Cerita Melani dan Rendy IX
Rendy Pergi
Malam itu adalah malam perpisahan untuk seluruh siswa angkatan 2009/2010.
SMA Pertiwi. Seluruh siswa yang menjadi angkatan tersebut dinyatakan lulus
Ujian Nasional dengan nilai yang cukup memuaskan.
Sebuah pesta diadakan di pelataran SMA Pertiwi. Pesta ini memang
selalu diadakan setiap tahunnya. Sebagai wujud dari penumpahan kegembiraan
lulus Ujian Nasional daripada harus ugal-ugalan di jalan dan mengganggu
masyarakat.
Rendy tidak merasa nyaman di pesta itu. Pikirnya, pesta itu sama
sekali tak menarik. Jelaslah. Rendy merasa tak kerasan karna Melani tidak ada
di pesta itu. Pesta yang khusus untuk siswa-siswi kelas XII itu, tak
membolehkan anggota lain ikut bergabung, kecuali panitia dan pengisi acara.
Ia pun meniggalkan pesta tersebut ketika seluruh tamu undangan
tengah terhayut dalam lagu yang dinyanyikan Bayu. Ia tidak pulang ke rumahnya
melainkan pergi ke rumah Melani.
Ponsel Melani berdering tiba-tiba. Dan sebuah pesan baru diterima
ponselnya. Pesan itu berasal dari Rendy.
Cepet keluar! Aku di depan
rumah kamu.
Melani pun segera mengambil jaketnya dan berlari menuruni tangga.
“Kamu mau kemana, Mel?” tanya Andre.
Melani tak menjawab.
Sesampainya di depan rumah, ia sudah mendapati Rendy duduk bersandar
pada motor kesayangannya.
“Rendy ngapain kamu malem-malem kesini?”
“Ayo naik!”
“Mau kemana? Bukannya malem ini kamu ada pesta perayaan kelulusan?”
“Acaranya ngebosenin. Aku mau ngajak kamu jalan.”
“Malem-malem gini? Enggak, ah. Kak Andre enggak mungkin kasih ijin.”
“Siapa bilang dia enggak kasih izin? Aku udah minta ijin dan Kakak
loe ngijinin kok.”
“Masak, sih?”
“Ayo buruan naik!”
“Awas kalo kamu sampe bohong!”
Sampailah keduanya di sebuah taman yang sangat indah. Banyak orang
berlalu-lalang. Ada yang menjual makanan, berpacaran dan beberapa hal lainnya.
Memang setiap malam minggu, taman tersebut menjadi tempat favorit beberapa
orang untuk menghabiskan malam minggunya, selain pergi ke mall-mall besar.
Setidaknya orang-orang itu bisa menghemat pengeluaran bila malam mingguan di
taman itu.
Rendy segera mencari bangku taman yang kosong untuk duduk mereka
berdua. Setelah mempersilahkan duduk kepada Melani, ia segera menghampiri
seorang penjual minuman yang jaraknya tak terlalu jauh darinya dan membeli dua
buah kaleng minuman dingin. Kemudian ia kembali lagi menghampiri Melani dan
memberikan salah satu minuman kaleng tersebut kepada Melani.
“Ngapain kamu malem-malem aja aku kesini?”
“Kan udah aku bilang, pesta disana ngebosenin. Makanya aku ajak kamu
kesini. Kata orang malem mingguan disini seru.”
“Perasaan tiap aku kesini sama Kak Andre biasa aja, tuh!”
“Ya, bedain, dong! Itu kan perginya sama Kakak, kalo sama pacar beda
kali.” Rendy pun sedikit cemberut.
“Ya, gitu aja marah. Maaf, deh!”
“Sebenenya aku pengen lebih sering jalan sama kamu. Ya… sebelum aku
pergi.”
“Pergi? Kamu mau kemana?” Wajah Melani memperlihatkan raut
kesedihan.
“Mama pengen aku nerusin kulian di Australia. Kamu tahu sendiri kan,
aku akan menjadi penerus perusahaan keluarga. Aku mau sekolah lagi tentang
manajemen bisnis. Tapi kalo kamu enggak setuju, Mama juga enggak terlalu
memaksa.”
“Aku setuju, kok. Sekali-kali bahagiain Mama kamu kan enggak ada
salahnya? Aku enggak mau cuma gara-gara aku, Mama kamu sedih.”
“Emangnya kamu enggak akan kangen?”
“Kata siapa aku akan kangen sama kamu?”
“Aku empat tahun disana.”
“Empat tahun?”
“Masih mau relain aku pergi?”
“Kenapa enggak?”
“Baiklah. Aku akan belajar sekeras mungkin. Aku enggak akan buat
penantian kamu sia-sia. Aku akan buat kamu dan Mama bangga karna punya pacar
dan anak seperti aku.”
“Aku akan tunggu kamu.”
***
Empat tahun berlalu, banyak sekali perubahan pada diri Melani. Sisi
kewanitannya pun mulai nampak terlihat. Kini ia suka berdandan dan berbelanja.
Kamarnya pun menjadi sempit dengan adanya meja rias di samping tempat tidurnya.
Tidak hanya sempit oleh meja rias, kamarnya pun semakin penuh dengan piagam dan
serifikat prestasinya dalam bidang basket yang sengaja ia pigurai dan ditempel
pada dinding kamarnya. Salah satu piagam yang paling membuatnya bangga adalah
piagam yang ia dapatkan saat memenangkan kompetisi basket nasional. Piala-piala
pun berjejer di atas meja yang sengaja ia khususkan untuk itu. Pialanya pun
cukup banyak.
Melani terbangun dari tidur nyenyak semalam. Ia segera bergegas ke
kamar mandi dan menyegarkan tubuhnya dengan beberapa guyuran liter air. Setelah
mandi ia segera berpakaian rapi dan lekas berdandan.
Ketika ia mengambil poselnya yang tergeletak di atas meja belajar,
tak sengaja matanya tertuju pada foto Rendy yang terpajang di atas meja
belajarnya. Ia pun segera meraihnya. Ia pandangi foto itu secara seksama. Dan
tanpa ia sadari, ia menitikkan air mata.
“Ini udah empat tahun. Aku udah tunggu kamu selama ini. Kapan kamu
pulang? Aku kangen sama kamu. Aku kangen berantem sama kamu. Cepet pulang, ya!”
“Mel, ayo! Kakak udah telat, nih! Katanya mau pergi bareng.”
“Iya, Kak.” Melani pun menghapus air matanya.
Sesampainya di kampus, ia segera menghampiri ketiga temannya di
kantin yang sedari tadi menunggunya.
“Hai!” sapa Melani.
“Kok baru dateng, sih?” tanya Vania.
“Kalo enggak telat malah aneh. Tadi malem kan ada film Harry Potter.
Dia pasti begadang nongkrongin film itu sampe abis.”
“He…he… Lagipula mata kuliahnya juga baru mulai tigapuluh menit
lagi.”
“Ya udah, kamu duduk dulu! Mau pesen makan?”
“Enggak, ah! Di rumah udah sarapan, kok.”
“Bentar lagi ujian, ya?” ucap Vania memulai pembicaraan.
“Iya, nih! Aku males deh, tiap kali ujian enggak pernah lulus. Emang
aku sebodoh apa, sih?” jawab Melani dengan wajah muram.
“Sabar aja, Mel. Aku doain, mudah-mudahan ujian kali ini kamu
lulus.”
“Amin.”
“Aduh!” ucap Winda tiba-tiba. Karna ia berbicara sambil menelan
bakso, akhirnya ia pun tersedak. “Uhuk…uhuk!”
“Minum dulu!” Lyla menyodorkan segelas air mineral.
“Ada apa, sih? Kok kamu kayak yang kelupaan sesuatu.”
“Hari ini Kak Bayu mau manggung di cafĂ© Om aku. Aku harus kesana
sekarang.”
“Bukannya bentar lagi kamu ada mata kuliah?”
“Males, ah. Pak Ginanjar mah enggak rame. Bye!”
“Dasar! Kemana aja Kak Bayu pergi selalu aja dikintilin.”
“Oh, iya. Aku juga ada janji sama seseorang.” ucap Lyla tiba-tiba.
“Janji? Sama siapa?”
“Hari ini Mamanya Donny ulang tahun. Aku harus ikut rayain ulang
tahun Mamanya Donny. Dagh!”
“Punya temen pada sibuk semua.” ucap Vania.
“Tenang aja aku masih disini, kok!”
Usai mata kuliah yang membosankan—Sosiologi, Melani keluar dari kelasnya.
Tiba-tiba seseorang memberinya setangkai bunga mawar yang indah. Tanpa
berkata-kata apapun, orang itu menunjuk ke arah selatan. Walau Melani agak
keheranan, ia pun mengikuti petunjuk orang asing tersebut.
Sampai di pertigaan, ada orang lagi yang memberinya setangkai bunga
mawar. Orang itu menunjuk ke arah jarum jam tiga. Lagi-lagi Melani mengikuti
petunjuk orang tersebut.
Hampir setiap pertigaan maupun perempatan ada orang yang memberinya
setangkai bunga dan menunjukkan arah. Dan dari setiap orang yang memberinya
bunga, Melani berhasil mengumpulkan sepuluh buah bunga di tangannya. Kalau
dijual bisa dapet uang banyak, nih! pikirnya.
Dan sampailah ia di lapangan basket kampusnya. Seorang laki-laki bertubuh
tegap tengah berdiri di depan ring basket. Dari postur belakang tubuhnya,
Melani sudah tahu, orang itu adalah orang yang selama ini ia tunggu—Rendy.
Bunga-bunga di tangannya pun berjatuhan.
“Aduh, lama banget, sih! Apa kurang jelas gue kasih petunjuk?”
“Rendy?”
“Akhirnya dateng juga. Lama amat, sih!”
“Apa bener ini Rendynya aku?” ucap Melani tak percaya.
“Kamu enggak kangen sama aku? Kamu enggak mau peluk aku?”
Melani segera berlari menghampiri Rendy dan memelukanya erat. Rendy
pun tak kalah bahagia, ia memutar-mutar tubuh Melani. Puas melepas rasa rindu,
Melani melepas pelukannya.
“Pulang dari Australia Rendynya aku enggak berubah, ya.”
“Masih tetep ganteng, ya?”
“Bukan. Masih tetep nyebelin. Kamu jahat! Kenapa kamu enggak bilang
mau pulang hari ini? Aku kan bisa jemput kamu. Akhir-akhir ini juga kamu susah
buat dihubungi.”
“Aku mau kasih kejutan sama kamu dan biar kamu tambah kangen sama
aku.”
“Aku enggak butuh kejutan kamu. Aku cuma mau ketika kamu pulang, kamu
masih kayak Rendy yang dulu.”
“Aku bukan Rendy yang dulu lagi. Bukan Rendy yang manja dan
kekanak-kanakan lagi. Sekarang Rendy adalah Rendy siap untuk membahagiakan kamu
dan Mama. Aku akan lakukan apa aja untuk buat kamu tersenyum.”
“Gombal.”
“Aku serius.”
Melani hanya terdiam.
“Mel…”
“Apa?”
“Kita akhiri saja hubungan ini.”
“Maksud kamu apa?”
“Aku mau kamu jadi isti aku.” Rendy mengeluarkan sebuah kotak kecil
berisi cincin dan ia pun berlutut di hadapan Melani. Melani amat terkesima
melihat tindakan Rendy.
“Will you marry me?” tanya Rendy sambil membukakan sebuah kotak
kecil berisi cincin berlian asli Singapura yang sangat indah.
Melani jadi salah tingkah. Ia pun mengangguk. “Ya, aku mau.” Rendy
pun memasangkan cincin tersebut pada jari manis Melani.
Rendy tak mampu menyembunyikan raut bahagianya. Ia segera memeluk
Melani erat. Dan ia pun memutar-mutar tubuh Melani lagi. Tawa bahagia
menyelimuti keduanya. Dan sekarang penantian Melani tak sia-sia karna Rendy
telah berubah menjadi laki-laki sejati dan siap untuk menjadi suaminya.
“Ayo kita pulang! Kita harus kasih tahu kabar baik ini sama Mama.”
*THE
END*
Posting Komentar untuk "Cerita Melani dan Rendy IX"