandang sekelilingnya, berpikir. Mencari sesuatu yang bisa
dijadikan untuk mengerjai Melani. Pandangannya terhenti ketika melihat tanda
panah jalan. Lalu ia pun tersenyum licik.
“Apa enggak terlalu keterlaluan?” ucap Zaskia.
“Loe kenapa sih, Zas? Loe salah makan, ya?” ledek Nadia.
“Gimana kalo dia nyasar di hutan?”
“Itu kan tujuan kita.” tambah Tiara.
“Tapi ini hutan, Ra. Pasti banyak binatang buas. Gimana kalo dia
dimakan binatang buas?”
“Loe mau keluar dari genk ini cuma buat belain Melani? Awas ya, kalo
loe sampe buka mulut tentang hal ini. Nasib loe bakal kayak Si Melani.” ancam
Tiara.
Zaskia menunduk takut.
Tiara pun memutar arah tanda panah rute jalannya. Dan ketiganya
segera bersembunyi di balik pohon besar yang tak jauh dari pertigaan itu.
Selesai menalikan tali sepatunya, Melani segera melanjutkan
perjalanan sesuai arah tenda. Melani berhasil mereka kerjai. Mereka segera
memutar kembali tanda panah rute jalannya. Dan segera mengikuti jejak
kelompoknya masing-masing.
Semakin lama berjalan Melani tidak menemukan tanda-tanda anggota
kelompoknya.
Melani mulai meneriakkan nama-nama anggota kelompoknya. “Kak
Reyhan…”—yang merupakan ketua regu kelompoknya.
“Mitha…”
“Kak Saraz…”
“Alif… Kalian dimana?” teriaknya terus menerus.
Melani mulai menyadari bahwa dirinya tersesat. “Aku dimana sekarang?
Kak Reyhan…”
Tiba-tiba ia mendengar suara berisik di balik semak belukar. “Hah!
Suara apa itu?” Melani segera berjalan mundur menjauhi semak belukar tersebut.
Dan tiba-tiba ia bertabrakan dengan sesuatu. “Aaaaa…” terikanya. Melani segera
membalikkan badannya dengan menutup mata.
“Loe lagi?”
Suara itu? Melani mulai membuka matanya.
“Rendy? Kamu lagi? Bosen aku liat muka kamu.”
“Gue lebih bosen liat muka loe mulu.” Rendy tak mau kalah. Rendy pun
pergi meninggalkan Melani.
“Mau kemana?” tanya Melani.
“Ya, mau balik ke perkemahan, lah.” jawab Rendy ketus.
“Ikut. Aku nyasar. Aku enggak tahu jalan pulang.”
“Ngerepotin banget, sih. Makanya jangan sok-sok’an itu camping.”
ledek Rendy. “Kalo mau ikut jangan deket-deket.”
“Emang siapa yang mau deket-deket sama kamu,”
***
Sementara di perkemahan terjadi kepanikan.
“Bu Claudya, Melani hilang.” ucap Reyhan berlari menghampiri Bu
Claudya.
“Mel hilang?” Lyla keheranan.
“Hilang? Kok bisa? Bukannya kalian satu kelompok, kenapa bisa
pisah?” tanya Bu Claudya heran.
“Kita juga enggak tahu, tahu-tahu Melani udah enggak ada di belakang
kita.” urai Reyhan.
“Bu, Rendy hilang.” teriak Evan.
“Rendy juga hilang?” Bu Claudya semakin heran.
“Apa? Rendy hilang?” teriak beberapa siswi histeris.
“Kita harus hubungi mereka.”
“Melani enggak bawa hpnya.” ucap Vania.
“Hpnya Rendy enggak bisa dihubungi. Disini enggak ada sinyal.”
tambah Bayu.
“Bu, kita harus cari Rendy.” usul Tiara.
“Mel juga harus kita temuin, Bu.” tambah Winda.
“Ya, kalian betul. Saya akan beri tahu guru-guru yang lain. Beberapa
siswa ikut Ibu. Siswi-siswi tunggu saja di perkemahan.”
“Tapi, Bu. Kita juga mau nyari Melani.” bantah Lyla.
“Aku juga harus pastiin Rendy enggak apa-apa.” Tiara menambahkan.
“Ibu enggak mau ambil risiko yang lebih besar lagi. Sekarang kalian
diam saja disini dan berdoa supaya Melani dan Rendy akan baik-baik saja dan
segera ditemukan.”
Mendengar ucapan Bu Claudya, Tiara dan beberapa siswi lainnya jadi
cemberut. Tapi harus bagaimana lagi, Bu Claudya juga ada benarnya. Lagipula ia
adalah guru BP yang terkenal sangat galak bila perintahnya diabaikan.
***
Lama mereka berjalan namun perkemahan belum terlihat juga. Melani
pun sudah menunjukkan wajah kalau dirinya sudah lelah berjalan.
“Kayaknya kita udah lewatin jalan ini tiga kali. Tapi perkemahan
belum juga ketemu.” keluh Melani.
“Ini semua gara-gara loe yang bawel ngomong mulu dari tadi.”
“Emang bener kok. Kita malah keliling-keliling di jalan ini bukannya
nemuin perkemahan. Aku udah cape. Kalo gini terus, sampe malem juga kita enggak
akan nemuin perkemahan. Aku enggak mau tidur di hutan gelap ini.”
“Iya gue tahu. Loe diem aja! Kita lanjutin perjalanannya.”
Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan baik
Melani maupun Rendy tidak ada yang mau menyumbang suara untuk memecah
keheningan.
Kini keduanya sampai di tepi sungai.
“Wah, sungainya keren! Airnya jernih banget. Beda jauh sama sungai di
Jakarta.” Melani segera berlari menuju tepi sungai untuk mencuci muka dan
meneguk airnya. “Seger!”
Rendy bejalan berlawanan arah dengan Melani. Ia melepas sepatu dan
kaus kakinya lalu merendam sebagian kakinya ke dalam air, membasuh wajahnya.
Dinginnya! Segar sekali! Baru saja ia ingin memejamkan mata, ia mendengar
sebuah teriakan.
“Rendy..…..” teriak Melani.
Rendy segera berlari ke arah Melani, dilihatnya ada seekor ular yang
melata ke arah Melani. Melani terlihat sangat ketakutan dan panik. Belum sempat
Melani melarikan diri, ular itu sudah mematuk pergelangan kaki Melani.
Rendy melempar ular itu dengan batu dan berhasil membuatnya pergi.
Dihampirinya Melani yang hampir tak sadarkan diri. Rendy langsung mengangkat
kaki Melani yang terpatuk ular tadi dan menghisapnya. Lalu ia merobek kausnya
dan menalikannya pada betis Melani.
“Mel. Loe harus kuat. Gue bakal bawa loe ke rumah sakit. Loe tahan,
loe sabar! Loe jangan pingsan dulu.” Rendy pun mengendong Melani.
Beruntung, Dewi Fortuna masih berpihak pada Melani dan Rendy.
Akhirnya guru-guru berhasil menemukan mereka. Walaupun pertemuan itu bukan
pertemuan yang diharapkan.
“Melani kenapa?” tanya Bu Kirani.
“Dia digigt ular, Bu. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.”
jawab Rendy.
“Digigit ular? Kok bisa?” tanya Winda khawatir.
“Enggak ada waktu buat penjelasan. Kita harus secepatnya bawa Melani
ke rumah sakit. Kalo terlambat nyawa Melani tak ada terselamatkan.” urai Rendy.
“Tapi kamu enggak apa-apa kan, Ren?” tanya Tiara perhatian.
Rendy tak menjawab. Ia pun segera menyusul beberapa guru yang
memboyong Melani menuju rumah sakit.
“Ren. Biar aja Melani diurusnya sama sekolah. Kamu juga kan masih
cape. Kamu ikut aku aja, biar aku yang ngurusin kamu.” Tiara mendekati Rendy.
“Gue enggak apa-apa. Dan gue enggak butuh bantuan loe.” jawab Rendy
ketus dan ia pun segera bergegas.
“Tuh kan, Ra!” ucap Zaskia setengah berbisik dengan wajah bersalah.
“Melani digigit uler gara-gara kita. Kalo aja kita enggak muterin tanda panah
rute jalan…”
“Bawel loe! Kalo sampe kita ketahuan dan itu gara-gara loe, liat
aja!” ancam Tiara.
“Loe enggak mau kan kita dikeluarin dari sekolah gara-gara masalah
ini. Sekarang kita pura-pura aja enggak pernah ngelakuin apa-apa. Dan jangan
bahas masalah ini lagi.”
***
Dokter keluar dari ruang UGD, seraya berkata, “Syukur, alhamdulilah.
Bisa yang terdapat pada tubuh Melani sudah dapat dikeluarkan. Dan ia pun sudah
melewati masa kritis. Itu semua tak lepas dari doa-doa yang kalian sumbangkan
pada Melani. Dan sekarang Melani sudah kami beri obat penenang, jadi untuk malam
ini ia akan tidur dengan nyenyak. Dan sekarang kami akan memindahkannnya ke kamar
rawat.”
“Apa boleh kami menemuinya?” tanya Bu Claudya.
“Oh, tentu. Tapi tidak boleh banyak-banyak. Kalau begitu saya
permisi dahulu.”
“Terima kasih banyak, Dok.”
“Sudah menjadi tanggung jawab kami.”
“Untuk sekarang, mari kita bergiliran menjenguk Melani. Setelah itu
beberapa guru kembali ke perkemahan. Dan sebagian lagi menunggui Melani disini
sampai keluarganya datang.” ujar Pak Burhan.
“Enggak apa, Pak. Biar saya saja yang menunggui Melani. Ibu Bapak
Guru kembali saja ke perkemahan.” usul Rendy.
“Kamu masih terlalu lelah setelah tersesat di hutan tadi?” sanggah
Bu Marni.
“Saya enggak apa-apa, Bu. Saya masih sanggup untuk menunggui Melani.
Lagipula ini salah saya juga. Andai saya tidak meniggalkan Melani sendirian,
mungkin Melani tidak akan digigit ular.”
“Tapi apa kata Ibu kamu nanti?”
“Ibu saya tak akan mempermasalahkan ini.”
“Ya, sudah. Terserah mau kamu saja,” Pak Burhan mengalah. “Tapi
disini harus mau ditemani oleh Bu Kirani. Supaya jika ada apa-apa, kamu tidak
sendiri.”
Rendy pun mengangguk setuju.
Rendy tak tidur ketika menunggui Melani. Meskipun kedua kelopak
matanya sangat ingin beristirahat namun Rendy berusaha keras menahannya. Ia
sangat-sangat merasa bersalah atas keadaan Melani. Sementar Bu Kirani yang
sangat lelah ketika mencari Melani dan Rendy sudah tertidur pulas di atas sofa.
Sampai akhirnya datang Andre dengan langkah terburu-buru.
“Apa yang terjadi dengan adik saya?” tanyanya.
“Kami betul-betul minta maaf. Ini diluar dugaan kami.” jawab Bu
Kirani gelagapan.
“Ini semua salah saya.” jawab Rendy.
Tinju Andre pun melayang dan membuat luka pada pelipis kiri Rendy.
“Sudah, Pak. Sudah. Ini bisa kita selesaikan secara baik-baik. Bapak
tidak perlu memakai emosi.” Bu Kirani menenangkan.
“Tidak perlu ada permusyawarahan lagi. Saya akan memindahkan Melani
ke sekolah lain.”
“Pak. Jangan ambil keputusan secepat itu. Kami mohon maafkan
keteledoran kami. Pihak sekolah akan menanggung semua biayanya.”
“Ini bukan masalah biaya, Bu. Ini menyangkut nyawa adik saya. Nyawa
tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apapun. Dan kesalahan ini tidak bisa
dimaafkan.”
“Tapi, Pak…”
“Sudahlah, Bu. Kita bicarakan ini nanti saja. Biarkan saya dan adik
saya berdua saja.”
Bu Kirani dan Rendy pun keluar. Tak lama kemudian datanglah Bu Sinta,
Mama Rendy. Ia pun segera memeluk anak sulungnnya itu.
“Rendy, kamu tidak apa-apa? Mama khawatir banget sama kamu.”
tanyanya khawatir. Secara kasat mata Bu Sinta melihat luka memar pada wajah
anaknya itu. “Kenapa wajah kamu bisa memar, Ren?”
“Bukan apa-apa.” jawab Rendy sedikit ketus.
“Bu, kami sangat-sangat mohon maaf. Maafkan atas kecerobohan kami.”
ucap Bu Kirani.
“Kalian sudah bosan bekerja? Kalian ingin saya pecat? Bagaimana
kalau Rendy yang digigit ular? Apa kalian mau tanggung jawab? Kalian ceroboh
sekali.”
“Sudahlah. Jangan perpanjang lagi masalah ini!”
“Tapi, Rendy. Kecerobohan ini sudah keterlaluan. Kalau kamu yang
jadi korban bagaimana?”
“Aku bilang, udah.”
“Ya, sudah. Kita pulang, ya?” Rendy menurut saja apa kata Ibunya. Keduanya
kembali ke Jakarta malam itu juga. Rendy sendiri tidak sempat pamit pada
Melani.
***
Akhirnya Melani pun terbangun dari tidurnya semalam.
“Rendy mana?” tanyanya.
“Rendy? Kenapa Rendy yang kamu tanyain pertama kali?” Andre balik
bertanya.
“Kak Andre? Kok ada disini?”
“Kamu enggak seneng Kakak ada disini? Kamu mau Rendy yang nungguin
kamu?”
“Bukan gitu maksud Mel. Kakak pasti udah tahu Mel tersesat dihutan
bareng Rendy. Mel cuma mau tahu aja, gimana kabar Rendy sekarang? Kok dia enggak
ada disini? Apa dia dirawat juga?” tanya Melani tak henti-hentinya.
“Kayak Polisi aja nanyanya panjang lebar.” ledek Andre.
“Mel serius, Kak.”
“Sebenernya sebelum Kakak dateng kesini, dia yang nungguin kamu. Pas
Kakak dateng, kebetulan Ibunya jemput. Kenapa kamu malah peduli sama orang yang
udah bikin kamu celaka?”
“Ini bukan salah Rendy juga, kok.”
“Terus salah siapa?”
“Ya, enggak ada yang salah.”
“Makanya nurut apa kata Kakak. Kalo kamu enggak ikut camping, kamu enggak
akan digigit uler. Ngeyel, sih. Gimana kalo kamu telat ditolong?”
“Kalo Mel telat ditolong, enggak mungkin detik ini Mel ada di
hadapan Kakak.”
“Kamu pindah sekolah, ya?”
“Kenapa?”
“Kakak enggak mau adik Kakak ini masuk rumah sakit lagi gara-gara
kecerobohan sekolah kamu.”
“Ini semua enggak cuma gara-gara keteledoran sekolah aja, tapi Mel
juga. Lagipula belum tentu Mel bisa nemuin sahabat kayak Lyla, Vania, Winda di
sekolah lain. Jangan pindah sekolah, ya?”
“Asal kamu janji bisa jaga diri dan nurut apa kata Kakak.”
“Janji!”
Ditengah perbincangan keduanya datanglah seorang suster dengan
semangkuk bubur untuk sarapan Melani. Tak lupa juga seperangkat obat yang
tersusun rapi di sampingnya.
“Mbak, sarapannya!”
“Simpen aja di meja!” jawab Melani.
Suster pun meninggalkan ruang rawat Melani.
“Ayo sarapan dulu! Biar Kakak suapin.” rayu Andre.
“Enggak mau, ah. Kata orang makanan rumah sakit enggak enak.”
“Pindah sekolah, ya?”
“Ah, Kakak.” Melani pun mengalah kepada Kakaknya. Dengan terpaksa
Melani menghabiskan semangkuk bubur yang Andre jejalkan pada lambungnya.
Sesekali Melani meminta berhenti makan sebelum buburnya habis. Tapi setiap kali
Melani berkata demikian, Andre selalu mengancamnya untuk pindah sekolah.
Siangnya Lyla, Vania dan Winda datang menjenguk. Ketiganya segera
memeluk sahabat mereka yang tengah tergeletak tak berdaya di atas kasur rumah
sakit.
“Aduh kasian temen kita ini. Mau liburan, malah masuk rumah sakit.”
ucap Winda.
“Kakak keluar dulu, ya!” Andre pun meninggalkan Melani bersama
sahabat-sahabatnya.
“Maaf ya, kita enggak bawa apa-apa kesini. Kita langsung dari
perkemahan jadi enggak bisa beli apa-apa di jalan.” ucap Lyla.
“Yah. Padahal aku ngarep banget ada yang bawa makanan buat aku
kesini. Makanan rumah sakit enggak enak.”
“Tadinya kita cuma basa-basi doang, kok.” tambah Lyla.
“Ada salam dari temen yang lain. Mereka enggak dibolehin Pak Burhan
buat dateng kesini. Setelah beres-beres buat pulang mereka bakal nengokin
kamu.” ucap Vania.
“Kok kemahnya selesai?”
“Ya, enggak enak aja kali. Kita seneng-seneng kemah sementara kamu
terbaring di rumah sakit gara-gara perkemahan itu.” tambah Winda.
“Aku enggak akan apa-apa, kok.”
“Tapi kita yang apa-apa. Masak kamu sakit kita malah seneng-seneng? Enggak
solider dong?” ucap Lyla.
“Maaf ya. Aku udah buat kemahnnya berantakan.”
“Malah yang harusnya minta maaf itu kita. Kita enggak jagain kamu
selama camping.” ucap Vania.
“Tapi aku cemburu sama kamu,” ucap Lyla tiba-tiba.
“Cemburu kenapa? Kamu juga mau nginep di rumah sakit?” jawab Melani
dengan nada bercanda.
“Kenapa harus kamu yang tersesat bareng Kak Rendy. Kalo gitu mah aku
juga mau nyasar di hutan.”
“La, aku enggak ada niat buat tersesat bareng Rendy, kok. Mana mau
sih aku nyasar di hutan? Apalagi sama cowok jutek pujaan kamu itu.”
“Aku cuma bercanda kok,” Ketiganya pun bergantian memeluk Melani.
***
Rendy Ulang Tahun
Akhirnya liburan sekolah berakhir juga. Rutinitas sebagai pelajar
harus siswa siswi lakoni kembali. Walau malas namun inilah risiko sebagai
pelajar. Liburan selama dua minggu serasa kurang. Mungkin mereka ingin libur
selamanya dari kegiatan belajar mengajar.
Tubuh Melani sudah seratus persen terbebas dari bisa ular. Ia juga
sudah keluar dari rumah sakit lima hari sebelum masuk sekolah. Sebenaranya
dokter menyarankan Melani menginap di rumah sakit dua sampai tiga hari lagi.
Namun Melani mengotot ingin pulang. Ya, bagaimana lagi. Terpaksa dokter
mengijinkan Melani untuk pulang.
Sahabat-sahabat Melani sudah menunggu kedatangan Melani sejak pagi. Dan
ketika Melani sampai di sekolah ketiganya segera menyerbu Melani dan
memelukanya erat.
“Kalian kenapa?” tanya Melani heran.
“Kita kangen sama kamu.”
Tiba-tiba datanglah Rendy bersama teman-temannya. Lyla, Vania,
Winda, dan Melani pun sejenak berhenti berpelukan.
“Gimana keadaan loe?” tanya Rendy ketus.
“Aku udah baikan, kok.” jawab Melani lebih ketus. Setelah mendengar
jawaban Melani, Rendy bersama teman-temannya pun pergi. Dasar jutek! Kalo enggak
niat nanyain mah mending enggak usah.
Melani melihat teman-temannya yang sudah berubah seratus delapan
puluh derajat. “Kalian kenapa?” tanyanya keheranan.
“Kak Evan cool banget.” ucap Vania.
“Kak Bayu keren abis.” ucap Winda tak kalah hebohnya.
“Kak Rendy is so perfect.” Lyla juga tak kalah gilanya.
“Aduh, Guys! Sadar, dong!” seru Melani.
Melani merangkul ketiga temannya, seraya berkata, “Kita ke kamar
mandi aja! Bakal aku cuci otak kalian semua. Biar enggak terus mikirin Rendy
cs.”
Pulang sekolah, Melani diminta bertemu Kepala Sekolah di ruang
rapat. Sesampainya disana, bukan hanya Pak Burhan yang ada, beberapa guru pun
sudah hadir disana. Membuat Melani merasa terkejut dan terheran-heran. Apa
kesalahan yang telah ia perbuat sampai harus disidang oleh banyak guru?
“Selamat siang!” ucapnya gugup.
“Silahkan duduk Melani!” ucap Bu Claudya.
“Terima kasih!” ucapnya semakin gugup.
“Tak usah gugup Melani,” ucap Bu Kirani. “Disini kami bukan untuk
menyidang kamu. Kami hanya ingin mengorek beberapa keterangan dari kamu.”
“Keterangan mengenai apa ya, Bu?” tanya Melani keheranan.
“Ya, mengenai tersesatnya kamu di hutan tempo hari.”
“Sebelumnya saya minta maaf. Saya sudah melupakan masalah ini. Saya
tidak mau mengungkit-ngungkitnya kembali. Bagi saya itu hanya sebuah kecelakaan
saja.”
“Bukan begitu maksud kami. Kami hanya mencium sebuah kejanggalan
dari kejadian ini. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyelakakan kamu.”
ucap Pak Ardi.
“Sengaja bagaimana maksudnya?” tanya Melani tak mengerti.
“Menurut pendapat beberapa guru, ada yang sengaja membuat kamu
tersesat.” tambah Bu Mira.
“Coba kamu jelaskan bagaimana bisa kamu tersesat di hutan!” perintah
Pak Burhan.
“Kejadiannya ketika acara jalan persahabatan. Saya dan teman-teman
satu kelompok mengikuti rute jalan. Di tengah jalan, tali sepatu saya lepas.
Dan saya menalikannya. Selesai menalikan tali sepatu saya melanjutkan perjalanan.
Lama saya berjalan, saya tidak menemukan kelompok saya. Saya meneriakkan
nama-nama siswa yang termasuk kelompok saya. Namun tak seorang pun yang
menjawab. Tak lama kemudian saya bertemu dengan Rendy. Kami bekerja sama untuk
mencari pekemahan…,”
“Cukup. Cukup!” ujar Pak Burhan. “Silahkan ada yang ingin bertanya
sebelum Melani melanjutkan ceritanya!”
“Seingat saya, rute jalan kelompok Melani ada satu pertigaan. Di
pertigaan itu kamu ambil jalan mana?” tanya Pak Sakti.
“Saya ambil yang kiri.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Saya yakin.”
“Dan saya juga sangat yakin. Saya memasang tanda panah rute jalan
itu ke kanan. Dan setelah kejadian Melani tersesat, saya lihat tanda panah rute
jalan itu masih menunjuk ke arah kanan.” tambah Pak Sakti.
“Sudah jelas. Ada yang sengaja menjebak Melani.” Pak Burhan
mengambil kesimpulan. “Sekarang kita mencari siapa saja siswa yang tidak ada
bersama kelompoknya pada waktu yang sama.”
“Sudahlah, Pak. Saya juga sudah tak mau ungkit-ungkit masalah itu.
Yang lalu biarlah berlalu. Saya tak mau mempermasalahkannya kembali.”
“Bukan masalah kamu sudah tidak mau ungkit-ungkit masalah ini kembali.
Tapi ini adalah tindak kriminal. Bisa saja karna masalah ini kamu kehilangan
nyawa.” bantah Bu Kirani.
“Betul apa kata Bu Kirani. Kita harus selesaikan masalah ini sampai
tuntas.” tambah Bu Claudya.
“Sebelumnya, apakah mau memiliki musuh atau ada orang yang tidak
menyukai kamu?” tanya Pak Ardi.
“Saya rasa tidak.” Tentu saja Melani berbohong. Ia sangat tahu bahwa
Tiara bersama kawan-kawannya sangat tidak menyenangi dirinya. Dan kalaupun ia
mengatakan itu kepada pihak sekolah, mereka akan mengadili Tiara dan
kawan-kawan. Namun untuk urusan itu ia tidak mau berburuk sangka. Lebih baik ia
mengatakan tidak.
“Baiklah. Kalau begitu, kita cari informasi mengenai siswa-siswi
yang tidak bersama kelompoknya pada waktu Melani tersesat.” perintah Pak
Burhan.
“Baik, Pak!” ucap seluruh guru serentak.
Melani tak bisa berkomentar apa-apa lagi. Ia pun tak diminta suara.
Meskipun ia sudah berusaha membantah, namun bantahannya ditolak
mentah-mentah. Ia pun hanya bisa
mengangguk-ngangguk setuju.
Setelah satu minggu proses penyidikan, akhirnya penelusuran
menemukan titik terang. Seorang siswi yang awalnya hanya sekedar dicurigai.
Sekarang sudah divonis menjadi tersangka. Semua bukti tertuju padanya. Pada
saat Melani tesesat, ia juga tak bersama kelompoknya. Ia juga tidak begitu
memiliki hubungan yang baik dengan Melani. Dia adalah Evita.
Evita tidak pernah mau mengaku bahwa dirinyalah penyebab Melani
tersesat. Karna memang bukan dirinya yang melakukan itu semua. Awalnya pihak
sekolah bertindak halus padanya, namun karna ia tetap tidak mau mengaku
akhirnya ia pun harus dikeluarkan dari sekolah.
Melani sendiri tidak percaya bahwa Evita yang melakukan itu semua.
Ia terus berusaha agar Evita tidak dikeluarkan dari sekolah. Namun ucapannya
tidak pernah digubris pihak sekolah. “Keputusan tidak dapat diganggu gugat.
Kecuali jika kamu memiliki bukti bahwa bukan Evita pelakunya.” ucap Pak Burhan.
Disisi lain Tiara dan kawan-kawannya bisa bernapas lega. Karna pihak
sekolah sudah menemukan tersangka. Bukan karna mereka senang pelaku yang
menyebabkan Melani tersesat di hutan sudah ditemukan. Melainkan mereka sudah
tidak perlu was-was kembali, mereka dicurigai.
“Akhirnya gue bisa bernapas lega. Kita enggak perlu takut dicurigai
lagi.” ucap Tiara.
“Sebelum sekolah nemuin tersangka palsu, tiap malem gue enggak bisa
tidur.” tambah Nadia. “Apalagi waktu kemaren kita disidang. Gue gugup banget.”
“Semua urusan selesai. Kita bisa bernapas lega kembali.”
“Tapi yang enggak lega sekarang adalah gue.” ucap Zaskia yang
mengagetkan kedua temannya.
“Maksud loe?”
“Kita semua tahu, Evita sama sekali enggak salah. Kenapa harus dia
yang nanggung? Kita yang salah. Harusnya kita yang tanggung jawab, bukan orang
lain.”
“Jangan mulai lagi deh, Zas. Loe mau kita yang dikeluarin dari
sekolah?”
“Tapi…”
“Awas, kalo loe sampe buka mulut!” ancam Tiara.
Untuk kesekian kalinya Zaskia hanya tertunduk mendengar ancaman
Tiara. Ia belum mempunyai keberanian untuk membongkar kesalahannya sendiri juga
kedua sahabatnya. Ia hanya mampu mengucapkan kata maaf untuk Evita dalam
hatinya.
Seisi sekolah gencar membicarakan Evita. Menjelek-jelekkan Evita.
Dan setiap kali Melani mendengar hal tersebut. Si Pemilik mulut langsung jontor
kena tinju Melani. Ia sangat tidak suka mendengar Evita dijelek-jelekkan.
“Silahkan kalian menjelek-jelekkan Evita! Tapi… hanya diantara
kalian yang tidak pernah membuat kesalahan. Silahkan bagi orang tersebut
berteriak-teriak menghina Evita.”
Seketika seisi kantin hening.
“Kenapa diem? Merasa penuh dosa? Kalian semua pengecut! Setiap orang
pasti pernah melakukan kesalahan. Enggak ada manusia yang enggak pernah
melakukan kesalahan. Kayak kalian enggak pernah buat salah aja? Gue aja biasa
aja. Kenapa kalian yang sewot?” Melani pun menyeruak kerumunan dan pergi
meninggalkan kantin.
***
Suatu ketika pesuruh sekolah menempel sebuah poster merah hati besar
pada mading SMA Pertiwi. Segera saja seluruh siswa maupun siswi berbondong-bondong
menghampiri mading.
Sabtu, 17 Januari 2010
Rendy akan merayakan ulang
tahunnya yang ke-18
Tempat : Café Alunnaria
Waktu : 19:00 – selesai
Tamu diwajibkan membawa
kartu undangan.
Kartu undangan tersedia
pada saudara Evan.
Segera dapatkan! Kartu
undangan terbatas.
“Wah, Kak Rendy ulang tahun! Gue harus dateng.” ucap salah seorang
siswi dari kerumunan itu.
Setelah membaca poster tersebut, semua siswa siswi
berbondong-bondong menemui Evan. Ada beberapa siswa siswi yang tidak mendapatkan
kartu undangan. Mereka pun kembali dengan wajah muram.
Ketiga teman Melani pun ikut mengantri. Setelah mendapatkan apa yang
mereka inginkan, mereka segera menghampiri Melani yang tengah duduk santai
menyantap bakso di kantin.
“Sudah aku tebak, kamu pasti enggak akan ikut ke acara ulang
tahunnya Kak Rendy.” ucap Winda.
“Emangnya kenapa kalo aku enggak ikut? Acara bakal terus berlangsung
tanpa aku.”
“Jawabnya itu lagi. Udah sering kita dateng ke acara-acara ultah
tanpa kamu. Kali itu kamu ikut, dong. Enggak asyik pergi tanpa kamu.” Lyla pun
ikut menambahkan.
“Beneran. Aku enggak apa-apa, kok. Kalian pergi aja.”
“Tenang aja. Kamu bakal ikut ke pestanya Kak Rendy.” ucap Vania
tiba-tiba.
“Aku kan enggak punya kartu undangannya.”
“Siapa bilang?” Vania mengeluarkan dua buah kartu undangan ulang tahun
Rendy dari dalam sakunya.
“Kok kamu bisa dapet dua?” tanya Winda penasaran.
Vania mulai menceritakan awal mula bagaimana ia bisa mendapatkan dua
buah kartu undangan. Dengan semangat ia memulai ceritanya.
“Kamu Vania, ya?” tanya Evan dengan nada merayu.
“Kok Kakak bisa tahu, sih?”
“Siapa sih yang enggak kenal sama cewek secantik kamu?” gombalnya
kumat lagi. Ternyata Evan memang sudah tahu dari dulu kalau Vania menyukainya.
“Ah, Kakak bisa aja.”
“Ini kartu undangannya. Jangan lupa dateng, ya! Dandan yang cantik.”
“Kak, boleh minta satu lagi enggak?” Vania mencoba merayu. “Temen
aku lagi ada di toilet. Dia suruh aku mintain kartu undangannya. Boleh, kan?”
“Apa sih yang enggak buat kamu.” Evan memberi Vania satu lagi kartu
undangan.
“Makasih ya, Kak!”
“Nah, gitu ceritanya!” tungkas Vania mengakhiri ceritanya.
“Aku enggak punya gaun.” ucap Melani.
“Ya, ampun. Gitu aja dipikirin. Kita tinggal beli aja di butik Mama
aku.”
“Aku juga enggak bisa dandan.”
“Kalo itu mah serahin aja semuanya sama salon langanan Mama aku.”
Winda menambahkan.
“Semuanya beres, kan? Apa lagi alasan kamu? Kak Andre?” ucap Lyla.
“Kalo itu mah, masak dia enggak izinin kamu pergi. Cuma acara ulang tahun
doang, kok.”
Melani tidak bisa membantah lagi. Ia pun menyetujuinya.
“Acaranya kan besok. Pulang sekolah, kita pulang dulu ke rumah
masing-masing. Terus kumpul di rumah aku. Dari rumah aku kita pergi ke butik.
Terus pergi ke salon. Dan terakhir kita pergi ke pesta Kak Rendy.” urai Lyla
penuh semangat.
“Kamu mau ke acara ulang tahunnya Kak Rendy juga?” sapa seorang
siswa kepada Lyla yang tiba-tiba datang tanpa mereka sadari.
“Iya. Emangnya kenapa gitu?” jawab Lyla ketus. “Kamu Donny, kan?”
“Mau enggak perginya bareng aku?”
“Mau, kok.” jawab Winda meledek.
“Hust! Diem, deh.” ucap Lyla agak marah. “Enggak, makasih! Aku udah janji
pergi sama temen-temen aku.”
“Oh, ya udah. Enggak apa-apa, kok.” Donny pun pergi meninggalkan
Lyla dan ketiga temannya dengan wajah agak murung.
“Kok enggak diterima aja, sih?” tanya Melani setelah Donny pergi.
“Kita bisa kok pergi bertiga tanpa kamu.” ucap Winda.
“Oh, jadi kalian enggak mau pergi bareng aku?” Lyla jadi marah.
“Ya, bukan gitu juga. Kasian aja. Dia udah ngajak kamu, tapi
ditolak. Mukanya murung banget pas kamu tolak ajakan dia.” ujar Vania
menambahkan.
“Kita kan udah janji mau pergi bareng, masak dibatalin gitu aja?
Males juga kalo aku harus pergi bareng cowok cupu itu.”
“Ya, udah deh. Kita lupain ajakannya Donny. Sekarang kita lanjutin
aja rencana buat besok.” ujar Winda melerai perdebatan.
Semua rencana Lyla sudah mereka laksanakan. Kini mereka berempat
laksana Putri dunia dongeng. Mereka berempat sudah berdandan cantik dan memakai
gaun terbaik pilihan mereka. Lyla dengan gaun berwarna merah jambunya. Vania dengan
gaun berwarna hijau. Dan Winda dengan gaun berwarna putih.
Melani sendiri memakai gaun berwarna kuning. Ia berdiri di depan
sebuah cermin. Ia tidak mempercayai seseorang yang tengah berkaca itu adalah
dirinya. Dirinya yang begitu berbeda.
“Apa bener ini aku?” tanyanya tak percaya.
“Kamu liat sendiri, kan? Kamu itu cantik, Mel. Asal kamu mau dandan
aja.” puji Winda.
“Kamu akan jadi cinderella di pesta nanti.” Lyla juga memuji
penampilan Melani.
“Ayo, kita berangkat sekarang! Udah jam tujuh, nih.” seru Lyla.
“Tungguin aku dong!” seru Melani pada ketiga temannya. Ia nampak
kesulitan berjalan emakai sepatu hak tinggi. Beberapa kali ia hendak terjatuh.
Maklumlah, ini adalah kali pertama ia memakai sepatu hak tinggi. Biasanya kalau
tidak memakai sepatu, ia memakai sandal. Lyla, Vania, dan Winda pun melangkah
mundur menghampiri Melani.
“Ada apa, Mel?” tanya Winda.
“Aku susah jalan pake sepatu ini. Bisa pake sepatu yang lain?”
“Enggak bisa, Mel. Baju kamu udah cocok sama sepatunya. Kamu juga
bagus pake sepatu itu. Kamu belajar dong pake sepatu hak tinggi, biar nanti
kalo pake lagi jadi biasa.” urai Lyla.
“Tapi lama-lama pake sepatu ini, bisa-bisa kaki aku lecet.”
“Enggak lama kok, Mel. Ya udah, kita jalan sekarang, yuk!”
“Tapi jalannya pelan-pelan, ya?”
“Iya.”
Mereka berempat segera meluncur menuju tempat dimana acara ulang
tahun Rendy diadakan dengan mobil Vania.
***
Sampailah di Café Alunnaria. Mereka berempat segera masuk ke dalam.
Melani takjub dengan dekorasi yang menghiasi setiap sudut ruangan. Baru kali
ini ia datang ke pesta ulang tahun. Andre selalu melarangnya jika ada acara
lebih dari jam enam sore. Namun kali ini Andre mengizinkannya. Mungkin karna
Melani sudah dewasa, sudah bisa menjaga dirinya sendiri.
Rendy dan teman-temannya belum ada di tengah-tengah acara. Lyla,
Vania, Winda, dan Melani pun mencari menikmati hidangan yang ada sambil
menunggu acara dimulai. Namun Melani malah asyik sendiri. Ia belum pernah
melihat makanan sebanyak ini. Agar tidak kecewa akhirnya ia pun berusaha
menjejalkan makanan yang ada ke dalam lambungnya.
Tak lama mereka menunggu, akhirnya pembawa acara pun mulai membuka
acara. “Waw, tamu undangannya banyak sekali! Maaf telah membuat para hadirin
menunggu lama. Ya udah, kita langsung aja panggil Rendy.” Semua tamu undangan
bertepuk tangan dan Rendy pun naik ke atas panggung diikuti Bayu dan Evan.
“Kalian tentu tahu hari ini adalah hari paling indah untuk teman
kita, Rendy. Hari ini kita akan sama-sama merayakan hari jadi Rendy yang
kedelapanbelas. Sudah tua juga, ya! Mari kita doakan bersama yang terbaik untuk
Rendy.”
“Amin” ucap seluruh tamu undangan serentak.
“Dan daripada kita nunggu-nunggu lagi, mari kita mulai acaranya!
Mari kita bersama menyanyikan lagu happy birthday untuk Rendy!”
Happy birthday to you
Happy birthday to you
Happy birthday happy
birthday
Happy birthday Rendy
Tiup lilinnya, tiup
lilinnya
Tiup lilinnya sekarang juga
Sekarang juga, sekarang
juga
“Sekarang tiup lilinnya! Tapi sebelumnya make a wish dulu!” Api
lilin pun padam, semua tamu undangan bertepuk tangan dengan meriah.
“Dan yang terakhir potong kuenya. Seperti biasa, berikan kepada
seseorang yang special diantara tamu undangan disini.” Dan sepotong kue sudah
ada di tangan Rendy. Pembawa Acara memberikan microfon kepada Rendy.
“Pertama-tama, saya ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh tamu
undangan yang sudah berkenan menghadiri acara ulang tahun saya yang kedelapanbelas.
Dengan bertambahnya umur yang semakin tua, saya berharap saya bisa semakin
dewasa. Dan kue pertama ini akan saya berikan kepada…”
Tiara sudah kePDan bahwa kue pertama Rendy akan diberikan kepadanya.
“Sahabat-sahabat saya yang selama ini sudah menemani saya. Mereka
sudah mau menerima saya apa adanya. Mau menerima segala kekurangan saya selama
ini. Makasih kalian udah mau jadi temen gue!” Kue yang ada di tangannya ia
berikan kepada Evan dan Bayu.
“Ucapan loe sangat mengharukan. Gue ampir mau nangis.”
“Terlalu berlebihan, Van.”
“Acara inti sudah sama-sama kita saksikan. Mari kita nikmati
hidangan yang sudah disiapkan. Dan mari kita sama-sama saksikan penampilan dari
Bayu.”
Beberapa tamu ungangan ada yang duduk kembali ke tempat
masing-masing, menikmati hidangan yang ada, berdansa, dan ada juga yang terhanyut
oleh alunan lagu yang dinyanyikan Bayu.
Sementara Melani yang sudah tak kuat menahan pipis sebelum acara di
mulai tengah mencari-cari kamar mandi. Lama berkeliling, akhirnya ia menemukan
juga kamar mandi. Setelah melepas bebannya, kini ia kesulitan mencari ketiga
temannya.
Sebelum masuk ke dalam café, ia melihat seorang Ibu paruh baya duduk
sendirian di depan café. Wajahnya pun nampak sedih. Melani pun menghampirinya.
“Ibu tamu undangan juga, ya?” sapanya. “Kok enggak masuk, sih? Di
luar dingin. Nanti Ibu masuk angin, lho. Saya temani masuk, yuk!”
“Saya ingin di luar saja.” ucapnya parau.
“Ya, sudah. Kalo Ibu maunya gitu, biar saya temani. Perkenalkan nama
saya Melani.”
“Melani. Boleh saya minta tolong?”
“Selagi saya bisa. Kenapa enggak?”
“Tolong berikan kado ini kepada Rendy!” Ibu itu pun pergi
meniggalkan kadonya pada Melani.
“Maaf, Ibu siapa?” teriak Melani.
Ibu itu tidak menjawab. Ia masuk ke dalam mobil silvernya dan segera
melaju.
Melani pun kembali ke dalam café dan mencari-cari Rendy. Akhirnya
batang hidung Rendy merlihat juga. Dengan langkah cepat Melani menghampiri
Rendy yang tengah sendirian meneguk segelas sirup di samping pangung.
Ketika Rendy melihat Melani, ia sangat takjub melihat Melani yang
nampaknya begitu cantik. Sampai-sampai gelas yang berada ditangannya hampir
jatuh. Namun ia tidak ingin terlihat takjub melihat penampilan Melani yang
sangat cantik dan berbeda dari biasanya itu di hadapan Melani, ia berusaha
menahan dirinya. Gengsi.
“Siapa loe?” ucapan sambutan Rendy kepada Melani.
“Maksud kamu apa? Aku Melani.”
“Malam ini loe beda,” ucap Rendy pelan seperti bicara sendiri.
“—cantik,”
“Apa?”
“Enggak.”
“Oh iya! Ini ada kado buat kamu,” Melani menyerahkan kado yang ia
terima dari Ibu paruh baya tadi. “Kado ini dari Ibu-ibu yang tadi duduk diluar.
Tapi sekarang dia udah pergi. Mungkin kamu enggak sempet liat.”
“Siapa?” tanya Rendy penasaran.
“Aku enggak tahu. Pas aku mau tanya namanya dia keburu pergi.”
Rendy segera membukanya. Didalamnya terdapat sebuah lukisan yang sangat
indah. Lukisan yang dibuat ketika ia berlibur ke sebuah desa. Dan liburan itu
merupakan liburan terakhirnya bersama Papanya—bersama keluarganya.
Selamat ulang tahun.
Semoga di ulang tahunmu
kini kamu semakin dewasa. Dan semua keinginan kamu dapat tercapai.
Maaf, Mama enggak bisa
menghadiri ulang tahun kamu kali ini. Semoga kado ini bisa mewakili kehadiran
Mama malam ini. Mama harap kamu suka dengan kado ini.
Mama sayang kamu.
Mama
Rendy meremas suratnya dan melemparkan kadonya dengan sangat keras
ke lantai. Lukisan itu pun terlempar jauh. Melani sangat terkejut dengan apa
yang dilakukan oleh Rendy. Ia pun segera memungut lukisan tersebut dan
meletakkannya di dalam bungkusnya semula.
“Kamu kenapa?” tanya Melani heran sedikit marah.
“Buang benda itu!” bentak Rendy.
“Kamu enggak ngehargain banget pemberian orang, ya! Ibu itu udah kasih
kamu barang yang bagus ini. Malah kamu mau buang. Kamu kenapa sih, Ren?”
“Gue minta tolong sama loe. Tolong buang benda itu!” Rendy pun
meninggalkan Melani.
Melani hanya tertegun melihat apa yang baru saja dilakukan Rendy.
Apa yang salah dari benda ini? Atau Rendy marah pada pengirimnya? Tapi siapa
orangnya? Pikirnya berulang-ulang. Dan kado itu ia letakkan bersama kado-kado
Rendy yang lainnya. Ia tidak tega membuang benda bagus pemberian ibu paruh baya
yang nampaknya sangat ingin kadonya diberikan kepada Rendy.
Selekas itu ia segera mencari ketiga temannya. Ia pun menemukan
ketiga temannya di tempat duduk yang mereka duduki ketika pertama datang, ia
segera menghampiri ketiga temannya itu.
“Lama banget sih di toiletnya?” keluh Winda.
“Ngapain aja, sih?”
“Toiletnya penuh.”
“Tahu enggak Mel, tadi aku diajak dansa sama Kak Evan.” ucap Vania.
“Asyik, dong! Sayang aku enggak liat.” ucap Melani.
“Tadi juga aku diajak nyani bareng sama Kak Bayu.”
“Kalian telat ngasih tahunya,”
“Kita pulang aja, yuk!” ajak Lyla. “Udah malem banget, nih. Nanti
kamu dimarahin Kak Andre lagi.”
“Bukannya kamu belum ngucapin selamat ulang tahun sama Kak Rendy?”
“Enggak jadi, deh. Aku liat, Kak Rendy sibuk banget. Mungkin besok
aja.”
“Ya udah, kita pulang aja sekarang.”
Mereka berempat pun pulang.
Melani masih memikirkan Rendy yang menghancurkan kado dari ibu parus
baya tadi. Ia tak tahu kenapa Rendy bisa melakukan itu semua. Rendy terlihat sangat
marah setelah membaca suratnya. Siapa pemberi kado itu? Melani sangat
penasaran. Ia terus penasaran. Di dalam mobil pun ia tidak terlalu banyak
bicara seperti biasanya.
“Mel, gimana kaki kamu? Lecet?”
“Oh, iya. Eh, iya. Bagus banget lho.”
“Kamu kenapa, Mel? Aku tanya apa, kamu jawab apa.”
“Kamu sakit?”
“Enggak. Aku enggak apa-apa, kok. Tadi kamu tanya apa, La?”
“Kaki kamu lecet, enggak?”
“Oh, itu. Iya nih, sedikit lecet.”
“Kamu beneran enggak apa-apa, Mel?”
“Beneran aku enggak apa-apa. Aku baik-baik aja, kok.”
***
Seisi sekolah gempar. Pernyataan Zaskia di depan Pak Kepala Sekolah
yang mengatakan bahwa dirinya juga kedua temannya—Tiara dan Nadia—adalah yang
telah menyebabkan Melani tersesat di hutan telah membuatnya menjadi buah bibir
satu sekolah. Tiara dan Nadia dikeluarkan dari sekolah karna tetap tidak mau
mengaku dan tidak jujur sejak awal. Berbeda dengan hukuman yang dilakoni
Zaskia, ia hanya diskors selama satu bulan. Sama sekali ia tidak keberatan
dengan hukuman yang dilimpahkan padanya. Justru hukuman ini terlampau ringan,
pikirnya.
“Kak Zaskia enggak perlu ngelakuin semua itu. Kasihan Kak Tiara dan
Kak Nadia, mereka harus dikeluarin dari sekolah. Kakak juga harus diskors.”
“Setiap perbuatan yang kita lakukan, kita sendiri yang harus
menanggung akibatnya,” ucap Zaskia bijak. “Gue jadi malu sama loe. Loe masih
merasa iba sama orang yang udah nyelakain loe. Harusnya gue bilang Pak Kepsek
sejak awal. Jadi enggak ada yang jadi tumbal.”
“Kakak tenang aja. Kata Pak Kepsek, Evita akan kembali ke sekolah,
kok.”
“Syukurlah. Jadi gue masih punya kesempatan buat minta maaf sama
dia.”
“Tapi gimana dengan Kak Tiara dan Kak Nadia?”
“Mereka udah enggak mau bicara lagi sama gue. Liat muka gue aja
mereka udah enggak mau.”
“Yang sabar aja ya, Kak.”
“Makasih ya, Mel.”
***
Posting Komentar untuk "Cerita Melani dan Rendy II"