Cerita Melani dan Rendy I
Kakak Kelas Jutek
BRUKKK…
“Aw…” Sesosok tubuh terjatuh dari tempat tidur. Seorang gadis
berusia 15 tahun yang memiliki tinggi 160 cm. Berambut panjang, bertubuh
langsung, dan berkaki jenjang.
Melani bangun terlambat pada hari terpenting dalam hidupnya. Hari
tepat dimana ia menginjakkan kaki di sekolah barunya, SMA Pertiwi. Jam sudah menunjukkan
pukul 07:05. Sementara sekolah menyuruhnya datang pukul 06:30. Ini karena ia
habis begadang untuk menonton film Harry Potter—film favoritnya—yang jarang
sekali muncul di layar kaca. Oleh karenanya, ia rela tak tidur untuk menonton
Harry Potter. Ia tidak memikirkan bahwa besok paginya ia harus datang ke
sekolah pagi-pagi sekali.
“Kak, ayo kita berangkat sekarang! Mel udah telat, nih.” seru Melani
yang tak berhenti melihat jam tangannya.
“Iya, ini juga Kakak udah beres,” seru Kakaknya dari dapur.
“Emangnya kamu enggak akan sarapan dulu?”
“Mel udah telat,” jawab Melani yang langsung melesat meninggalkan
dapur. “Mana sempet buat sarapan. Makanya Kakak cepet dong sarapannya.”
Andre pun bergegas menyusul Melani yang sudah siap untuk berangkat.
Di rumah yang sederhana itu—rumah peninggalan kedua orang tua Andre dan Melani—mereka
hanya tinggal berdua. Hidup bersama dan saling menyayangi. Sudah bertahun-tahun
mereka hidup sebagai yatim piatu. Kedua orang tua mereka meninggal akibat
kecelakaan pesawat yang sampai saat ini jasadnya belum juga ditemukan.
Andrelah yang menjadi tulang punggu keluarga. Bekerja sebagai
seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Banting
tulang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan kuliahnya, juga sekolah Melani.
“Salah kamu sendiri. Tadi malem bukannya tidur buat persiapan
sekolah, malah nonton Harry Potter yang enggak penting itu.”
“Kakak kan tahu sendiri Mel suka banget sama film Harry Potter.”
“Idih, gitu aja marah.” Andre mengacak-ngacak rambut Melani. “Tapi
Kakak enggak mau tahu. Pokoknya harus makan di sekolah. Kalo kamu sakit, Kakak
yang repot, kan?”
“Sip, Bos!”
Sampailah di gerbang sekolah SMA Pertiwi. Dari rumah Melani menuju
sekolah hanya menghabisakan waktu 10 menit.
“Kak, nanti pulangnya enggak usah dijemput. Mel mau ke toko buku
dulu.”
“Enggak mau Kakak anterin?”
“Mel kan udah SMA, masak kemana-mana harus sama Kakak. Apa kata
temen-temen nanti?”
“Aduh adik Kakak udah gede ternyata,”
“Iya, dong. Ya, udah Kakak cepetan pergi. Nanti masuk kerjanya
telat, lho.” Melani mencium tangan Kakaknya. “Hati-hati di jalan, Kak!” Motor
Andre pun segera melaju dengan kencang dan hilang di balik tikungan jalan.
Melani segera berlari memasuki sekolah barunya. Sebuah sekolah
swasta favorit di Jakarta dengan bagunan yang mewah dan sangat luas. Halaman
yang luas serta sejuk dengan pepohonan yang tumbuh rindang di sekitarnya. Kolam
air mancur setinggi 5 m juga menambah kemewahan sekolah elit tersebut.
Parkirannya pun penuh dengan mobil-mobil dan motor-motor mewah.
Dari kejauhan Melani melihat seorang siswa laki-laki, nampaknya ia adalah
kakak kelas Melani. Siswa berperawakan gagah, tinggi, tampan, dan gayanya yang
sok cool, sedang bersandar pada tembok di belakangnya dengan tangan bersedekap.
Ia menatap Melani dengan galak. Melani pun segera mempercepat langkah kakinya.
“Mau kemana kamu?” tanyanya ketus.
“Mau masuk kelas, Kak!” jawab Melani tergagap.
“Kamu tahu jam berapa sekarang?” tanyanya lagi.
Melani tertunduk malu, takut, merasa bersalah, semuanya campur aduk.
“Kamu tahu peraturan disini?”
Melani diam membisu, wajahnya tetap menunduk.
“Jawab!” sentaknya.
“Tahu, Kak,”
“Apa?” sentaknya makin keras.
“Datang jam 6:30,”
“Itu tahu,” matanya sinis melihat Melani. “Kenapa masih dilanggar?”
“Maaf!”
“Yang disiplin, dong!” bentaknya. “Baru jadi calon siswa udah
belagu. Dateng seenaknya. Kamu saya hukum!” seperti ada semacam kilat yang
menyambar dada Melani. Baru juga pertama masuk ia sudah kena hukuman.
“Lari keliling lapang basket! Sepuluh keliling,” perintahnya dengan
sesungging senyuman penuh makna.
“Tapi, Kak…”
“Duapuluh keliling,”
“Iya Kak,”
“Ya sudah, cepat kerjakan sekarang! Tunggu apa lagi?”
Melani mulai mengelilingi lapangan basket. Satu putaran baru ia
lalui. Padahal rasa capai sudah menghampiri dirinya. Belum lagi panas matahari
pagi yang sangat menyengat. Menambah rasa dahaganya. “Aduh, aku cape banget. Aku
haus banget. Mana belum sempet sarapan lagi.” keluh Melani berkali-kali.
Sampai pada putaran kelima, kepala Melani mulai merasakan pusing.
Semua benda yang ada di hadapannya seakan berputar mengelilingi kepalanya. Dan
dalam hitungan detik ia sudah tak sadarkan diri.
Senior ketus bin galak tadi pun segera menghampiri Melani dan mengendongnya menuju UKS. Beberapa menit
menunggu, akhirnya Melani pun siuman.
Tiba-tiba datang seorang siswi senior dengan napas yang
terengah-engah. “Ada masalah apa? Kenapa sampe ada yang masuk UKS segala?”
tanyanya.
Rendy hanya terdiam, menampakkan wajah seperti tanpa dosa.
“Disini cuma ada loe, Ren,” wajahnya marah menatap Rendy. “Tolong
jelasain sama gue! Apa yang terjadi?”
“Sorry,”—akhirnya ngaku juga. “gue yang salah.”
“Jelasin sama gue! Ada apa?” tanyanya lagi.
“Gue cuma hukum dia buat lari keliling lapangan basket.”
“Loe bilang, cuma?”
“Iya... gue akui ini cukup keterlaluan.”
“Loe baru baru sadar kalo ini ketelaluan? Loe kan tahu aturannya
kalo ada yang telat. Gak usah pake cara gini.”
“Iya, Rini. Gue tahu. Gue kan udah ngaku salah. Loe enggak perlu
terus-terusan ceramahin gue.” bentak Rendy kepada siswi senior itu—ketua OSIS
di SMA Pertiwi.
Rini tidak mengubris bentakan Rendy. Ia tahu persis siswa yang
sedang dihadapinya itu. Satu sekolah memang sudah kenal dengan cowok yang
bernama Rendy Ferdinan. Seorang cowok egois, sombong dan tak mau diatur yang
merupakan anak pemilik SMA Pertiwi.
“Tapi sekarang gue mau loe anterin anak ini pulang.” ucap Rini
tegas.
“Seenakanya nyuruh-nyuruh gue. Gue enggak mau.”
“Loe mesti tanggung jawab, Ren. Dia pingsan karna ulah loe.”
“Gue udah tanggung jawab. Gue udah gendong anak ini sampe sini.”
“Gue enggak mau tahu. Pokoknya loe musti anterin anak ini pulang. Gue
enggak mau cuma gara-gara ulah loe, nama baik sekolah ancur. Loe juga harus
jelasin dan minta maaf sama nyokap bokapnya …”
“Enggak perlu, Kak. Aku bisa pulang sendiri, kok.” Melani memotong
pembicaraan.
“Enggak apa-apa. Ini semua memang menjadi tanggung jawab kami.
Pokoknya kamu tetep harus Rendy anterin pulang. Dan sekarang kamu makan dulu.
Abis makan nanti Rendy anterin pulang. Bila perlu besok kamu enggak usah masuk
sekolah, istirahat aja di rumah.” ujarnya ramah penuh senyum.
“Istirahat satu hari juga sudah cukup, kok.”
Selesai makan
makanan yang disediakan oleh panitia OSIS. Belum setengah gelas minuman yang
diteguk Melani, Rendy sudah mengajaknya pulang. “Lama banget, sih. Timbang
makan doang. Waktu gue bukan cuma buat anterin loe pulang.”
“Emangnnya aku mau dianterin pulang sama Kakak kelas jutek kayak kamu.”
“Udahlah. Jangan ngajak gue ribut!”
“Kamu yang duluan ngajak ribut.”
“Jangan ngomel melulu. Sekarang cepet abisin makanannya.”
Setelah Melani menghabisakan makanannya, mereka pun bergegas menuju
parkiran, tempat dimana motor milik Rendy diparkir. Tanpa menunggu waktu lagi
Rendy segera menancap gas. Dengan terpaksa Melani harus memegang erat pada
pinggang Rendy. Kalau tidak nyawanya yang bisa melayang. Entah pada kecepatan
berapa yang Rendy gunakan. Beberapa kali Melani mengomel agar Rendy mengurangi
kecepatannya.
Sampailah di rumah Melani.
“Ini rumah loe?” tanya Rendy.
“Ya, iyalah. Ngapain aku ajak kamu ke rumah orang lain.”
“Mana nyokap bokap loe?”
“Enggak ada.” jawab Melani singkat.
“Maksud loe?”
“Mereka udah lama meninggal.”
“Sorry. Terus loe disini tinggal sama siapa?”
“Kakak.”
“Dimana dia?”
“Kenapa? Mau ngejelasin soal di sekolah tadi? Enggak perlu. Aku enggak
kan ngomong macem-macem, kok.”
“Baguslah.” Rendy pun segera pergi dari rumah Melani dan kembali ke
sekolah. Belum sepuluh detik, Rendy sudah hilang dari pandangan Melani.
“Sekali-kalinya deh, aku berurusan sama dia. Ngidam apa sih ibunya
waktu hamil dia? Kok bisa-bisanya ngelahirin anak sejutek dia.”
***
Hari-hari berlalu. Hari ini para siswa-siswi baru sudah resmi
menjadi keluarga besar SMA Pertiwi.
Pada jam istirahat, Melani duduk di kantin sendirian. Semangkuk
bakso sudah ada di hadapannya, namun belum ia sentuh. Tiba-tiba lamunannya
buyar ketika seorang siswi cantik datang menghampirinya, ia tinggi, cukup modis
dengan make up tipisnya, dan murah senyum. Dia adalah Vania, saudara jauh
Melani. Vania ditemani kedua sahabatnya, “Hai, Mel! Apa kabar? Kamu sekolah
disini?”
“Hai, Van! Aku baik. Enggak nyangka ya, kita bisa satu sekolah.
Gimana kabar kamu?”
“Aku juga baik. Muka kamu enggak berubah, ya? Padahal kita udah lima
tahun enggak ketemu.”
“Kamu sedikit berubah, Van. Kamu jadi makin cantik.”
“Ah, kamu bisa aja. Oh iya, gimana kabar Kak Andre? Pasti makin
ganteng.”
“Baik juga.”
“Oh iya, sampe lupa. Kenalin temen-temen aku! Mereka sahabat-sahabat
aku dari SMP.”
“Aku Winda.” Winda juga sama cantiknya dengan Vania, sedikit lebih
tinggi, rambutnya sengaja dipotong pendek berbando, tetapi masih membuatnya terlihat
anggun. Tapi agak sedikit dingin, mungkin ia tidak bisa mudah ramah pada orang
yang baru dikenalnya.
“Hai! Aku Lyla. Boleh kan kita gabung?” Seorang siswi seangkatan
Melani, tinggi semampai, cukup cantik dengan rambut yang dibiarkan terurai
sampai punggungnya, dan ia cukup ramah.
Melani menyalami tangan keduanya. “Melani.”
“Boleh kan kita gabung?” ulang Lyla.
“Oh iya, sok aja,”
Lyla, Winda dan Vania pun memesan makanan. Di tengah perbincangan
mereka berempat terjadi sebuah kegaduhan.
“Rendy…” teriak salah seorang siswi.
“Evan…” teriakan berikutnya.
“Bayu…” teriakan tak kalah hebohnya. Semua yang berada di kantin
langsung mengerumuni siswa-siswa yang menjadi penyebab kegaduhan itu.
Rendy? Sepertinya Melani tidak asing dengan nama itu. Tapi dia
siapa, ya? Oh iya, ia baru ingat sekarang, Rendy adalah siswa senior yang
membuatnya pingsan satu minggu yang lalu. Teman-teman pun yang tadinya duduk
dan makan bersamanya, segera berlari menuju kerumunan orang-orang yang
mengelilingi Rendy, Evan dan Bayu.
Idih, ampe segitunya banget, sih. Emang dia siapa. Diperlakuin kayak
pangeran. Lagian cewek-ceweknya juga mau-maunya ngagumin cowok ngeselin itu.
gumam Melani dalam hati.
“Kak Rendy, aku Putri anak X-1. Ini ada kue buat Kakak.” teriakan yang
sekilas Melani dengar di balik kerumunan tersebut.
“Aku Vania. Ini ada coklat untuk Kak Evan.”
Banyak sekali siswi yang mengerumuni Rendy cs. Banyak pula di antara
mereka yang memberi hadiah untuk Rendy dan teman-temannya.
“Please, yah!” juteknya mulai deh. “Gue kesini mau makan. Bisa kan enggak
usah ganggu? Dan gue enggak butuh barang-barang yang loe-loe semua,” tangannya
menunjuk sekeliling. “kasih sama gue.”
Kedua sahabatnya hanya tersenyum mengerti melihat kelakuan Rendy. Ia
pasti sedang bad mood.
Samar-samar Melani mendengar ucapan Rendy yang begitu sombongnya. Ingin
rasanya ia menghadiahkan sebuah tinju untuk siswa jutek itu, tapi ia mencoba
sabar agar tidak lagi berurusan dengan orang itu. Ia pun melahap bakso dengan
penuh kekesalan.
Seketika semua gadis-gadis yang berada di kerumunan itu duduk
kembali ke tempat masing-masing. Juga ketiga teman baru Melani kembali duduk di
samping Melani. Dan juga Rendy, Evan dan Bayu dapat melanjutkan langkah kaki
mereka.
“Kamu enggak ikut kenalan sama Kak Rendy cs.?” tanya Winda.
“Ngapain orang jutek kayak dia aku kenal?” jawab Melani agak ketus.
“Jutek apanya?” Lyla membela Rendy cs. “Mereka baik banget, kok.”
“Rendy baik? Maaf, ya! Kesan pertama aku ketemu Rendy, orangnya
jutek abis. Gara-gara dia aku pingsan.”
“Oh, jadi kamu siswi yang dihukum Kak Rendy sampe pingsan?” tanya
Vania penasaran.
“Kok kamu bisa tahu?”
“Ya, iyalah. Satu sekolah juga udah tahu kali. Sesuatu yang
berhubungan sama Kak Rendy pasti jadi hot news.” urai Winda.
“Sampe segitunya, ya?”
“Ya ampun, Mel. Kamu kemana aja sih?” Lyla memukul meja. “Kamu enggak
tahu? Kak Rendy adalah anak dari pemilik sekolah kita. Dia juga kapten basket.
Cowok terkeren dan terganteng satu sekolah. Ya, pantes dong dia istimewa.” Hah?
“Dan ada sedikit fakta tentang Kak Rendy.” ucap Vania penuh tanya.
“Kak Rendy belum pernah pacaran. Beda banget sama Kak Bayu dan Kak Evan yang
terkenal playboy.”
“Kok bisa? Bukannya kata kamu dia paling keren satu sekolah masak enggak
punya pacar.”
“Jangan berpikir kalo enggak ada cewek yang mau sama dia, ya!
Sebenernya Kak Rendy adalah cowok yang paling digadrungin banyak cewek. Dari
yang di bawah umur sampe tante-tante. Cuma dianya aja yang enggak mau. Menurut
kabar udah puluhan cewek nembak Kak Rendy, tapi tak ada satu pun yang dia
terima.”
“Idih sok mahal banget jadi cowok. Emangnya cowok di dunia ini cuma
dia?” ujar Melani sedikit ketus. “Lagipula kecentilan juga sih cewek-ceweknya.”
“Ya ampun Mel, kamu kok gitu banget,” komentar Vania. “Kamu dendam
banget ya sama kak Rendy?”
“Ya iyalah,” muka Melani tambah merah. “Kalo kalian jadi aku juga,
bakalan kayak gitu.”
“Aku enggak akan gitu, kok,” jawab Lyla. “Aku malah seneng bisa
dianterin pulang sama Kak Rendy.”
“Ngapain kalian ngomongon Rendy?” Tiba-tiba ada suara yang ikut
nimbrung percakapan mereka. Suara itu berasal dari salah seorang siswi senior
yang mengagetkan Melani dan teman-temannya.
“Kakak-kakak ini siapa?” tanya Vania.
“What? Kalian enggak kenal kita? Ya udah, Guys. Kita kenalin diri
dulu.”
“Gue Nadia.”
“Gue Zaskia.”
“Dan gue Tiara.”
“Kakak ngapain ngupingin kita?” tanya Lyla polos.
“Hello! Kalian ini lagi ngomongin cowok gue. Masak gue diemin?”
“Bukannya Rendy enggak punya cewek, ya?” tanya Melani.
“Rendy cuma enggak mau orang tahu kalo kita pacaran.” jawab Tiara.
Ting… seperti ada lampu
bohlam menyala terang di samping kepala Melani. Orang kayak gini mah harus
dikasih pelajaran. “Kenapa Kakak bilang-bilang sama kita soal hubungan Kakak sama
Rendy. Kakak sendiri yang bilang hubungan kalian enggak mau diketahui orang. Dan
bukannya jaga rahasia adalah hal yang penting dalam menjalin sebuah hubungan?”
“Ya… gue cuma enggak mau kalian ngomongin cowok gue. Ngerti?”
“Kita rasa, bukan hanya kita yang lagi ngomongin pacar Kakak. Seisi kantin
ini hampir semuanya ngomongin Rendy. Kenapa Kakak enggak kasih tahu mereka
juga?”
“Ya, pokoknya gue peringetin sekali lagi. Kalian jangan pernah
ngomongin cowok gue lagi.” Tiara dan kawan-kawannya pun pergi meninggalkan
Melani dan teman-teman. Lyla, Vania, dan Winda pun tertawa terbahak-bahak selepas
Tiara dan kawan-kawan meninggalkan kantin.
“Ya ampun, Mel,” Winda mengeluarkan napas lega. “Kamu berani banget,
sih!”
“Kamu enggak takut diapa-apain Kak Tiara?” tanya Vania.
“Kenapa harus takut? Toh aku yang bener, kan?”
“Ya, seeenggaknya Kak Tiara itu Kakak kelas. Dia pasti lebih
berkuasa dari kita.”
“Kalo kita bener ngapain takut? Kita harus menegakkan kebenaran.
Jangan pernah takut kalau kita emang bener. Udahlah enggak usah ngomongin itu
lagi. Bentar lagi masuk kelas, makanannya cepet abisin! Nanti keburu masuk.”
***
Ekskul Basket
Keinginan Melani untuk pergi ke toko buku yang dulu sempat diundur.
Kini sudah dapat terlaksana. Sepulang sekolah Melani begegas ke toko buku yang
jaraknya tidak terlalu dekat dengan sekolahnya.
Ditelusurinya setiap sudut toko buku, namun buku yang ia cari belum
terlihat olehnya. “Aduh, dimana, sih? Kata Si Mbaknya novel Harry Potter ada di
sekitar sini. Tapi mana, ya?” keluh Melani.
“Nah, ketemu juga akhirnya!” lanjutnya.
Ketika ia hendak mengambil novel itu. Tangan seseorang juga berusaha
mengambilnya. Melani pun melirik pada orang yang mempunyai tangan itu.
“Rendy?”
“Loe? Siswi yang telat itu, kan?” Ternyata kesan pertama bertemu
bagi keduanya sangatlah tidak baik. Rendy menilai Melani adalah siswi yang
tidak disiplin dan tidak mematuhi peraturan. Melani sendiri menilai Rendy
adalah senior yang galak dan ketus.
“Aku punya nama, ya! Nama aku Melani.”
“What ever lah, Gue enggak peduli siapa nama loe. Yang jelas loe
musti lepasin novel ini.”
“Enak aja. Aku yang duluan liat, kok. Harusnya kamu yang lepasin
novelnya.”
“Enggak. Pokoknya loe yang harus lepasin.”
“Enggak mau.” Melani tetap ngotot. “Kamu kan cowok, ngalah dong!”
“Enak aja gue yang ngalah,”
Novel yang tinggal satu-satunya itu tengah diperebutkan Melani dan
juga Rendy. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Namun dimana-mana laki-laki
lebih kuat dari perempuan. Rendylah yang berhasil mendapatkan novel itu.
“Gue yang dapet.” ujar Rendy bangga.
“Heh, balikin novelnya!” Melani berusaha mengejar Rendy.
Namun Rendy cepat sekali menghilang dan Melani pun kehilangan
jejaknya. “Ah, padahal itu tinggal satu-satunya. Aku harus cari dimana lagi.”
keluh Melani.
Melani pun memutuskan untuk pulang. Perebutan novel yang ia
ingin-inginkan dari tangan Rendy tak membuahkan hasil.
Sesampainya di rumah, Rendy segera bergegas menuju kamar adiknya—Chika.
Dilihatnya adiknya yang sangat dicintainya itu tengah melahap bubur yang
disuapi Bibik Imas. “Sudah, Bik!” Rendy meraih mangkuk bubur dari tangan Bik
Imas. “Biar saya saja yang menyuapi Chika.”
“Baik, Mas!” Bik Imas pun meninggalkan kamar Chika.
Satu suap, dua suap bubur Chika habiskan, sampai satu mangkuk bubur
habis dilahapnya.
“Tumben Kakak pulang cepet?” tanya Chika.
“Kakak mau ngasih sesuatu sama kamu.”
“Emangnya hari ini Chika ulang tahun?”
“Oh, jadi kalo Kakak mau ngasih kamu sesuatu kalo pas ulang tahun
aja?”
“Emangnya apa yang mau Kakak kasih buat Chika?”
“Kemarin-kemarin kamu pernah bilang sama Kakak pengen nonton film
Harry Potter. Dan Kakak udah janji mau nemenin kamu. Tapi enggak jadi karna
kamu enggak diizinin keluar rumah. Kakak juga udah berusaha nyari VCD-nya. Tapi
enggak nemu juga. Untung aja novelnya masih ada.”
“Wah! Makasih ya, Kak!” ujar Cikha gembira.
“Iya, sama-sama. Kamu suka, kan?”
“Suka banget! Kakak adalah Kakak terbaik sedunia. Chika beruntung
punya Kakak kayak Kak Rendy.”
“Kakak juga beruntung punya adik semanis dan selucu kamu.” Rendy pun
memeluk Chika dengan penuh kasih sayang.
***
Hari ini adalah hari dimana semua siswa-siswi kelas X menentukan
ekskul apa yang akan ia ikuti. Melani memutuskan untuk mengikuti ekskul basket.
Sementara ketiga temannya, Lyla yang senang berkreasi dan pintar berbicara
memutuskan untuk mengikuti ekskul jurnal. Vania dengan suaranya yang bagus dan
Winda yang mahir dalam biola, mendaftarkan diri dalam ekskul musik.
Sesampainya Melani di lapang basket, ternyata semua siswa-siswi yang
mengikuti ekskul basket sudah mulai pemanasan. Ketika Melani melihat siapa yang
memandu pemanasan, ia sangat terkejut.
“Rendy? Kok dia, sih? Kenapa coba dia selalu ngintilin aku?” Ia pun
teringat dengan kata-kata Lyla yang sempat menyebutkan bahwa Rendy adalah
kapten basket. Ia lupa dengan yang satu itu.
“Hei, kamu yang disana!” teriak sang pemandu pemanasan. “Sedang apa
kamu disana? Sudah tahu telat, bukannya segera kemari. Malah bengong disana.”
Melani pun berlari menuju siswa siswi yang sedang melakukan
pemanasan dan bergabung bersama mereka mengikuti pemanasan.
Aduh, sial banget, sih! Kenapa harus ketemu dia lagi? gumam Melani
dalam hati.
“Hei, kamu yang tadi telat!” Suara itu membuyarkan lamunan. Pemilik
suara itu menghampiri Melani. “Loe lagi? Bosen hidup gue ketemu loe terus.”
“Emangnya aku suka ketemu kamu? Aku juga enggak tahu bakal ketemu
kamu lagi.”
“Loe ini udah telat dan enggak konsen pemanasan, masih berani jawab,
ya?”
“Ya, maaf! Tapi kenapa sih kamu yang harus sewot? Pak Pelatih aja enggak
sewot.”
“Perlu loe ketahui, ya! Gue adalah kapten tim basket sekolah ini,
sekaligus asisten Pelatih.”
“Kok mau-maunya Pak Pelatih punya asisten kayak kamu?”
“Kenapa sih loe sinis banget sama gue?”
“Sekarang kita pikir aja mana ada orang yang gak sinis sama orang
sejutek kamu?”
“Orang itu cuma loe doang.”
“Pemanasannya cukup. Sekarang kita mulai dengan melempar bola
basket. Silahkan buat dua buah shaf berhadapan.” ucap Pak Pelatih, Pak Ardi.
“Rendy!” teriaknya.
“Iya, Pak!” Rendy segera menghampiri Pak Ardi. Pertengkaran antara
Melani dan Rendy pun akhirnya selesai juga.
“Pandu semua anak-anak!”
“Baik, Pak.” jawab Rendy. “Ayo semua, gerak cepat!”
Rendy mulai memperagakan cara memegang bola basket yang baik dan
benar. Kakinya membentuk kuda-kuda dan badan agak condong ke depan. Telapak
tangannya melekat di samping bola agak ke belakang, jari-jari terentang melekat
pada bola. Ibu jarinya
terletak dekat dengan badan di bagian belakang bola yang menghadap ke arah
tengah depan.
“Menangkap bola pun tak jauh beda dengan cara memegangnya. Buka aja
telapak tangannya! Untuk mengoper bola, ada tiga cara, yang sekarang akan kita
pelajari adalah chest pass, melempar bola ke depan dada.” urai Rendy
menjelaskan. “Sekarang kalian mulai dengan memegangnya dan melemparkan kepada
teman yang ada di hadapannya secara zig-zag. Mengerti?”
“Mengerti, Kak.” jawab anak-anak basket serempak.
“Mulai dari kamu!” Rendy menunjuk kepada salah satu siswi dan
melemparkan bola basket padanya.
Ketika ada siswa maupun siswi yang mengalami kesulitan dalam cara
memengang atau melempar bola, ia perbaiki dengan lemah lembut. Namun
kesabarannya mulai terkuras habis ketika memperbaiki kesalahan Melani. Meskipun
sudah diberi contoh berkali-kali, Melani selalu saja memperagakannya dengan
salah.
“Loe enggak perhatiin gue, ya?”
“Enak aja. Aku perhatiin kamu, kok.” jawab Melani.
“Buktinya diperbaiki berulang kali, salah mulu.”
“Ya, gimana caranya?”
Rendy tak menjawab. Ia berdiri di belakang Melani dan memegang
tangan Melani dari belakang.
“Eh, mau ngapain?” Melani menghindar dan mendekap dadanya sendiri.
“Mau bisa enggak?”
Melani pun hanya terdiam.
Tangan Rendy memegang tangan Melani dari belakang. Memperagakan
bagaimana cara memegang bola basket yang benar. “Nah, gini kek dari tadi.”
Rendy menghembuskan napas lega.
Namun beberapa siswi yang melihat Rendy memeluk Melani, meskipun
hanya sebatas memperagakan cara memegang bola basket dengan baik dan benar, mereka
semua cemburu, berpikiran negatif terhadap Melani, dan jadi tidak suka padanya.
“Caper banget sih jadi murid baru!” gerutu beberapa orang siswi.
Melani sendiri tidak menyadari bahwa banyak siswi yang cemburu
padanya gara-gara Rendy memeluknya.
Pelajaran ekskul pun berakhir. Semua siswa siswi ganti baju di ruang
loker.
Segerombolan siswi berjalan menghampiri Melani dan menutup pintu
loker Melani dengan keras. Itu membuat Melani kaget.
“Kak Tiara?”
“Hei, loe jangan sok cari perhatian Rendy, deh.”
“Maksud Kakak apa?”
“Jangan belaga bego deh. Loe tadi cuma pura-pura enggak bisa, kan? Biar
loe bisa dipeluk Rendy.”
“Jangan Kakak pikir aku cewek murahan kayak cewek-cewek yang naksir
Rendy, ya? Aku bukan tipe cewek yang tertarik sama Rendy. Emang aku kayak Kakak
yang mau ngelakuin segala cara buat dapetin Rendy. Kalo aku mau dapetin Rendy
aku enggak perlu pake cara basi kayak tadi. Dan memang disayangkan aku enggak
tertarik sama Rendy. Lagipula tadi emang beneran aku enggak bisa.”
“Loe cuma adik kelas, berani-beraninya loe nyolot sama gue?”
“Semut juga kalo terus-menerus diganggu bakal gigit.” Melani pun
pergi meninggalkan Tiara dan kawan-kawan.
“Sialan!” teriak Tiara.
“Perlu dikasih pelajaran, tuh.” usul Zaskia.
“Gue setuju. Kalo ntu anak dibiarin gitu aja, lama-lama akan
ngelunjak.” tambah Nadia.
“Tenang aja. Gue enggak bakal diem aja diinjek-injek adek kelas.”
Seisi sekolah sudah sepi, Melani masih berada di sekolah. Ia baru
saja keluar dari perpustakaan. Kelasnya mendapat tugas membuat kliping mengenai
kondisi geogarfis Indonesia untuk keperluan tugas pelajaran geografi. Selekas
itu ia pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Dan tiba-tiba pintu kamar
mandi terkunci dengan sendirinya. “Ini semua enggak lucu. Hei, buka pintunya!
Siapa aja yang ada di luar, tolong! Tolong buka pintunya!” teriak Melani.
Dan tiba-tiba lampu kamar mandi mati dengan sendirinya. Itu membuat
Melani semakin ketakutan. “Tolong!” teriaknya lagi.
Melani terus menerus berteriak meminta tolong. Namun tak ada satu
pun orang yang mendengarnya. Dan tiba-tiba muncul dua sosok berpakaian serba
hitam dan bertopeng seram. Melani semakin ketakutan. Ia sendirian. Teriakannya
pun semakin keras namun tetap saja tak ada yang mendengar.
“Pergi! Jangan ganggu aku! Pergi!” teriak Melani berkali-kali. Ia
tak sanggup lagi untuk melengkingkan suaranya berteriak minta tolong, Melani
pun terduduk lemas dan menangis.
Di saat yang sama Rendy hendak pulang. Tepat ketika ia berjalan di
depan kamar mandi wanita, ia mendengar tangisan seorang perempuan. Tanpa rasa
takut Rendy menghampiri pintu kamar mandi. Ia mencoba membuka pintu, namun pintu
terkunci. “Ada orang di dalam?”
Melani menghapus air matanya. “Siapa pun yang ada diluar, tolong
aku. Tolong buka pintunya!”
“Ra, kita ketahuan.” bisik salah satu sosok bertopeng itu.
Rendy pun mendobrak pintu kamar mandi. Didapatinya Melani tengah
duduk lemas tak berdaya. Juga dua sosok yang berdiri di hadapan Melani. Rendy
menghampiri Melani. “Loe enggak apa-apa?”
Rendy membantu Melani untuk berdiri.
“Aku takut.” Melani memeluk erat tubuh Rendy.
Ketika sosok-sosok itu hendak melarikan diri. Rendy menarik topeng
yang dikenakan salah satu hantu-hantuan itu. “Tiara?” Kini giliran Tiara yang
ketakutan. Ia telah ketahuan mengerjai Melani oleh Rendy. Ia pun lari
terbirit-birit bersama temanya yang masih memakai topeng dari kamar mandi.
Rendy mengajak Melani pergi dari kamar mandi. Keduanya pun duduk di
salah satu bangku taman sekolah. Rendy memberikan sebotol minuman pada Melani.
“Udah sore gini, kenapa loe masih ada di sekolah?”
Melani tak menjawab. Ia masih kaget dengan hal yang menimpanya
beberapa menit yang lalu.
“Gue enggak nyangka loe takut sama setan-setanan. Gue pikir, selama
ini cewek galak kayak loe enggak takut setan. Mungkin malah setannya yang takut
sama loe.”
“Enggak lucu tahu.” ujar Melani ketus.
“Loe udah agak baikan, kan?”
Melani hanya mengangguk.
“Gue pulang duluan.”
Rendy beranjak dan meninggalkan Melani duduk sendiri di bangku
taman.
Melani pun memutuskan untuk pulang. Walau dirinya masih merasa
ketakutan. Ia juga masih belum mampu mengatur napasnya. Ketika ia berjalan
melewati gerbang sekolah. Ia dikagetkan dengan suara Rendy.
“Lelet banget sih jalannya. Gue udah lumutan nunggun loe disini.”
“Nungguin aku?” tanyanya heran. “Buat apa? Bukannya kamu bilang mau
pulang duluan?”
“Bawel banget, sih! Buruan naik!”
“Naik?”
“Iya, naik!”
“Aku bisa pulang sendiri, kok. Kamu enggak usah repot-repot
nganterin aku pulang.”
“Loe jangan GR dulu,” Rendy berdalih. “Gue mau ke rumah temen gue
yang kebetulan lewat rumah loe. Ayo, ikut aja!”
Melani menurut saja apa yang dikatakan Rendy. Ia juga masih belum
memutuskan untuk pulang dengan apa. Shock-nya membuat pikiran Melani kosong.
Sampailah di rumah Melani.
“Makasih buat semuanya.” ucap Melani.
“Kirain gue, loe lupa caranya berterima kasih,” ledek Rendy. “Ya, sama-sama.
Gue balik dulu. Lain kali kalo ke kamar mandi jangan sendirian lagi.” Rendy
langsung menancap gas dan hilang dari pandangan.
“Katanya mau ke rumah temen?” Melani sedikit bingung dengan
perkataan Rendy. “Udahlah. Ngapain juga aku pikirin.”
***
Posting Komentar untuk "Cerita Melani dan Rendy I"