Cerita Melani dan Rendy VII

Salah Paham
Sesuai janji, Rendy datang ke Café Lucky tepat pada pukul 13:00. Lama ia menunggu Melani tak juga datang. Ia sudah menghabiskan dua gelas jus alpukat.
“Loe darimana aja sih, Mel?” serunya ketus.
“Dulu kamu yang buat aku nunggu lama. Sekarang kenapa aku enggak bisa melakukan hal yang sama?”
“Jadi loe sengaja telat?”
“Enggak juga, sih. Di jalannya macet. Ya, aku terlambat, deh.”
“Udahlah. Enggak perlu panjang lebar lagi.” Rendy menarik tangan Melani keluar. Sebelumnya, ia meletakkan selembar uang bernominal Rp50 ribu di atas meja yang baru saja ia tempati.
Tujuan pertama mereka adalah sebuah bioskop yang ada di mall tersebut. Di jam itu hanya film-film horor yang ditayangkan. Keduanya memilih sebuah film horor made in Indonesian yang sedikit dibumbui oleh komedi berjudul ‘Hantu Pohon Rambutan’. Awalnya Melani menolak. Perbuatan yang dilakukan Tiara bersama genk-nya waktu lalu, sangat membekas pada dirinya. Ia trauma mendalam akan hantu-hantuan dan sejenisnya.
“Kalo rasa takut itu harus dilawan. Biar trauma loe itu bisa hilang.” bujuk Rendy.
Akhirnya Melani pun setuju.
Selama menonton kedua tangannya tak lepas dari hadapan matanya. Sesekali ia mengintip, namun ketika Si Hantu muncul matanya kembali terpejam. Saat semua orang yang berada di dalam bioskop berteriak ketakutan melihat seramnya sosok hantu di layar bioskop, Melani hanya terdiam. Satu jam durasi film, Melani sama sekali tak menikmati fim yang tengah diputar. Dan tak berhenti-hentinya memakan popcorn.
“Katanya mau sembuh dari trauma? Kalo matanya ditutup terus sih, mana bisa.” sindir Rendy. “Coba buka matanya!” Rendy meraih perlahan kedua telapak tangan Melani.
Perlahan Melani membuka matanya. Dan pada saat yang sama… Si Hantu pun muncul. Wajahnya jelas sekali terlihat. Wajah hantu itu sangat jelas terlihat di layar. Sontak Melani menjerit keras. Lebih keras dari orang-orang yang menjerit di dalam ruang itu. Dan tanpa ia sadari, ia bersembunyi di balik jaket Rendy yang duduk di sebelahnya—untung saja Melani tidak salah peluk orang, kalau saja orang yang Melani peluk adalah yang di sebelah kanannya, ia akan memeluk pacar orang. Seakan jantungnya akan copot. Butuh beberapa menit Melani untuk menenangkan diri. Dan mengatur skala napasnya. Ia pun melepaskan pelukannya.
“Kita keluar sekarang!” ucapnya agak marah.
“Filmnya belum selesai, Mel.”
“Terserah kalo kamu masih mau nonton, aku mau pulang.” Melani pun beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang bioskop dengan langkah panjang.
Rendy segera menyusulnya. Rendy berhasil menghentikan langkah Melani dan menarik tangannya. “Mel, tunggu! Loe kenapa, sih?”
“Kenapa? Kamu tahu sendiri, aku takut setan-setanan. Kamu paksa buat nonton film enggak berbobot itu.”
“Loe kan mau ngilangin trauma loe.”
“Enggak. Biar aja aku takut setan selamanya. Aku enggak mau nonton film horor lagi. Terserah apa itu horor komedi, horor romantis ataupun yang sejenisnya. Aku tetep enggak mau. Aku mau pulang.”
“Ya. Ya. Gue minta maaf. Gue enggak akan paksa loe lagi. Tapi loe jangan pulang dulu. Jalan-jalannya kan belum selesai.”
“Ya.”
“Oke. Sekarang kita main lagi.” Rendy menarik tangan Melani lagi.
“Kemana?”
Sampailah keduanya di sebuah temat bermain yang dari luar sudah terasa dingin—ice skating. Banyak yang mengantri untuk memasuki tempat yang suhunya tak jauh dari Benua Antartika itu. Dan di dalam pun sudah banyak penghuninya. Rendy pun berhasil mendapatkan tiket masuknya.
“Kita ngapain kesini?” tanya Melani.
“Kita berenang.”
“Disini?” tanya Melani semakin tak mengerti.
“Ya, enggaklah. Kita kesini mau maen ice skating.”
“Ice skating? Apaan tuh?”
“Main di atas balok es.”
“Emang bisa, ya?”
“Makanya ada juga, ya pasti bisa lah. Ayo masuk!”
“Enggak, ah. Dingin.”
“Ayo!”
Mungkin lebih baik daripada nonton film horor di bioskop yang gelap dengan layar seluas lantai di kamarnya, pikir Melani.
Sungguh dingin berada di tempat itu. Jika ada yang ingin berlibur ke luar negri di musim dingin, boleh mencoba masuk tempat ini sebelum berangkat. Sekedar latihan untuk mempersiapkan diri musim dingin di negri orang. Suhu di ruangan sudah disetting dengan suhu -4o – 0o C. Huh… dingin sekali!
Tempat ini tak hanya untuk dewasa dan remaja seperti Melani dan Rendy, anak-anak bahkan ibu-ibu pun ada disini. Walau dingin yang amat menusuk, mereka semua sangat menikmati berada di tempat tersebut. Bermacam-macam aktivitas berbeda bisa disaksikan di ruangan yang luasnya 100 × 100 m.
Belum lama Melani berada di ruangan itu, ia sudah mulai merasa tidak enak. Walau ia sudah memakai alas kaki, namun kakinya tetap terasa dingin dan hampir kram.
Selama berada di dalam ruangan itu tangan Melani tak mau lepas dari genggaman Rendy. Bukan karna ia ingin terus bersama pria yang 13 cm lebih tinggi darinya, namun karna kedua kakinya tak mampu berdiri tegak di atas balok es.
“Coba lepasin tangan gue!” bujuk Rendy.
“Enggak mau. Gimana nanti kalo aku jatoh?”
“Eh… Mau bisa enggak?”
Perlahan Melani melepaskan tangan Rendy. Dan Rendy pun berjalan mundur agak menjauhi Melani.
“Kamu mau kemana?” teriak Melani.
“Coba kamu jalan perlahan—selangkah demi selangkah!”
“Enggak.” ucap Melani sembari berusaha menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh.
“Kalo loe enggak mau coba, gue pergi aja.”
“Jangan!”
“Ya udah. Loe jalan pelan-pelan ke arah gue.”
Melani mencoba perlahan. Satu langkah ia berhasil. Ia pun bersorak gembira. Dan pada langkah kedua karna ia terlalu tergesa-gesa, ia pun terpeleset. Pantatnya langsung bersentuhan dengan lantai es yang sangat dingin. Brrr… dingin sekali. Pantatnya jadi mati rasa ditambah dengan rasa sakitnya ketika terjatuh.
“Aaaa…” teriaknya.
Rendy sama sekali tak menghampirinya, apalagi menolongnya untuk bangkit.
“Kamu kok diem aja, sih? Bantuin, dong!”
“Bangun aja sendiri. Ayo! Jangan sok pasang tampang wajah memelas gitu! Jalan lagi.”
Melani ingin marah atas ejekan Rendy. Namun untuk apa. Ia pun perlahan beranjak. Ia berusaha untuk berjalan menghampiri Rendy lagi. Kini ia tidak terlalu tergesa-gesa. Tak mau jatuh pada lubang yang sama. Dan akhirnya ia pun berhasil berjalan sejauh 3 m di atas balok es.
“Aku bisa, kan?”
“Jalan cuma tiga meter, bangga. Liat anak itu!” Rendy menunjuk seorang bocah yang tengah berlari-lari di dalam ruangan tak jauh dari mereka berdua. “Dia bisa lari-lari disini, biasa aja tuh. Loe yang cuma bisa jalan tiga meter, bangga setengah mati.”
“Aku kan baru belajar. Hargain dong usaha aku.”
“Ya. Gue hargai karna usaha loe. Karna loe mau mencoba.” Nampaknya pujian Rendy terlalu berlebihan pada Melani. Sampai-sampai wajah Melani memerah—sebenernya sih karna kedinginan. “Sebagai hadiahnya, kita kelilingi tempat ini. Ayo, pegang tangan gue!”
Melani pun memegang tangan Rendy. Dan keduanya segera meluncur. Rendy yang bergerak setengah berlari mampu membawa Melani mengelilingi tempat dingin itu.
“Asyik…” teriak Melani sesekali. Baru kali ini Melani bisa tertawa lepas dan enjoy sekali bersama laki-laki selain Kakaknya.
Puas bermain di musim dinginnya Indonesia. Perut keduanya terasa keroncongan. Keduanya pun segera keluar dari tempat tersebut dan mencari tempat makan.
Sebuah café yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka sebelumnya, mereka pun menghampiri café tersebut. Sesampainya di café tersebut, mereka disambut ramah oleh para pelayan. Mereka pun dilayani dengan telaten. Rendy memesan spaghetti dan jus alpukat. Melani sendiri memesan nasi goreng dan jus jeruk. Ia tak mengerti menu hidangan yang disajikan. Semua nama menu asing baginya. Hanya nasi goreng yang bisa ia baca dengan jelas.
 “Ren,.” sambil menunggu makanan tiba, Melani membuka pembicaraan. Rendy tak terlalu memperhatikan. “Ada yang suka sama kamu,” Melani melanjutkan.
“Terus apa?”
“Rendy tanggepin dong! Yang ini beda daripada yang lain.”
“Siapa?”
“Lyla.”
“Siapa Lyla?”
Melani mulai geram menghadapi sikap Rendy. “ Siswi yang keseleo dan kamu anterin pulang. Kejadiannya juga belum satu bulan.”
“Oh, namanya Lyla. Terus kenapa?”
“Dia sahabat aku yang suka banget sama kamu. Aku ingin deketin dia sama kamu. Aku ingin kamu sedikit membuka kesempatan buat dia.”
“Kalo gue enggak mau gimana?”
“Apa kamu enggak bisa sedikit buka hati? Siapa tahu kalo kamu udah deket, jadi cinta beneran.”
“Hidup gue enggak suka maen-maen, Mel. Apalagi ini mempermainkan cinta. Gue akan bilang cinta sama cewek yang gue cinta. Dan gue juga enggak butuh Mak Comblang untuk deketin gue sama cewek.”
“Tapi kan kamu bisa mencoba perlahan demi perlahan. Siapa tahu lama-lama jadi cinta beneran. Menurut aku, itu bukan suatu hal yang mempermainkan cinta.”
“Tapi gue enggak mau.”
Tiba-tiba pelayan tadi datang dengan senampan hidangan yang Melani dan Rendy pesan. Percakapan serius itu pun buntu. Si Pelayan menata makan di atas meja. Dan pergi.
“Apa kamu enggak bisa pikirin lagi?” tanya Melani lagi.
“Udahlah, Mel. Gue enggak mau ngomongin itu sekarang. Makanan udah siap, sekarang kita makan! Gue udah laper banget.”
Melani pun terdiam.
Puas melahap semua hidangan yang tersedia di atas meja. Keduanya pun sejenak mengistirahatkan diri agar makanan yang baru saja tertelan dapat dicerna baik oleh enzim-enzim dalam tubuh. Cukup untuk istirahatnya. Rendy segera memanggil pelayan dan memberikan beberapa lembar rupiah kepada pelayan tersebut. Dan pergi ke tempat yang mengasyikkan lainnya.
Kali ini Rendy mengajak Melani ke sebuah tempat yang menjadi favorit bagi anak-anak. Game Zone. Kekanak-kanakan sekali. Sebelum bermain Rendy harus membeli koin untuk bisa bermain di tempat tersebut. Dan untuk kesekian kalinya Rendy harus merogok koceknya dalam-dalam untuk hal yang tidak penting.
Nampak keceriaan dari raut wajah keduanya. Seperti kembali ke masa lalu ketika keduanya masih memakai seragam Sekolah Dasar. Beberapa wahana permainan membuat mereka tertarik untuk mencobanya. Seperti balap mobil, balap motor, berperang melawan alien, juga permainan mengambil boneka dalam sebuah kotak, namun tak ada yang berhasil dalam permainan tersebut baik Rendy maupun Melani. Keduanya pun menyerah. Dan masih banyak lagi permainan yang mereka coba.
Walau hanya dalam waktu sekejap, keduanya mampu mengumpulkan banyak tiket dari yang dapat ditukarkan dengan beberapa souvenir, tentunya souvenir yang mereka dapatkan harus sama dengan tiket yang mereka kumpulkan. Tiket tersebut berasal dari sebuah lubang kecil di samping tempat masuknya koin setelah mereka menyelesaikan sebuah permainan. Dari hasil pengumpulan tiket tersebut mereka hanya bisa menukarkannya dengan sebuah boneka beruang kecil berwarna merah muda yang sangat lucu.
“Bonekanya buat loe aja.” ujar Rendy. “Nyokap gue enggak mungkin suka sama barang yang begituan.”—sebenarnya boneka itu memang ia tujukan untuk Melani, namun ia terlalu gengsi untuk mengatakan hal itu.
Setelah bermain, keduanya memutuskan untuk pulang. Hari sudah semakin gelap. Tak terasa sudah hampir tiga jam lebih keduanya berada dalam gedung mall bertingkat tujuh itu. Sebagai penutup jalan-jalan kali ini, Rendy membeli dua buah es krim untuknya dan untuk Melani.
Di tempat parkir motor Rendy, keduanya masih besenda gurau. Dan secara curi-curi Rendy mulai menggenggam tangan mungil Melani. Sesekali tawa membuat keduanya berhenti sejenak. Dan musibah itu pun muncul …
Langkah kaki Melani terhenti seketika karena melihat ketiga sahabatnya dengan wajah kaget plus sinis memandangnya juga Rendy. Dan ketiganya dengan sengaja menghadang Melani dan Rendy. Melani amat terkejut melihat tiba-tiba ketiga temannya sudah berada di hadapannya. Es krim yang ada di tangannya pun terjatuh. Ia juga melepaskan genggaman tangan Rendy.
“Oh. Jadi ini yang kamu lakukan di belakang kita?” ujar Winda.
“Pantes aja kamu selalu nolak kalo kita ajak jalan. Ternyata ada yang lebih penting.” tambah Vania sinis.
“Bilangnya, Kakak sakitlah. Banyak tugaslah. Bullshit semuanya. Aku enggak pernah menyangka akan punya temen kayak kamu. Penghianat kamu, Mel.” Lyla geramnya bukan main. Lyla pun hendak menampar Melani. Namun lengannya ditepis oleh Rendy.
“Masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik. Enggak perlu pake kekerasan.”
“Oh, jadi sekarang Kakak udah beralih profesi jadi bodyguard Melani.”
“La, aku mohon dengerin aku dulu. Aku bisa jelasin semuanya. Ini semua hanya salah paham.”
“Oh, jadi loe yang namanya Lyla?” ucap Rendy memotong ketegangan yang ada. “Jadi loe sahabat Melani yang naksir berat sama gue?”
“Dulu memang iya, tapi sekarang enggak. Dan pernyataan Kakak tak sepenuhnya benar karna Melani bukan sahabat aku lagi.”
“La, aku mohon dengerin aku dulu. Kamu cuma salah paham. Aku sama Rendy enggak ada hubungan apa-apa, kok.”
“Aku kecewa sama kamu, Mel. Aku menyesal pernah punya sahabat kayak kamu.”
“Aku juga kecewa sama kamu.” ucap Vania dan Winda serentak.
Lyla pergi dengan langkah panjang, diikuti oleh Vania dan Winda yang berjalan setengah berlari dibelakangnya. Lyla pergi begitu saja tanpa mendengarkan penjelasan Melani. Nampaknya amarah Lyla padanya sudah mengubun-ubun. Apa yang kini harus dilakukannya? Apa yang harus ia lakukan agar Lyla mau mendengar penjelasannya dan memaafkannya? Melani terduduk lemas di lantai tempat parkir. Salah dirinya sudah masuk dalam masalah ini. Harusnya ia tidak masuk ke dalam kehidupan Rendy. Kalau perlu ia menolak permintaan Bu Sinta. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ia tak dapat memutar waktu untuk mengulangnya dari awal. Agar ia tidak terjepit dalam masalah pelik ini.
Rendy tak mengerti apa yang tengah terjadi. Ia pun membangunkan Melani. “Mel, bangun! Enggak enak diliat orang-orang.”
Tanpa berkomentar apa-apa, Melani menuruti Rendy.
“Apa yang terjadi? Gue enggak ngerti apa yang lagi kalian perdebatkan?”
“Enggak ada apa-apa. Kamu pulang duluan aja. Aku lagi ingin sendiri.”
“Mel, loe cerita dong sama gue! Siapa tahu gue bisa bantu.”
“Rendy. Aku bilang aku lagi pengen sendiri. Tolong jangan ganggu aku dulu.”
Melani pergi begitu saja. Rendy tak mengejarnya. Ia akan membiarkan Melani untuk sendiri dulu. Mungkin jika keadaan sudah mulai membaik, Melani akan bercerita padanya.
***
Ketika di sekolah, Melani masih memikirkan masalah yang menimpanya tadi malam. Lyla salah paham padanya. Ia harus menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi pada Lyla. Tapi bagaimana bisa? Lyla sama sekali tak mau mendengar penjelasannya. Dalam lamunannya samar-samar ia medengar seseorang berkata pedas padanya.
“Penghianat kok masih berani menampakkan wajahnya, sih?” Dan orang yang baru saja berkata sedemikian pedas padanya tak lain tak bukan yang sekarang menjadi mantan sahabatnya, Vania.
“Kalo aku jadi penghianat itu sih, aku udah terjun dari gedung lantai 30.” tambah Winda, lalu tertawa dengan nada ejekan.
“Enggak punya muka banget loe, Mel.” ucap Lyla lebih ketus dari kedua temannya.
“La, aku mohon kasih aku kesempatan untuk jelasin semuanya. Kamu cuma salah paham.” Melani berusaha membela diri.
“Mel, aku kasih tahu, ya. Mata aku masih normal untuk melihat kemesraan kamu sama Kak Rendy. Jadi loe enggak perlu jelasin apa-apa lagi sama gue.”
“La. Aku mohon satu kali aja!”
“Gue enggak ada waktu buat denger semua kebohongan loe. Kita pergi yuk, Guys! Buang-buang waktu ngomong sama pengkhianat.” Untuk kedua kalinya Lyla pergi tanpa mau mendengar semua penjelasannya. Vania dan Winda pun kini berpihak pada Lyla. Melani benar-benar merasa sendiri. Kepada siapa ia harus berbagi kepedihan ini?
Saat ekskul pun Melani tampak tak berkonsentrasi. Pikirannya dipenuhi dengan bagaimana caranya agar Lyla bisa memaafkannya. Sesekali Pak Ardi mengomel padanya ketika Melani kehilangan konsentrasinya.
“Mel, konsen, dong!” gerutu Pak Ardi. “Kalo enggak niat ikut ekskul, mending enggak usah.”
“Maaf, Pak! Saya enggak akan ulangi lagi.” ucap Melani merasa bersalah. “Saya izin ke kamar mandi sebentar, Pak.”
“Ya, boleh. Jangan telalu lama.”
“Baik, Pak!” Melani pergi ke kamar mandi setengah berlari.
Di dalam kamar mandi, Melani membasuh wajahnya. Kini wajahnya sudah lebih segar kembali. Ketika ia bercermin, mendadak Si Cermin memunculkan peristiwa menyedihkan antara ia dan Lyla tadi malam. Dan tanpa ia sadari wajahnya mulai basah oleh air mata.
“Tuhan. Mengapa hidupku serumit ini? Aku enggak sanggup jika harus engkau beri cobaan seberat ini. Tuhan, tolong bantu aku agar aku bisa dimaafin Lyla. Aku enggak mau terus-menerus ada dalam masalah ini. Aku cape. Tolong beri petunjuk-Mu!” rintih Melani.
Melani teringat akan janjinya pada Pak Ardi. Ia tak akan lama-lama pergi ke kamar mandi. Ia pun segera menghapus air matanya. Dan pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan kamar mandi. Ketika ia keluar dari kamar mandi, tiba-tiba seseorang menarik tangannya.
“Gue liat, loe enggak konsen latihan. Apa ini karna masalah tadi malam? Apa yang sebenernya terjadi?”
“Ini semua bukan urusan kamu.”
“Loe bisa cerita sama gue, kan? Siapa tahu gue bisa bantu.”
“Aku bilang ini bukan urusan kamu. Aku hanya mau kamu enggak usah temui aku lagi. Anggap aja kita enggak pernah kenal sebelumnya. Lepasin aku! Aku mau latihan.” Melani hendak melepaskan gengaman orang tersebut. Namun semakin Melani berusaha untuk melepaskannya, genggamannya semakin erat.
“Sebenernya ada masalah apa? Tolong cerita sama gue. Gue pasti akan berusaha bantu loe.”
“Ini semua karna kamu. Karna aku deket sama kamu, Lyla marah. Lyla enggak mau bicara sama aku lagi. Jadi aku mohon, tolong jauhin aku! Semakin kamu deket sama aku Lyla semakin marah.”
Melani melepaskan genggamannya. Dan ia pun pergi. Namun Rendy kembali menariknya dan kini ia memeluknya erat.
“Nangis aja sepuas kamu!”
Melani mulai menangis dalam pelukan Rendy. “Aku cape. Aku lelah dengan semua ini. Aku enggak kuat harus dimusuhi Lyla.”
“Loe enggak usah khawatir. Gue pasti bakal bantu loe. Ini semua juga ada hubungannya sama gue. Ijinin gue bantuin loe, ya? Selama ini loe yang udah berusaha bantuin gue untuk bisa deket lagi sama Mama. Sekarang giliran gue yang bantuin loe. Loe tenang aja. Semua ini akan segera berakhir.” Rendy membelai rambut Melani.
Rendy tidak berbohong pada Melani. Ia benar-benar menepati janjinya. Keesokan harinya ia mencegat Lyla di pintu gerbang sekolah.
“Ada waktu lima menit buat bicara empat mata?”
“Maaf. Aku enggak punya waktu.” jawab Lyla ketus.
“OK. Gue to the point aja. Melani bantuin gue buat deket sama nyokap gue. Dan kemarin gue cuma mau balas kebaikannya dengan traktir dia,”
“Terus apa hubungannya sama gue?”
“Gue bukan cowok bego, La. Gue tahu loe cemburu sama Melani. Dan gue tahu pasti loe berpikir gue ada hubungan apa-apa sama Melani.”
“Enggak.”
“Loe enggak perlu bohongin diri loe sendiri. Dari sikap loe marah sama Melani, gue udah kira loe cemburu sama Melani.”
“Kalo iya, kamu mau apa?”
“Gue enggak ada hubungan apa-apa sama Melani. Dan sorry gue harus ngomong ini, gue juga enggak ada perasaan apa-apa sama loe. Jadi loe enggak perlu terlalu berharap sama gue.”
“Tenang aja, Kak. Aku juga lagi berusaha untuk tidak menyukai Kakak.”
“Dan gue cuma minta sama loe, tolong maafin Melani.”
“Kenapa harus?”
“Kalo loe mau tahu, sebelum kejadian malam itu. Melani bilang sama gue, kalo loe naksir sama gue. Dia udah berusaha comblangin gue sama loe. Cuma guenya aja yang enggak mau. Dia sedih banget setelah kejadian malam itu. Dia enggak konsen melakukan apa-apa hari ini. Dia juga berusaha menjauh dari gue. Cuma buat jaga perasaan loe.”
Melani sampe segitunya? pikir Lyla.
Lyla bukan orang yang tidak memiliki hati. Kisah sedih yang baru saja Rendy ceritakan membuat hatinya sedikit luluh. Meskipun ia sendiri tak tahu apa yang Rendy cerikan benar atau tidak. Ia juga tak mengerti mengapa harus marah pada Melani. Rendy bukan siapa-siapanya. Kenapa ia harus marah Rendy berhubungan dengan Melani?
“Iya. Aku mau maafin Melani. Tapi dengan satu syarat.”
“Syarat?”
“Aku mau kencan sama Kakak.”
Rendy agak kaget dengan permintaan Lyla. Tapi pada akhirya, ia mengiyakan juga.
Esok paginya, Melani masih melamunkan masalahnya dengan Lyla. Pikirannya dipenuhi dengan bagaimana cara agar Lyla mau memaafkannya. Namun tiba-tiba lamuannya buyar, ketika ketiga sahabatnya mengejutkannya.
“Pagi, Mel!” sapa Winda seraya merangkul Melani.
“Siap ulangan sejarah?” tanya Vania kemudian.
Melani hanya diam saja. Ia tak mengerti mengapa ketiga sahabatnya kini berubah baik kembali padanya. Padahal kemarin mereka sama sekali tak mau bicara padanya.
“Mel, aku tanya kok diem aja?”
“Aku ngerti. Kamu pasti kaget karna kita berubah baik lagi sama kamu, kan?” ucap Lyla.
Melani hanya mengangguk.
“Aku pikir marah lama-lama itu enggak baik. Aku juga sadar Kak Rendy bukan siapa-siapa aku. Jadi kenapa aku harus marah kamu jalan sama Kak Rendy?”
“Aku bener-bener enggak ada hubungan apa-apa. Yang kemaren cuma…”
“Enggak perlu ada penjelasan apa-apa lagi. Aku percaya sama kamu.”
“La… aku minta maaf ya, karna udah buat kamu salah paham.”
“Kita juga minta maaf udah marah-marah sama kamu,”
“Kita sayang kamu.” Mereka berempat pun berpelukan.
Dalam pelukan itu, Melani teringat pada Rendy. Apakah Rendy yang membuat Lyla bisa memaafkannya? Rendy memang sudah berjanji padanya akan membantu Melani keluar dari masalah ini. Sudahlah. Untuk sekarang ia tak perlu memikirkan apa-apa dulu. Yang penting sekarang adalah ia sudah bisa kembali bernapas lega karna sahabat-sahabatnya sudah mau memaafkannya.
Beberapa kali Rendy mencoba untuk berbicang dengan Melani. Namun Melani selalu menghindar dari Rendy. Apalagi jika ada Lyla bersamanya, ia bahkan pura-pura tak mengenal Rendy. Ketika mereka berpapasan saja, Melani hanya menunduk.
Lyla hanya berdiam diri saja melihat tingkah laku Melani yang aneh itu. Ia sendiri tahu, Melani sama sekali tidak mau melakukan hal itu. Sangat jelas terlihat tatapan Melani pada Rendy seperti orang menyimpan perasaan—tepatnya rasa cinta. Dan Lyla yakin Melani pasti sangat terpaksa melakukan itu semua. Dan ia juga tahu Melani melakukan itu semua untuknya. Agar dia tidak salah paham lagi pada dirinya. Dan ia memanfaatkan hal ini untuk lebih dekat pada Rendy. Sungguh sahabat yang egois!
Tapi ketika Lyla mencoba mendekati Rendy. Rendy selalu saja menghindar. Atau membalas sapaan Lyla dengan dingin.
“Sabar, La! Lama-lama juga hati Kak Rendy jadi berpaling sama kamu.” ucap Lyla pada dirinya sendiri.
***
Tiba saatnya yang diingikan-inginkan Lyla. Akhirnya ia bisa berkencan dengan cowok paling populer satu sekolah, Rendy. Ia janjian bertemu dengan Rendy di café Rosemary jam 15:00. Lyla dandan habis-habisan untuk tampil cantik di hadapan Rendy. Ia pun memutuskan untuk datang lebih awal.
Sekitar tigapuluh menit ia menunggu akhirnya Rendy pun datang.
“Kita mau pergi kemana?” sapa Rendy  dengan dingin.
“Kamu enggak mau duduk dulu?” jawab Lyla ramah.
“Enggak usah. Kita langsung pergi aja.”
“Kita nonton dulu, yuk!”
Rendy tak menjawab.
Tak jauh berbeda dengan kencannya dulu dengan Melani. Hal yang pertama mereka lalukan adalah menonton. Tepatnya menonton film horor di bioskop.
Film dimulai. Menurut kabar burung, film ini adalah kisah nyata yang terjadi di Pulau Buru, tepatnya di dalam hutan di Pulau Buru. Tempatnya pun sengaja dilakukan di tempat tersebut. Hutan itu adalah hutan yang dulunya dijadikan tentara Belanda untuk membunuh pemimpin dari sebuah organisasi yang membangkang pada Belanda. Tentu, di hutan tersebut banyak arwah halus yang berkeliaran. Penduduk setempat beranggapan bahwa hantu-hantu yang berkeliaran di hutan tesebut adalah para roh halus yang belum sempat dikebumikan secara layak.
Lyla amat menikmati ketegangan film yang tengah di putar. Dan ketika wajah seram Si Hantu dinampakkan jelas pada layar lebar bioskop seisi bioskop menjerit. Tanpa disadari Lyla bersembunyi di balik jaket Rendy—sama seperti yang dilakukan Melani tempo hari.
Sejenak Rendy memperhatikan Lyla. Dalam bayangannya wanita yang tengah memeluknya sekarang adalah Melani. Tapi Melani hanya ada dalam bayangnya. Yang sekarang memeluknya adalah Lyla, bukan Melani. Lyla dan Melani amatlah berbeda.
“Hantunya udah enggak ada.” ucap Rendy sembari menarik tanganya yang dipegang erat Lyla.
Seusai menonton, keduanya berkeliling mengunjungi setiap penjuru mall. Sesekali Lyla mengajak Rendy ke toko pakaian. Lyla mendadani Rendy dengan beberapa barang yang dijual di tempat tersebut. Namun dengan dinginnya Rendy melepas semua yang Lyla kenakan padanya. Pergi meninggalkan Lyla dengan dingin dan ketus.
Sampai keduanya di tempat ketika Melani dan Rendy bermain ice skating. Rendy terus mengamati ruangan tersebut. Dalam bayangannya, ia teringat akan saat-saat romantis ketika bermain bersama Melani.
“Kita maen disitu, yuk!” ajak Lyla tiba-tiba. Dan lamunannya pun buyar seketika.
“Enggak. Gue laper. Kita cari makan aja!”
“Ya udah, deh. Aku juga udah laper.” ucap Lyla. Padahal aku pengen banget maen ice skating bareng Rendy. Nahan laper juga enggak apa-apa.
“Ayo, katanya mau makan!” seru Rendy yang sudah berjalan agak jauh.
Sungguh kencan yang sangat tidak diharapkan setiap orang, termasuk Lyla sendiri yang menjalaninya. Kencan yang sangat mengecewakan, pikir Lyla. Sudah sejak lama ia berharap bisa berkencan dengan Rendy. Tapi apa nyatanya? Sama sekali tak ada kesan yang menarik. Jika ia tahu akan seperti ini jadinya, ia akan lebih memilih untuk tidak sama sekali.
Selesai makan, Rendy langsung mengajak Lyla pulang. Walau Lyla masih sangat ingin lebih lama lagi bersama Rendy. Tapi tak apalah, hari juga sudah terlalu malam.
Sebelum Rendy mengantarkan Lyla pulang, ia mampir dulu di tempat makan ‘Masakan Bebek Chef Jaka Junaedi’. Ia tidak bermaksud untuk makan bersama Lyla di tempat tersebut. Melainkan hanya memesan beberapa porsi untuk dibawanya pulang.
“Gue mau beliin buat nyokap.” ucapnya.
Lyla sangat tahu tempat makan tersebut. Ia pernah beberapa kali diajak Melani makan di tempat tersebut. Ya, memang tidak dapat dipungkiri makanan di kaki lima itu tak kalah dari masakan restaturant mewah di seantero Jakarta. Apa Melani juga yang memperkenalkan tempat ini pada Rendy, pikir Lyla. Sudah seberapa jauh kedekatan Melani dan Rendy?
“Kata Mel—maksud gue kata orang makanan disini enak-enak. Loe mau beli juga?”
“Enggak. Lagipula di rumah cuma ada aku sama pembantu. Aku juga udah kenyang. Kamu tahu tempat ini dari siapa?”
“Oh… dari tetangga gue.” ucap Rendy tergagap.
“Oh.” Lyla tahu Rendy tengah berbohong padanya. Tapi ia tak mau mempermasalahkannya.
Setelah Rendy mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia pun segera menancap gas dan pergi meninggalkan tempat kenangannya bersama Melani dulu. Ia juga mengantarkan Lyla selamat sampai di rumahnya. Lyla sempat menawarkan Rendy untuk singgah sejenak, namun Rendy menolaknya.
“Kata loe, di rumah enggak ada orang. Kalo gue masuk, enggak enak sama tetangga. Takutnya mereka berpikiran macem-macem. Mungkin kapan-kapan gue bisa mampir.”
“Oh, iya juga.”
“Gue balik dulu, ya!”
“Oh, iya. Hati-hati di jalan!”
***
Melani sangat yakin bahwa Rendylah yang sudah membujuk Lyla untuk bisa memaafkannya. Sampai sekarang ia belum mengucapkan terima kasih pada Rendy. Ia juga harus menegaskan pada Rendy agar Rendy tak usah menemuinya lagi.
Pada jam istirahat, ia diam-diam menemui Rendy di basecampnya. Walapun sebenarnya ia bilang kepada ketiga temannya akan pergi ke perpustakaan. Untunglah ketiga temannya percaya.
Sampai di basecamp Rendy, ia hanya melihat Rendy yang berada di ruang tersebut. Ini lebih baik daripada harus didengar oleh Evan dan Bayu.
“Rendy!” seru Melani.
“Mel? Ngapain loe kesini?”
“Aku tahu kamu yang buat Lyla mau maafin aku.”
“Terus loe mau apa?”
“Aku cuma mau bilang terima kasih. Kamu udah sering bantu aku. Aku enggak tahu harus bales apa.”
“Ya, sama-sama.”
Hening sejenak.
“Rendy.”
“Apa lagi?”
“Aku cuma mau bilang… kamu enggak usah temui aku lagi, ya! Atau anggap aja kita enggak pernah kenal.”
“Maksud kamu apa?”
“Aku hanya ingin jaga perasaan Lyla. Kalo kita masih ketemuan Lyla pasti salah paham lagi.” Melani hendak pergi. Namun tangannya ditahan oleh Rendy.
“Gue enggak bisa.” Rendy pun memeluk Melani.
“Tolong jangan pergi dari kehidupan aku! Kamu udah memberi banyak warna dalam hidup aku. Cuma sama kamu aku bisa tertawa lepas. Aku jatuh cinta sama kamu, Mel. Aku enggak bisa jauh dari kamu. Kamu udah masuk ke dalam kehidupan aku. Kamu enggak bisa gitu aja pergi. Aku juga tahu kamu pasti punya perasaan yang sama.”
Kaget setengah mati Melani mendengar ucapan Rendy. Ia senang karna cintanya tidak bertepuk tangan. Hatinya sangat bahagia seperti terbang ke langit bebas. Dan ia ingin sekali mengatakan cinta pada Rendy. Namun tiba-tiba saja Lyla muncul dalam pikirannya. Ia pun mengurungkan niatnya.
“Enggak.” ucap Melani mengejutkan dan melepaskan pelukan Rendy. “Siapa bilang aku jatuh cinta sama kamu.”
“Bohong. Kamu bilang begitu karna Lyla, kan?”
“Bukan. Bukan karna Lyla. Tapi aku memang enggak ada perasaan apa-apa sama kamu.”
“Aku enggak percaya.”
“Apa yang akan buat kamu percaya sama ucapan aku?”
“Tatap mata aku! Dan katakan, kamu enggak cinta sama aku.”
Melani ingin melakukan apa yang Rendy inginkan. Walau ia tahu itu sangat berat. Bagaimana bisa ia mengatakan tidak mencintai Rendy. Beberapa saat ia berpikir.
“Kenapa? Enggak bisa?”
Melani mencoba memberanikan diri. Ini semua demi Lyla. Sahabat lebih berharga daripada cinta. Ia menatap mata Rendy dengan tajam. “Aku enggak cinta sama kamu.”
“Mata kamu bohong.”
“Terserah kamu mau percaya atau enggak. Yang penting aku udah ngelakuin apa yang kamu mau.” Melani pun pergi.
Rendy tak bisa terima apa yang baru saja Melani katakan padanya, Rendy menghancurkan basecamp-nya sendiri. Semua benda yang ada di hadapannya, ia tendang dan lempar sesukanya. Beberapa kali ia memukul tembok. Darah menetes dari jari-jari tangan Rendy. Ia sama sekali tak memperdulikan tangannya yang sakit. Rasa sakit hatinya jauh lebih pedih dari luka pada tangannya.
Setelah cukup jauh dari Rendy, Melani tersandar lemas pada tembok di belakangnya. Ia tak kuasa menahan air matanya yang semakin membasahi wajahnya. Hatinya sakit saat mengatakan tidak mencintai Rendy. Ia telah berusaha menguatkan dirinya. Karna semua yang ia lakukan untuk Lyla, sahabatnya. Tapi ia tetap manusia biasa. Hatinya tak bisa berbohong kalau ia mencintai Rendy, benar-benar mencintai Rendy.
Kini ia baru menyadari ternyata Rendy begitu berarti baginya. Benar kata orang, sesuatu akan terasa berharga apabila kita telah kehilangan sesuatu itu. Dan sekarang Melani sudah kehilangan Rendy—dan akan kehilangan Rendy untuk selamanya.
“Rendy, maafin aku. Aku harus melakukan ini. Aku enggak akan pernah sanggup Lyla salah paham lagi. Aku yakin kamu akan mendapatkan wanita yang lebih segalanya dari aku. Karna aku memang bukan yang terbaik untuk kamu.” rintih Melani dengan tangisannya yang tak dapat dikendalikan lagi.
Tanpa Melani dan Rendy sadari, ternyata Lyla melihat dan mendengar percakapan keduanya. Ia yang awalnya merasa curiga akan gelagat aneh Melani dengan tergesa-gesa ke perpustakaan. Ia mengikuti Melani sampai bertemu dengan Rendy.
Ia tidak segera menghampiri Melani dan Rendy. Ia menguping seluruh pembicaraan. Dan tanpa ia sadari ia mulai meneteskan air mata. Kini ia sadar ia sudah sangat egois. Ia sudah sangat jahat. Jahat terhadap Melani. Melani sudah berusaha mendekatkannya dengan Rendy. Melani dengan amat terpaksa menahan persaannya hanya untuk Lyla.
Tapi apa balasannya sekarang? Ia malah mementingkan perasaannya. Ia sama sekali tak memikirkan perasaan Melani. Sekarang sudah jelas ia tak dapat mendapatkan hati Rendy karna hati itu sudah menjadi milik Melani. Dan sekarang ia harus melakukan apa yang Melani lakukan. Ia harus mengubur dalam-dalam harapannya pada Rendy. Ia harus mengembalikan senyum Melani.
***

Posting Komentar untuk "Cerita Melani dan Rendy VII"